Monday, October 22, 2007

Negeri yang Fitri



Oleh : Anton Setyo Nugroho

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Antropologi Lingkungan dan Ilmu Sosial, Saga University, Jepang

Lebaran yang telah berlalu menyisakan sebuah momentum menawan bagi seluruh Muslim di dunia, tak terkecuali umat Muslim Indonesia. Kurang lebih 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Suasana hiruk-pikuk Idul Fitri seakan merasuk secara mendalam ke seluruh pelosok negeri. Jutaan manusia berbondong-bondong melakukan mudik. Dari rakyat kecil hingga pejabat tak mau ketinggalan untuk bisa berlebaran di kampung halaman masing-masing.

Tetapi di balik itu semua seakan kita lupa tentang makna Idul Fitri itu sendiri. Hanya seremoni dari perayaan tersebut yang sering menghiasi layar media. Padahal Idul Fitri mempunyai makna yang lebih mendalam. Secara individual, seseorang yang benar-benar khusyuk dan ikhlas menjalani puasa maka dia akan kembali suci. Dengan modal itu, tentunya kita akan menapaki bulan-bulan berikutnya dengan kualitas yang lebih baik. Keberhasilan Ramadhan akan ditentukan oleh perilaku kita pasca-Ramadhan ini.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara yang sebagian dihuni oleh umat Muslim ini, seharusnya masyarakat Indonesia lebih mudah dalam memaknai dan mengimplementasikan makna dari Ramadhan dan Idul Fitri tersebut. Puasa telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat Muslim di manapun berada tanpa memandang siapa dia. Seorang yang miskin, pedagang, petani, pegawai sampai presiden pun tidak terlepas dari kewajiban ini jika dia mengaku sebagai seorang Muslim. Artinya jika seluruh umat Muslim ini benar-benar kembali fitri, tentunya kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi lebih baik.

Potret di Hari Fitri
Sampai detik dan hari ini kita sudah menapaki Idul Fitri sebanyak 62 kali semasa bangsa ini menikmati kemerdekan. Namun kita bisa bayangkan secara individu maupun sebagai bangsa, kualitas kita masih jauh dari harapan. Perilaku individu dan sebagian besar pemimpin kita masih jauh dari harapan. Detik demi detik selalu terdengar di telinga kita tentang merebaknya kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, dan korupsi.

Sampai tahun 2006 tingkat kemiskinan di Indonesia kurang lebih masih mencapai 18 persen. Jumlah penganggur di Indonesia pada tahun yang sama, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), telah mencapai 10,93 juta orang dan jumlah itu lebih didominasi oleh kelompok usia muda yang berpendidikan sekolah menengah. Kenyataan ini menjadi terasa sangat aneh karena kita mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Padahal kemiskinan ini menjadi akar permasalahan yang berujung pada kriminalitas, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Sumber daya manusia Indonesia pun masih tertinggal dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Secara keseluruhan kualitas SDM Indonesia masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas. Sebesar 53,1 persen penduduk pada kelompok usia ini, hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah, 41,2 persen berpendidikan sekolah menengah, dan hanya 5,6 persen yang berpendidikan diploma atau sarjana. Sedangkan tingkat indeks kualitas SDM Indonesia menduduki peringkat ke-112 dari 175 negara pada tahun 2006. Kondisi politik di negeri ini juga tidak jauh beda dari potret kualitas SDM tersebut. Tingkat korupsi, kolusi, nepotisme di seluruh jajaran struktural di Indonesia baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif masih sulit untuk dikurangi.

Para pemimpin bangsa ini justru lebih disibukkan untuk memikirkan eksistensi politik tahun 2009 ketimbang memikirkan rakyat yang selalu dalam kesulitan. Memikirkan pendanaan partai politik lebih penting ketimbang membangun infrastruktur maupun perekonomian untuk rakyat. Pertentangan-pertentangan terus dipertontonkan di hadapan rakyat yang seharusnya tidak perlu dan menghabiskan energi. Memang sebuah perbedaan adalah rahmat yang diberikan Allah SWT, akan tetapi membuat rakyat bingung merupakan sebuah kenistaan.

Seharusnya pemimpin-pemimpin bangsa ini lebih mementingkan persatuan umat daridapa perbedaan-perbedaan yang menonjolkan golongan maupun kelompoknya. Melihat fenomena seperti itu, muncul sikap pesimistis yang ada di benak kita. Masih adakah harapan bagai negara kita ini untuk menjadi negeri yang penuh rahmat baldatun toyyibatun wa Rabbun ghaffur?. Negeri yang diberikan kenikmatan oleh Allah SWT dengan kemakmuran, kesejahteraan, dan ketenteraman karena mampu mengelola dirinya dengan benar dan diliputi rasa syukur.

Seharusnya kekhawatiran tadi tidak perlu dimunculkan jika kita benar-benar melaksanakan puasa Ramadhan dan dapat memaknai Idul Fitri dengan benar. Dalam suasana yang fitri ini sudah saatnya kita mulai hijrah kearah yang lebih baik. Pada Bulan Syawal ini kita seperti dilahirkan suci kembali. Dengan hati suci tentunya kita harus mampu mengubah perilaku-perilaku buruk yang pernah kita lakukan.

Masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim harus mampu mengubah sikap dan kebiasaan buruknya karena mereka telah tertempa selama Ramadhan. Perubahan perilaku-perilaku kurang baik ke arah yang lebih baik akan memacu masyarakat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Masyarakat harus lebih memahami hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih arif dan bijaksana. Menumbuhkembangkan pribadi-pribadi yang suka bekerja keras seperti yang Rasulullah SAW teladankan, adalah langkah yang sangat diperlukan. Melalui individu yang unggul maka daya saing bangsa akan meningkat.

Perlu keteladanan
Perubahan seperti itu bukan saja diperlukan oleh masyarakat biasa, tetapi perubahan perilaku untuk menjadi lebih baik, utamanya juga diperlukan oleh para pemimpin kita dari tingkat atas sampai bawah. Idul Fitri seharusnya dijadikan momentum oleh para pemimpin untuk hijrah ke arah yang lebih baik. Jika para pemimpin ini benar-benar khusyuk menjalankan ibadah Ramadhan tentunya akan terlihat hasilnya setelah Lebaran ini. Mampukah para pemimpin bangsa ini melakukan hijrah dalam hal perilaku berpolitik, moralitas, menjunjung tinggi hukum, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi maupun golongannya. Mampukah mereka memahami hakikat makna demokrasi yang elegan. Bukan demokrasi yang penuh intrik, manipulasi, persaingan kasar sampai money politics.

Perubahan besar akan lebih cepat terlaksana jika para pemimpin kita mempunyai keberanian untuk melakukan perubahan secara fundamental untuk memperbaiki bangsa ini. Kita memerlukan pemimpin yang berani melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi dan kebobrokan lainnya itu sebenarnya bersumber dari sistem yang lemah alias sistem yang menjebak siapa pun untuk berbuat keburukan. Bercermin dari Rasulullah SAW tentunya perubahan itu berawal dari keteladanan pemimpin. Kita berharap kepada para pemimpin yang telah bertempur di medan Ramadhan ini mampu mengimplementasikan sikapnya setelah Idul Fitri. Mereka kembali bersatu menentukan arah dan bekerja keras demi mewujudkan negeri yang fitri, adil dan makmur sesuai amanat UUD 1945.

Ikhtisar
- Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim semestinya menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya makna hakiki dari pelaksanaan ibadah Ramadhan dan Idul Fitri.
- Cuma, dalam kenyataannya, momentum yang sangat berharga itu tidak termanfaatkan dengan baik sehingga dinamika kenegaraan di Indonesia masih jauh dari harapan.
- Masyarakat Indonesia memerlukan keteladanan untuk bisa menjadikan momentum tersebut sebagai sarana berhijrah menuju kondisi yang lebih baik.

No comments: