Thursday, April 17, 2008

Kebebasan Beragama Kita (Our Record of Freedom of Religion)

Penulis:
Luthfi Assyaukanie
Bidang Kajian: Filsafat Politik dan Isu-Isu Keagamaan

Pertengahan September silam, Kementrian Negara Amerika Serikat merilis laporan terbarunya tentang kebebasan beragama di Indonesia. Secara rutin, lembaga ini menerbitkan laporan tahunan tentang kondisi kebebasan beragama di berbagai negara di dunia dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa yang terkait dengan isu agama selama setahun terakhir. Secara umum tidak ada yang mengejutkan dari isi laporan itu. Kondisi kebebasan beragama kita masih memprihatinkan dan belum ada perubahan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Pelanggaran dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih kerap terjadi dan aksi kekerasan atas nama agama belum berhenti. Laporan itu menyebutkan beberapa faktor yang mendorong munculnya diskriminasi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Di antaranya kurang tegasnya pemerintah dan tak adanya keinginan untuk mengubah situasi ini. Dalam beberapa kasus, pemerintah malah dinilai mendiamkan saja kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Kalaupun ada tindakan, para pelakunya biasanya bebas dari jerat hukum. Beberapa aturan juga ditengarai sebagai faktor pemicu diskriminasi dan pengekangan terhadap kebebasan. Otonomi daerah memungkinkan provinsi dan kabupaten memiliki peraturan sendiri (Perda). Sebagian Perda sangat positif bagi kemajuan daerah, tapi beberapa yang lainnya, sayangnya, sangat negatif bagi kebebasan dan hak-hak warga. Berdasarkan standar internasional, konstitusi kita juga sebetulnya bermasalah, atau paling tidak berpotensi memicu masalah. Deklarasi HAM tentang kebebasan beragama menjamin manusia untuk beragama dan tidak beragama, tapi konstitusi kita secara jelas menegaskan pentingnya ketuhanan. Meskipun sila pertama dari Pancasila bisa dimaknai secara fleksibel, tapi ia terlanjur dipahami sebagai dasar untuk menolak keyakinan ateisme. Orang yang tak beragama akan mengalami kesulitan hidup di republik ini. Aturan tentang jumlah agama juga merupakan faktor lain pemicu munculnya diskriminasi dan pengekangan terhadap kebebasan. Dengan hanya mengakui enam agama, negara kita secara implisit menganulir banyak agama penting lainnya, termasuk agama Yahudi yang sebetulnya masih serumpun dengan Islam dan Kristen. Yang lebih mengenaskan adalah bahwa aturan ini digunakan untuk menggerus keyakinan-keyakinan lokal yang banyak sekali jumlahnya. Tidak Tegas. Ada beberapa kasus pelanggaran yang terjadi selama tahun 2006 dan awal 2007 di mana faktor utamanya adalah akibat ketidaktegasan pemerintah. Salah satunya adalah kasus pembakaran dan pengrusakan terhadap gedung dan aset Ahmadiyah serta penganiayaan terhadap anggota kelompok ini. Penderitaan yang dialami anggota Ahmadiyah jelas disebabkan oleh ketidaktegasan pemerintah dalam melindungi mereka. Pemerintah cenderung mendiamkan sebab utama pemicu kebencian terhadap kelompok ini, yakni fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juni 1980 dan diperbaharui pada Juli 2005. Tidak pernah ada anjuran atau apalagi teguran kepada MUI karena mengeluarkan fatwa berbahaya itu. Padahal, jelas-jelas temuan Komnas HAM (September 2006) menegaskan keterkaitan yang erat antara fatwa MUI dan penciptaan rasa benci dan permusuhan terhadap Ahmadiyah. Kasus Ahmadiyah selalu menjadi langganan monitor dunia internasional. Ketidaktegasan pemerintah dalam menangani kasus ini akan terus menjadi sorotan lembaga-lembaga HAM dunia. Masalah Ahmadiyah memang menjadi isu dilematis bagi pemerintah. Pada satu sisi pemerintah berkewajiban melindungi setiap keyakinan warganya, namun pada sisi lain, pemerintah merasa harus mengakomodasi MUI, lembaga yang notabene didirikan oleh pemerintah. Hanya jika pemerintah mau memikirkan kembali fungsi MUI masalah ini bisa diatasi. MUI didirikan untuk membantu pemerintah mengatasi urusan kaum Muslim. Lembaga ini bukan didirikan untuk mengatur atau apalagi mendikte negara, tapi sebaliknya, ia didirikan untuk membantu negara menjalankan program-programnya. Artinya, jika ada pandangan atau sikap MUI yang bertentangan dengan kebijakan negara, maka dengan sendirinya ia harus ditolak. Dalam banyak perkara, isu-isu menyangkut penodaan atas kebebasan beragama terkait dengan fatwa dan pandangan yang dikeluarkan MUI. Mestinya negara bisa ikut campur atas apa yang dikeluarkan MUI, karena ia bertanggungjawab terhadap setiap pernyataan dan tindakan yang dilakukan lembaga ini. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menganggap lembaga ini istimewa atau apalagi maksum dari kesalahan, sehingga tak bisa ditegur. Perda dan Konstitusi. Masalah lain yang menjadi faktor pendorong pelanggaran terhadap kebebasan beragama adalah munculnya Perda yang secara substansial bertentangan dengan semangat konstitusi. Perda-perda yang terinspirasikan dari Syariat cenderung memicu diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan pengekangan terhadap kebebasan masyarakat secara umum. Di Aceh, misalnya, pelaksanaan Syariat menutup kemungkinan berkembangnya agama atau aliran lain yang berbeda dari keyakinan mayoritas. Di tempat-tempat lain, Perda bernuansa Syariat mengekang kebebasan sipil dan cenderung merugikan kaum perempuan. Perda tentang larangan membuka bar dan klab malam selama bulan Ramadhan, misalnya, jelas-jelas melanggar kebebasan warga untuk mencari nafkah dan kebebasan orang banyak untuk menikmati hiburan. Dari perspektif keadilan, aturan semacam ini jelas diskriminatif dan bertentangan dengan semangat kebebasan yang dilindungi konstitusi. Sejauh ini kita belum melihat inisiatif dari pemerintah untuk mempertanyakan Perda-Perda semacam itu. Saya tidak tahu apakah karena pemerintah kita sungkan untuk mengangkatnya mengingat isu ini cukup sensitif atau karena pemerintah memang tidak merasa ada masalah dengan aturan-aturan seperti itu. Masalah ini menjadi semakin penting karena semakin banyak daerah yang menyusupi aturan-aturan diskriminatif dalam Perda yang sedang mereka rancang. Laporan kondisi kebebasan beragama yang dikeluarkan kementrian negara AS secara rutin bisa dijadikan cermin untuk kita memperbaiki kondisi kebebasan kita selama ini. Jangan pernah anggap sepele laporan-laporan semacam ini, karena ia terkait erat dengan citra dan status kita di mata internasional. Jika kita masih menganggap investasi asing itu penting dan berkerjasama dengan dunia luar itu penting maka memperbaiki citra adalah prasyarat untuk menuju ke arah itu.

No comments: