Friday, October 12, 2007

Idul Fitri dan Refleksi Peradaban


M Hilaly Basya

Idul Fitri datang lagi. Inilah hari kemenangan setelah sebulan menjalankan ibadah puasa. Selama ini, Idul Fitri dinilai sebagai hari terlahirnya kembali setiap manusia dalam keadaan suci.

Kepercayaan itu terkait ajaran bulan puasa terdiri tiga fase, rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itqu min an-nar (diselamatkan dari api neraka). Puncak pencapaian puasa adalah sucinya manusia. Karena itu, bulan Ramadhan disebut bulan pencucian atau pembakaran.

Arif kepada alam

Keyakinan itu tidak salah, tetapi tema Idul Fitri sebenarnya lebih menggambarkan kerinduan setiap manusia terhadap kebenaran (sesuatu yang bernilai fitriyah). Seperti diungkapkan hadis Rasul SAW, tiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah. Fitri dan fitrah berasal dari akar kata yang sama, keduanya menunjukkan kecenderungan alamiah manusia atas kebenaran.

Karena itu, momen Idul Fitri mencakup refleksi yang luas dalam kehidupan manusia. Terkait dengan itu, kearifan terhadap alam, misalnya, merupakan salah satu hal penting yang bisa ditumbuhkan dalam kesadaran berhari raya. Bukankah fungsi keberadaan manusia di alam ini merupakan khalifah (pengatur, pemelihara, pelindung) bagi alam? Artinya eksistensi manusia di Bumi tidak bisa dilepas dari tugas besar yang pernah dititahkan Tuhan kepada Adam, yakni menjadi khalifah fi al-ardh.

Beberapa tahun terakhir ini masyarakat dunia dihadapkan pada ancaman pemanasan global. Bencana alam melanda beberapa negara dan dampaknya amat terasa. Karena itu, peradaban manusia kini sedang mengalami krisis ekologi akibat pembangunan yang tidak disertai kearifan. Kondisi ini menggambarkan, kemajuan ilmu pengetahuan yang diboncengi ketamakan manusia perlahan-lahan menghancurkan peradaban manusia sendiri. Jika masyarakat tidak segera membenahi cara pandangnya terhadap alam dalam proses pembangunan, bisa dipastikan kerusakan ekologi akan kian parah.

Dalam buku A Study of History (1972), Arnold Toynbee menyatakan, pola perkembangan peradaban adalah interaksi antara "tantangan dan tanggapan". Dengan demikian, peradaban masyarakat modern saat ini hanya bisa diselamatkan jika kita berupaya keras untuk mengevaluasi dan melakukan kritik serius atas fondasi peradaban kita.

Bumi, ibu kehidupan

Bumi sebenarnya adalah ibu, sedangkan langit adalah ayah. Tesis ini dikemukakan Ibnu Arabi, filosof Muslim yang hidup beberapa ratus tahun lalu. Dalam bukunya, Arabi menjelaskan, Bumi merupakan tempat produktivitas kehidupan terjadi (1996). Dengan sabar dan telaten Bumi bukan hanya melahirkan kehidupan, tetapi juga memelihara dan mengayomi dengan kesabaran. Karena itu, manusia berutang besar kepada Bumi. Alam yang kini dinikmati manusia merupakan "anak kandung" Bumi. Bahkan kehidupan manusia sendiri sebenarnya berada dalam "pelukan" Bumi. Jadi, Bumi adalah "Ibu kehidupan".

Dalam sejarah kehidupan manusia, kearifan terhadap alam terpancar dari pandangan bahwa Bumi adalah sesuatu yang bernilai suci. Karena itu, masyarakat amat menghormati dan menjaga kelestarian alam. Perusakan alam dipercaya berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, pemeliharaan alam diyakini sebagai pengabdian kepada Yang Suci.

Pandangan seperti ini adalah sebuah kecenderungan fitriah yang seharusnya dimunculkan dan digali dari perayaan Idul Fitri. Sejatinya, manusia menumbuhkan kembali kearifan-kearifan primordial terkait kehidupannya di dunia dan relasinya dengan alam. Arogansi masyarakat modern dalam memandang alam dapat berakibat buruk bagi kehidupan. Ketamakan mengeksploitasi alam, mencerminkan hilangnya penghormatan dan rasa kasih kepada "ibu kehidupan".

Krisis ekologi belakangan ini seharusnya kian menyadarkan manusia bahwa mereka telah tersesat dari fitrahnya. Perilaku tamak dan eksploitatif atas alam harus segera dihentikan. Semoga kita semua termasuk orang yang kembali kepada fitrah.

M Hilaly Basya Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA)

No comments: