Saturday, October 27, 2007

Fundamentalisme Islam-Politik



Oleh : M Faishal Aminuddin

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

Perdebatan tentang kiprah fundamentalisme Islam-politik telah terbingkai dalam wacana yang serba miring dan bias. Banyak tuduhan yang dialamatkan dari keberadaannya sebagai Islam radikal yang harus selalu dicurigai. Konsekuensi yang jelas-jelas ditanggung dalam kehidupan bernegara di Indonesia adalah munculnya stigmatisasi bahwa fundamentalisme mengandung bibit a-demokratis yang hanya merecoki arah politik nasional.

Sinisme terhadap keberadaan fundamentalisme Islam-politik sepertinya terlebih dulu dipahami dalam matarantai yang menghubungkan konteks regional dengan global. Anthony Buballo dan Greg Fealy (2005) menemukan fakta yang menarik yang menyebutkan fundamentalisme Islam-politik di Indonesia banyak dipengaruhi dan berjaringan dengan aliran serupa yang ada di Timur Tengah.

Para ideolognya di Indonesia, menurut Buballo dan Fealy tidak mengadopsinya dengan mentah-mentah melainkan telah meramu sebuah aktivitas baru untuk menghubungkan antara Islam, politik, dan masyarakat dalam satu wajah. Dalam kancah politik hal itu sangat terlihat pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang membawa agenda politik pemberlakuan syariah sebagai salah satu tujuan dalam politik nasional. Di tingkat global, parpol tersebut menolak pembaratan dengan segala macam produk ideologinya.

Mendukung demokrasi
Parpol yang berasaskan Islam yang ada di Indonesia misalnya mempercayai mekanisme dan menempuh jalur demokrasi untuk memperjuangan Islam sebagai solusi mirip dengan Hizb al Wasat di Mesir atau Partai Pembangunan dan Keadilan di Turki. Perkembangan dan pelembagaan politik yang dicapai oleh PKS, PPP dan PBB memang menggembirakan karena, selain bisa membuktikan fundamentalisme Islam-politik bukanlah persoalan bagi Indonesia, malah bisa dijadikan bahan untuk merekonstruksi gagasan dialog Barat-Islam dengan melibatkan kelompok ini.

Secara psikologis, tudingan beberapa pemerintahan Barat, sebut saja AS, Inggris, dan Australia yang menstigmatisasi fundamentalisme dalam wajah anarkhis berakibat pada pencitraan yang sudah dibangun oleh PKS. Di antara pemimpin ormas Islam moderat pun nyaris tidak pernah bertanya apa penyebab penolakan PKS atas Barat.

Kalangan pengambil kebijakan di Barat banyak terpengaruh tesis benturan peradaban Samuel Huntington yang berangkat dari pemahamannya tentang Islam politik bisa menjadi ancaman peradaban Barat yang berkarakter demokrasi sekuler (Huntington:1997). Namun, Huntington tidak spesifik menjernihkan siapa yang dimaksud sebagai Islam politik. Ada begitu banyak gerakan politik yang membawa bendera Islam di negara-negara yang mengklaim Muslim atau negara sekuler yang dihuni oleh mayoritas Muslim.

Fundamentalisme di Indonesia merupakan kelompok minoritas karena ada Islam modernis dan tradisionalis yang juga mempunyai afiliasi politik di tingkat yang lebih formal yakni partai politik, di samping organisasi yang sudah mapan dan menyejarah. Dalam teorisasi Azzam Tamimi (2005), ketika minoritas berada di wilayah negara yang menjamin keamanan dan kebebasan berekspresi serta mempertahankan keyakinannya, maka tidak ada jalan lain kecuali mengikuti aturan main yang sudah dibuat. Tugas mereka selanjutnya adalah mengorganisasi keyakinannya di dalam masyarakat atau komunitasnya untuk disuarakan dalam mekanisme dan saluran politik yang ada.

Alasan utama yang bisa ditangkap dari uraian Tamimi menepis kekhawatiran meluasnya pengaruh fundamentalisme sebagai kekuatan baru yang bisa mengubah tatanan demokrasi sekuler. Fundamentalisme politik yang diusung oleh parpol berasaskan Islam juga berciri modern dan progresif sehingga bisa menarik simpati serta menghasilkan peralihan pemilih yang menambah jumlah suara pada pemilu. Demikian halnya dengan asas Islam yang dimanfestasikan dalam tujuan untuk menerapkan syariah sebagai pilar bernegara tidak bisa dianalogikan dengan keinginan untuk mengganti Indonesia sebagai negara Islam.

Fundamentalisme yang hidup dalam demokrasi sekuler berupa simbiosis mutualisme. Misi yang dibawa juga sama normatifnya dengan misi dari kekuatan politik nasionalis, sosialis, sekularis, atau basis religius lainnya seperti perang terhadap korupsi, penegakan keadilan dan hukum, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan lainnya.

Lebih jelasnya, sangat dibutuhkan kehati-hatian dan kejernihan untuk membentuk persepsi atas terminologi fundamentalisme. Ada kecurigaan kalau selama ini stigmatisasi atas betapa buruknya wajah fundamentalisme justru berasal dari kelompok Islam moderat sendiri yang membawa perdebatan teologis ke ranah politis. Fundamentalisme merupakan barang baru di pentas politik nasional, setidaknya apa yang dibawa oleh PKS bisa jadi diturunkan dari parpol Islam Masyumi yang mempercayai bahwa dengan jalan demokrasi dan konstitusional, tujuan untuk mengegolkan syariah bisa dilakukan.

Wajah anarkis dari fundamentalisme yang disebut-sebut banyak terlibat dalam berbagai kegiatan terorisme dan pengrusakan di sana-sini atas nama Islam lebih cocok disebut Islam radikal. Pembeda penting antara fundamentalisme dan radikalisme terletak pada cara penyampaian, pola perjuangan dan tujuan. Tidak dapat dipungkiri alasan keberadaan keduanya bisa mempunyai perbedaan yang sangat tipis.

Politik Indonesia seharusnya lebih mengakomodasi semua kekuatan politik yang ingin mencoba peruntungannya melalui aturan main yang ada. Jangan terburu-buru untuk menghakimi dengan landasan yang bersifat artifisial dan simbolik dalam keadaan panik.

Betapapun, fundamentalisme Islam politik yang membawa sekeranjang agenda politik, sangatlah sah dan perlu diberikan penghormatan, perlindungan, dan kepastian pada mereka untuk beraktivitas. Tidak perlu ada kekhawatiran, apalagi ketakutan. Jika dalam kerangka dialog Barat-Islam hanya melibatkan Islam moderat tanpa mengajak kelompok fundamentalis sama halnya menafikkan kekuatan penting.

No comments: