Saturday, April 12, 2008

Talibanisasi Asia Tenggara

Oleh : Azyumardi Azra

Ini adalah judul buku paling baru Bilveer Singh, guru besar madya ilmu politik di Universitas Nasional, yang pernah menulis karya tentang Presiden BJ Habibie. Judul lengkapnya, The Talibanization of Southeast Asia: Losing the War on Terror to Islamist Extremists (Westport, Conn & London: Praeger, 2007).

Judul buku ini dan substansinya bisa menyesatkan; karena pengarangnya menggunakan kacamata kuda dan bahkan kaca pembesar, yang membuat hal kecil menjadi sangat besar. Dengan kacamata kuda, Singh melihat gejala ekstremisme secara satu arah, tanpa mengkaji dan memperhitungkan berbagai faktor, yang memengaruhi meningkatnya gejala ekstremisme keagamaan dan yang mencegahnya.

Ketika ada orang lain mengingatkan bahaya simplifikasi, Singh menolak. Dia menulis: While leading Indonesian scholars such as Professor Azyumardi Azra remained in denial, arguing that 'there is very limited room for radical discourses and movements in Southeast Asia in general. It is therefore simply wrong to assert that Muslim radicalism in the Middle East will find a fertile ground in Southeast Asia', unfortunately, the reality is just reverse.

Lebih jauh Singh menulis: Pockets of radicalism are already deeply entrenched in the region, especially in Indonesia. Even Professor Azyumardi Azra has observed that 'there can be little doubt that the September 11, 2001 tragedy did radicalise certain individuals and groups in among Muslims in Southeast Asia, particularly in Indonesia (halaman 147).

Tidak ada penolakan (denial), bahwa radikalisme di kalangan individual dan kelompok Muslim meningkat berikutan Peristiwa 11 September 2001. Kaum Muslimin di Indonesia mengutuk peristiwa itu. Tetapi, ketika Presiden George W Bush menggempur Afghanistan, maka kemarahan dan radikalisasi meletup di segelintir Muslim, yang memang memendam kemarahan terhadap kebijakan AS yang tidak adil di Palestina, misalnya. Apalagi kemudian Bush menyatakan war on terror, yang pada dasarnya tertuju kepada individu dan kelompok Muslim yang dicurigai terlibat 'jaringan teror'.

Tanpa harus melakukan riset serius, dapat terlihat radikalisasi bukanlah gejala umum dalam masyarakat Muslim Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Bahkan, mengatakan kantong radikalisme 'tertanam begitu dalam' (deeply entrenched) di kawasan [Asia Tenggara], khususnya di Indonesia, jelas merupakan simplifikasi yang menghasilkan distorsi dan mispersepsi menyesatkan.

Simak kembali kutipan Singh; As the Muslims have historically been weakened in the last few centuries, many have sought to regain strength by reinvigorating Islam from within, a process referred to as tajdid and islah, meaning renewal and reform, respectively. This can be undertaken both peacefully and by force. One of the most important renewal movements in Islam is the Salafi movement, closely identified with Wahhabi Islam. Professor Azyumardi distinguishes two types of salafi movements. "Classical Salafiyyah" is seen as peaceful, while "neo-Salafiyyah" is viewed as being radical in nature. Increasingly, in Indonesia, the neo-salafiyyah have gained ground, and this largely explains the trend toward Talibanization in the country (halaman 147-148).

Meski kategorisasi tersebut berasal dari saya, tetapi jelas pernyataan bahwa Salafiyyah klasik umumnya damai dan sebaliknya neo-Salafiyyah adalah radikal. merupakan interpretasi Singh sendiri. Karena, gerakan Wahabiyah di Arab Saudi pada akhir abad ke-18 atau Gerakan Padri di Minangkabau pada abad ke-19 yang termasuk ke dalam Salafiyyah klasik, jelas radikal. Sebaliknya, juga terdapat gerakan neo-Salafiyyah yang bersifat damai, atau tepatnya pemurnian keagamaan. Sekali lagi, pemikiran dan gerakan Salafiyyah sangat kompleks dan karena itu orang tidak dapat secara gegabah menyederhanakannya.

Singh jelas bukan seorang ahli tentang Islam, baik Islam di Indonesia maupun dalam konteks perbandingan dengan Islam di Timur Tengah atau tempat lain di muka bumi. Karena itu, tidak mengherankan, dia tidak memahami sejarah, dinamika dan kompleksitas Islam dan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.

Walhasil, buku ini, merupakan karya tipikal dalam security studies, yang cenderung menyodorkan apa yang saya sebut sebagai exaggerated fear, ketakutan yang berlebihan dan dibesar-besarkan. Menyebut adanya 'Talibanisasi' di Asia Tenggara, jelas termasuk ke dalam bentuk exaggerated fear tersebut. Islam di Asia Tenggara, dengan karakter keagamaan, akar historis, lingkungan sosio-kultural dan politiknya yang khas, bukanlah lahan subur bagi Talibanisasi. Karena itu, apa yang disebut 'Talibanisasi' tak lebih dari distorsi dan mispersepsi belaka.

No comments: