Wednesday, October 17, 2007

Lebaran Intelek


Yudi Latif

Setelah sebulan ketelanjangan iman dimandikan, penahanan diri dan ketulusan memberi pakaian takwa, pertobatan dan silaturahim menggosok perhiasan rasa malu, buah apakah gerangan yang akan kita petik?

Rasulullah bersabda, "Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa, perhiasannya adalah rasa malu, dan buahnya adalah ilmu." Alhasil, iman tanpa ilmu laksana pohon tiada berbuah.

"Karena ilmu," kata Mu’adz bin Jabal, "menghidupkan hati dari kebutaan, cahaya mata dari kezaliman, dan kekuatan tubuh dari kelemahan."

Ditambahkan oleh Fath al Maushuli, "Barangsiapa kehilangan ilmu, hatinya sakit dan biasanya mati. Ia tidak menyadarinya karena kesibukan dunia mematikan perasaannya. Jika kesibukan itu menampakkan kematian, ia merasakan sakit yang pedih dan penyesalan yang tiada tara."

Orang berilmu, kata Imam Ali, lebih utama daripada orang berpuasa, mengerjakan shalat malam, dan yang berjihad di jalan Allah. Jika seorang alim meninggal, terjadilah lubang dalam Islam yang tidak tertutupi hingga datang orang alim lain yang menggantikannya.

Ilmu menyangkut fakultas batin. Barangsiapa hendak menuntutnya, hendaklah ia membersihkan hati. Hati tak bersih mustahil disinari cahaya ilmu dan meraih ilmu bermanfaat.

Ibnu Mas’ud berkata, "Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya periwayatan, melainkan cahaya yang terpancar dalam hati." Untuk mengasah kepekaan hati, Imam Syafi’i menganjurkan untuk "memanjangkan" puasa. Karena kekenyangan dapat mengeraskan hati, memperbanyak tidur, dan mengurangi kecerdasan.

Ilmu akan tumbuh subur jika diamalkan. Ilmu adalah pemimpin dan pengamalan adalah pengikutnya. Sufyan berkata, "Ilmu memanggil amal. Jika dijawab, ilmu akan mengikutinya. Jika tak dijawab, ilmu akan meninggalkannya." Orang berilmu tanpa amal laksana pemanah tanpa tali busur.

Puncak pencarian dan kemuliaan ilmu adalah pengenalan Tuhan semesta alam.

Hal ini dialami ketika orang mampu ber-mi’raj dari kesadaran diri (self-consciousness) menuju kesadaran kosmis (cosmic-consciousness). Dalam proses ini, orang berusaha menerobos everyday mind (semacam otak) menuju deeper mind yang bersifat non-material, melalui pelatihan mental semacam zikir atau meditasi.

Dalam kesadaran kosmis, orang bisa mentransendensikan diri dari hal-hal personal menuju transpersonal. Di level kesadaran transpersonal, kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus dari segala kehidupan. Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmis yang lebih luas. Dalam keluasan kesadaran kosmis, manusia bisa melihat betapa kesalingbergantungan tidak bisa dipisahkan dari kesatuan. Satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tidak dapat eksis tanpa perbedaan.

Timbullah kesadaran untuk membuka diri penuh cinta untuk yang lain, serta ketabahan untuk menghadapi ketidakpastian di tingkat permukaan hidup sehari-hari. Tak heran, riset baru yang dilakukan ahli-ahli ilmu saraf dan psikologi menemukan bahwa orang-orang yang melakukan zikir/meditasi secara teratur pada saatnya akan lebih sadar, kurang stres, lebih positif, dan lebih sehat dalam hidupnya.

Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Sebentuk kesadaran Rabaniyah yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan alam semesta. Di sini, ilmu dan amal menyatu dalam mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian warga Bumi.

Maka, marilah kita buahi hari kemenangan Idul Fitri ini dengan semangat mencari ilmu! Mencari sesuatu yang bermakna dan berarti untuk hidup kita, keluarga, dan bangsa serta agama yang kita yakini!

Yudi Latif Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Jakarta

No comments: