Wednesday, April 16, 2008

Agama dan Prinsip Teodisia


Ditulis oleh : Miming Ismail, Pegiat Sastra dan Filsafat Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina Jakarta

Agama pada mulanya dimulai dengan hening, sunyi, dan senyap demikian kata esais Goenawan Mohammad. Metafora itu dalam beberapa hal mungkin benar, tapi sekaligus keliru. Ia mungkin benar, sejauh metafora hening, sunyi, dan senyap secara intrinsik melekat dalam semangat teodisia (ketertujuan). Karena itu, spirit dasarnya merujuk pada situasi batin maupun pikiran yang penuh dengan nuansa ketenangan tanpa konflik dan ketegangan. Ia keliru bila seakan agama lepas dari realitas dunia aktual yang meniscayakan kontaminasi, kontradiksi, dan alienasi di dalamnya. Karena itu, spirit dasar agama juga riuh dengan semangat pembebasan demi ketertujuan itu sendiri.

Namun menurut filsuf idealis Hegel, agama atau iman pada mulanya adalah semesta roh atau spirit yang terbelah, penuh tegangan, oposisi, dan negasi. Bila bertolak dari pengandaian dialektis macam itu barangkali metafora yang identik dengan agama adalah riuh dan mungkin situasi batin yang gaduh, bukan hening, senyap, dan sunyi tadi.

Sejak awal, agama atau iman selalu sudah hadir berhadapan dengan pikiran murni (pure insight), keduanya muncul dari kesadaran murni yang terbelah, meniscayakan kontradiksi dan oposisi (konflik dan ketegangan) baik batiniah maupun di luar yang batiniah. Dalam situasi macam itulah agama yang melekat pada iman sebenarnya memiliki keriuhan sekaligus pergulatan penuh liku dalam realitas dunia aktual.

Bukan hening, melainkan riuh

Bila menengok dalam sejarah atau mitos mengenai munculnya agama-agama di dunia--sejak mitos turunnya Adam ke bumi--pada mulanya agama merupakan suatu realitas dunia aktual yang semula gelisah dengan segala riuh hasrat, perasaan, prasangka, dan habitus lainnya yang saling silang dalam konteks dialektika kebudayaan. Karena itu momen negatifitas adalah titik tolak pergulatan nilai dalam agama dan kebudayaan itu sendiri. Hingga dalam batas tertentu mengalami perkembangan dirinya ke arah yang lebih rasional.

Karena itu, kondisi-kondisi ketegangan alamiah merupakan hal yang niscaya dalam proses pembentukan sejarah kultur dan agama. Proses determinasi berlangsung dalam proses penemuan diri subjek dalam sejarah. Sebab itu, iman merupakan bentuk dari realitas yang selalu terbelah saling beroposisi dengan kesadaran atau pikiran murni yang melekat pada subjek bernama manusia.

Dari situlah titik keterasingan bermula, yang dalam definisi sosiolog Berger, dilihat sebagai momen objektifikasi manusia dari realitas subjektifnya ke dalam realitas objektif, yaitu ke dalam iman atau agama sebagai bagian dari entitas dunia aktual. Dalam tahap atau momen objektifikasi itu manusia terasing dari dunia kesadarannya.

Tahap-tahap objektifikasi dan subjektifikasi itu kemudian saling bermediasi ke dalam momen rekonsiliasi dengan agama mengalami rasionalisasi dirinya dengan unsur-unsur subjektif dalam diri manusia sehingga secara dialektis kebudayaan menghasilkan produk-produk hukum baru dalam setiap tahapnya. Meski tak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap inci dan tahapan momennya selalu ada ketegangan sekaligus kontradiksi di dalamnya.

Keriuhan atau kegaduhan agama juga tecermin ketika ia berdiri dan berelasi dengan realitas dunia aktual yaitu ketika agama atau ajaran keagamaan berhadapan langsung degan dunia material, seperti problem ketidakadilan, kesetaraan, dan problematika lainnya yang bersifat sekuler (duniawi). Sebagaimana muncul dalam 'yang politis' yang problem utamanya selalu berkutat pada persoalan injustice, seperti ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan hilangnya persahabatan, padahal pada mulanya yang politis itu bertolak dari semangat dasar liberty, equality, and fraternity.

Agama dan Teodisia

Tiga problematika itulah yang selalu mengisi keresahan teologis di tengah keheningan agama yang dibayangkan di atas. Karena itu, agama dalam arti tertentu juga memiliki semangat yang utopis yaitu semangat teodisia atau semangat ke-ter-tujuan akan penyelenggaraan yang ilahiah, sebagaimana pernah dimaklumatkan Ernest Bloch, dalam The Prinsiple of Hope.

Semangat ke-ter-tujuan dalam agama itu muncul ketika problem krusial dalam konteks yang politis atau tatanan sosial politik tadi tidak selalu berjalan sempurna sebagaimana dibayangkan pikiran. Karena itu agama memiliki karakter dasar semangat pengharapan akan ke-ter-tujuan manusia pada masa depan dunia kehidupan yang penuh keadilan dan kesetaraan yang bertolak dari keadilan ilahiah. Sebab watak dasar dari realitas atau konsep yang politis di atas itu selalu terbatas.

Dalam konteks ini, agama setidaknya menyelipkan janji kesempurnaan tentang ideal dunia sana yang penuh keadilan, kebebasan, dan semangat persahabatan abadi. Karena bertolak dari keyakinan dasar bahwa problem paling purba, seperti kesenjangan, ketidakbebasan dan masalah injustice lainnya itu akan selalu menjadi problem abadi di dunia ini. Karena itu, agama memberi ruang pengharapan baru dengan menawarkan segala sesuatu yang tidak akan terwujud dan tak terselesaikan di dunia ini, sebagaimana muncul dalam doktrin penebusan dan pembalasan.

Orang miskin, penderita busung lapar, dan manusia lainnya yang tak beruntung di dunia ini, entah karena problem struktural maupun kultural, boleh jadi masih bisa berharap dalam utopianisme angin surga agama yang ditiupkan sebagai pengharapan akan datangnya hari mendatang.

Anggapan itu boleh jadi naif karena menganggap seluruh tatanan kosmisnya memiliki garis atau suratan takdir yang dengan itu seakan masalah di dunia ini mungkin terselesaikan di suatu masa ketika hari penebusan itu datang. Tapi, realitas menunjukkan doktrin pengharapan akan menjadi relevan ketika justru deru kemajuan yang dicapai oleh teknologi kini memperlihatkan problem ketimpangan, manipulasi, dan semakin kontrasnya batas rasionalitas manusia. Dengan seluruh problem eksploitasi, kesenjangan, dan problem injustice lainnya yang hingga kini masih abadi menjadi persoalan dunia pada umumnya. Meski tentu saja dalam arti tertentu agama tidak mengajarkan sikap fatalis pada setiap individu dalam konteks ini.

Doktrin pengharapan itu menjadi satu-satunya tempat berlindung ketika manusia mengalami dan mengenal batas, multiplisitas yang hadir dalam realitas, dan dari ketiadaan harapan akan terpenuhinya janji keadilan di dunia itulah, prinsip pengharapan menjadi semacam keyakinan akan teodisia.

Bayangkan saja bila di dunia ini sekitar 80 juta jiwa dengan seluruh kerja keras dan usahanya masih saja jatuh dalam kemiskinan akut, bahkan sebagian lainnya jatuh dalam kemiskinan yang ekstrem, sebagaimana ditegaskan Jeffrey Sach. Sementara itu, di tempat lainnya, ada sebagian orang yang tidak perlu bekerja keras, namun masih dapat memenuhi kebutuhan bahkan menghamburkannya dalam gelimang kemewahan.

Di mana letak keadilan di sini? Bukankah tatanan sosial politik yang demokratis semula diniatkan untuk merealisasikan cita-cita keadilan, kesetaraan, dan persahabatan. Tapi mengapa keadilan tak kunjung datang bagi mereka yang lemah?

Lalu, mengapa problem ketidakbebasan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan muncul dalam semangat kawan dan lawan, bukan sebaliknya mendasarkan pada semangat fraternity?

Dalam konteks inilah yang politis sebagai tatanan dunia memiliki batas realisasi dirinya. Barang kali dalam konteks inilah agama hadir mengisi kekosongan itu. Meski kadang batas antara yang telos dan yang politis tak pernah tegas karena keduanya tak pernah berdiri di ruang senyap.

Tapi dalam situasi keterbatasan itulah, agama sesungguhnya hadir menjadi semacam katalog dari problematika dunia yang tak terselesaikan sepenuhnya. Karena itu, dalam arti tertentu, semangat pengharapan dalam agama juga menyiratkan semangat pembebasan dalam tradisi agama-agama yang mulanya memang riuh dengan segala gaduh yang diciptakan dunia.

No comments: