Friday, October 12, 2007

Perbedaan Itu Sebetulnya Dapat Dipertemukan


M Zaid Wahyudi

Perbedaan perayaan Idul Fitri yang selama ini terjadi dinilai sulit untuk dipersatukan. Perbedaan metode hisab dan rukyat yang masing-masing direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dianggap final. Apakah memang demikian?

Peneliti Bidang Lingkungan Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, menegaskan, perbedaan penentuan hari raya maupun awal bulan dalam penanggalan qamariyah bukan akibat perbedaan metode yang digunakan. Hisab dan rukyat sebenarnya dapat dipertemukan melalui kriteria imkan rukyat atau kemungkinan hilal dapat dilihat.

"Perbedaan terjadi akibat adanya perbedaan kriteria dalam menentukan awal bulan. Perbedaan dapat disatukan dengan mempertemukan kriteria awal bulan bersama," tegasnya.

Dari metode dan kriteria penentuan awal bulan Hijriah oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul (NU) Ulama terdapat masalah dasar yang membuat perbedaan terjadi, yaitu kriteria awal bulan Hijriah. Ormas belum sepakat tentang hilal seperti apa yang dapat dijadikan patokan sebagai penanda awal bulan.

Bagi pengguna hisab, hilal adalah bulan muda yang pertama terbentuk, tidak disyaratkan hilal harus dapat dilihat atau tidak. Adapun bagi pengguna rukyat, hilal adalah bulan termuda yang bisa teramati, baik dengan menggunakan mata telanjang maupun teleskop.

Peneliti Observatorium Bosscha ITB, Hendro Setyanto, mengatakan, perbedaan kriteria tersebut tidak akan pernah menemukan titik temu jika masing- masing ormas bersikukuh dengan kriteria yang dianutnya.

Ironisnya, perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas dasar hukum teologis yang sama. Padahal, kriteria awal bulan yang digunakan sering kali berubah sesuai dengan perkembangan yang ada.

Hisab sebagai sebuah metode perhitungan tidak muncul secara tiba-tiba. Metode hisab diperoleh dari hasil rukyat dalam jangka waktu yang panjang. Benar tidaknya hasil hisab harus diuji secara langsung melalui rukyat atau pengamatan terhadap fenomena alam yang dihisab.

Demikian halnya dengan rukyat. Pelaksanaan rukyat yang tidak menghasilkan sebuah sistem perhitungan (hisab) yang membantu pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia.

"Rukyat yang berhasil harus didukung hisab yang berkualitas, sedangkan hisab yang baik harus dilandasi rukyat yang bermutu pula," katanya.

Imkan rukyat

Kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal dinilai mampu mempertemukan perbedaan yang ada. Dengan kriteria ini, terlihatnya hilal yang biasa dilakukan dalam rukyat dimasukkan dalam proses hisab.

Jadi, syarat awal bulan baru bagi pengguna hisab tidak hanya sekadar menggunakan ketentuan wujudul hilal dan hilal sudah di atas ufuk semata. Kriteria tambahannya adalah dengan memasukkan kriteria ketinggian dan umur hilal tertentu serta jarak busur bulan (hilal)-matahari tertentu pula.

Bagi pengguna rukyat, kriteria imkan rukyat ini dapat digunakan untuk memperbaiki metode yang digunakan tentang syarat minimal hilal dapat terlihat, terutama untuk mengantisipasi gangguan cuaca maupun atmosfer bumi.

Selama ini, acuan yang digunakan adalah bila rukyat yang dilakukan pada tanggal 29 tidak melihat hilal, maka umur bulan berjalan dibulatkan menjadi 30 hari. Ke depan, jika saat dirukyat hilal tidak dapat diamati akibat buruknya cuaca, maka awal bulan tetap dapat ditentukan asalkan hilal telah memenuhi batas minimal untuk diamati yang akurat.

Kriteria imkan rukyat ini dapat menjadi rambu bersama bagi pemerintah dan peserta sidang isbat (penetapan) lainnya dalam menentukan awal bulan. Kriteria ini dapat memberi batasan hasil rukyat yang dapat diterima atau ditolak karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau membatasi hisab agar sesuai syarat masuknya bulan baru yang disepakati.

Masalahnya, kriteria imkan rukyat yang dapat dijadikan sebagai titik temu tersebut belum seragam. Menurut anggota Biro Penelitian dan Pengembangan Lajnah Falakiyah NU, Djamhur Effendi, dalam "Silaturrahim Nasional Ahli Rukyat dan Hisab NU" di Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Brebes, Jawa Tengah, awal September lalu, setidaknya terdapat dua hasil ilmiah dan satu kesepakatan yang patut dipertimbangkan dalam menentukan imkan rukyat.

Kriteria pertama adalah menggunakan Limit Danjon yang dibuat oleh astronom Perancis, André-Louis Danjon (1890-1967). Hasil penelitian Danjon menunjukkan hilal tidak mungkin teramati jika jarak busur matahari- bulan kurang dari 7 derajat. Data terbaru mencatat Limit Danjon memiliki presisi hingga 6,4 derajat.

Kriteria lainnya adalah kriteria MABIMS yang merupakan kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada 1992. Kriteria ini mensyaratkan hilal dapat dilihat jika tinggi minimalnya 2 derajat, jarak busur bulan-matahari minimal 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam setelah ijtimak.

Kriteria ketiga adalah kriteria International Islamic Calendar Program (IICP) yang dikembangkan M Ilyas dari Malaysia. Kriteria ini mensyaratkan hilal dapat teramati jika waktu terbenam bulan lebih lambat 40 menit daripada waktu terbenam matahari. Umur bulan sejak ijtimak minimal 16 jam di daerah tropis atau 20 jam di daerah dengan garis lintang tinggi.

Selain itu, jika beda azimut bulan matahari 0 derajat, maka jarak busur bulan-matahari minimal 10,5 derajat. Jika beda azimut lebih dari 0 derajat, maka jarak busur bulan-matahari harus lebih besar dari 10,5 derajat.

Ketidakjelasan kriteria imkan rukyat ini yang membuat pengguna hisab enggan menggunakannya. Perukyat pun sering kali tidak mengindahkan kriteria imkan rukyat yang disepakati.

Namun, Thomas menilai, untuk menggunakan kriteria yang ada saat ini menuju kriteria astronomi murni seperti dalam Limit Danjon dan kriteria IICP akan lebih sulit. Kriteria itu juga banyak ditolak digunakan di negara-negara Islam lainnya. Perubahan perlu dilakukan secara gradual, yakni memakai kriteria tengah yang mendekati kriteria astronomi modern tetapi tetap berpedoman pada data dan pengalaman masa lalu.

Oleh karena itu, Lapan mengajukan kriteria yang dibuat berdasarkan data rukyat hilal di Indonesia yang didokumentasikan oleh Departemen Agama antara tahun 1962-1997. Awal bulan baru dimulai jika umur hilal minimal 8 jam dan tinggi hilal minimal tergantung dari beda azimut bulan-matahari. Bila beda azimut bulan-matahari 0 derajat, maka tinggi minimal hilal 8,3 derajat. Adapun jika beda azimut bulan-matahari 6 derajat, maka tinggi hilal minimal 2,3 derajat.

Sosio-politik

Jika dalam metode sudah dapat dipertemukan antara pengguna hisab dan rukyat, tetapi implementasinya tidaklah segampang membalik telapak tangan. Wakil Direktur Pusat Studi Agama dan Lintas-Budaya UGM Yogyakarta Zainal Abidin Bagir mengatakan, perbedaan penentuan hari raya bukan disebabkan oleh resistensi ormas Islam dalam menyerap ilmu pengetahuan modern. Perbedaan lebih disebabkan kurangnya upaya serius ormas untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"Perbedaan metode dianggap sebagai bagian dari rivalitas antar-ormas," katanya.

Hal senada diungkapkan Kepala Subdirektorat Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Depag Muhyiddin. Menurut dia, 80 persen perbedaan hari raya disebabkan oleh masalah sosial keagamaan.

"Selama kepentingan-kepentingan kelompok ini belum hilang, sulit diharapkan hari raya akan bersama," tegasnya.

Sikap tengah yang diambil pemerintah di satu sisi menguntungkan karena mengakomodasi kepentingan semua ormas Islam. Akan tetapi, cara ini juga berpotensi membingungkan umat akibat ketidaktahuan mereka terhadap mekanisme penentuan hari raya.

No comments: