Tuesday, April 15, 2008

Benazir Bhutto tentang Dunia Islam

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Nama lengkapnya, Mohtarma Benazir Bhutto (21 Juni 1953-27 Desember 2007). Dia mati secara tragis pada 27 Desember 2007 saat berkampanye untuk Pakistan People's Party (PPP), partai warisan ayahnya Zulfikar Ali Bhutto, yang digantung Jenderal Zia Ul Haq pada 1979 dengan bermacam tuduhan. Sekiranya ayahnya tidak dibunuh, besar kemungkinan Benazir tidak akan pernah memasuki dunia politik yang sarat dengan ketegangan dan kekejaman itu. Kematian sang ayahlah yang memaksa Benazir untuk tampil, semula dikenal di lingkungan negaranya sendiri, kemudian merangkak menjadi politikus kelas dunia.

Dalam the New Guinness Book Record 1996, Benazir dinobatkan sebagai ''The world most popular politician'' (politikus paling populer dunia). Kepopulerannya melebihi ayahnya. Benazir adalah seorang pembicara yang memukau. Bandingannya untuk Asia Tenggara adalah Anwar Ibrahim, kader dan kemudian menjadi musuh Mahathir.

Kelemahan PPP terletak pada kenyataan bahwa partai ini seperti milik keluarga. Dari Zulfikar Ali Bhutto ke Benazir Bhutto, dan sekarang kepada Bilawal yang masih berusia 19 tahun dan lebih banyak menetap di luar negeri. Yang agak di luar perkiraan saya adalah bahwa Benazir ternyata turut memikirkan masa depan dunia Islam secara serius.

Beberapa penghargaan dari berbagai lembaga dunia bergengsi telah dipasangkan di pundaknya, termasuk beberapa doctor HC. Sebagai figur yang berasal dari keluarga elite Karachi, tidak sulit bagi Benazir untuk belajar di Universitas Harvard dan Oxford, sekalipun tidak sampai ke tingkat PhD.

Benazir adalah perdana menteri perempuan pertama di dunia Islam era modern, sekalipun mayoritas ulama Pakistan masih mengharamkan kepemimpinan perempuan. Siapa pembunuh perempuan yang sebenarnya berbakat ini, belum ada kesimpulan final. Tetapi, sebagai bagian dari filosofi politik kaum fundamentalis yang memandang enteng kematian orang lain dan kematian diri sendiri, tidak mustahil bahwa yang menyudahi nyawa Benazir adalah dari kelompok ini, sebutlah neo-Khawarij, di era kita.

Sebenarnya, kepulangan Benazir ke Pakistan Oktober 2007 adalah atas dorongan Gedung Putih agar mau berunding dengan Presiden Pervez Musharraf, tangan kanan Amerika dalam upaya memerangi terorisme. Saya tidak tahu mengapa Amerika berinisiatif untuk itu, tetapi jelas untuk kepentingan politik global negara adikuasa ini. Belum ada kesepakatan apa-apa dengan Musharraf, Benazir telah bersimbah darah, sebuah fakta yang sebenarnya tidak asing dalam perpolitikan Pakistan. Selama Benazir menjabat perdana menteri dalam dua periode, tantangan yang dihadapinya sungguh dahsyat. Pakistan, sekalipun punya bom nuklir, dikenal sebagai sebuah bangsa yang terpecah secara politik dan rentan secara etnik. Itulah sebabnya dalam Resonansi beberapa bulan yang lalu, saya katakan bahwa Islam di sana belum dijadikan acuan utama dalam cara berbangsa dan bernegara, sebagaimana juga terlihat di seluruh negeri Muslim.

Terlepas dari itu semua, Benazir adalah seorang penulis prolifik. Karya barunya, Islam, Democracy, and the West, New York: HarperCollins, 2008, terbit setelah penulisnya wafat. Saya belum baca buku ini, tetapi baru mengikutinya dari resensi Fareed Zakaria dalam harian The New York Times, 6 April 2008. Inilah catatan Fareed:

Ditulis saat ia sedang bersiap-siap untuk kembali ke kehidupan politik. Ini adalah sebuah buku tentang kecerdasan yang hebat, keberanian, dan kejernihan. Ia mengandung tulisan terbaik dan interpretasi modern yang sangat persuasif tentang Islam yang telah saya baca. Tentu saja, bagian yang membuat buku ini dihormati adalah identitas pengarangnya.

Tentang situasi kontemporer dunia Islam yang ringkih ini, Benazir menulis: ''Lebih mudah menyalahkan pihak lain daripada kita sendiri yang menerima tanggung jawab. Satu miliar umat Islam di seluruh dunia tampak bersatu dalam kemarahan mereka terhadap perang di Irak, tetapi ada suasana diam yang mematikan manakala dihadapkan kepada kekerasan Muslim terhadap Muslim. Bahkan mengenai Darfur, di mana berlaku pemusnahan terhadap sebuah populasi Muslim, justru tidak ada protes yang menarik perhatian.''

Kritiknya terhadap Amerika terutama karena negara inilah yang bertanggung jawab bagi munculnya kediktatoran di Pakistan sambil menghancurkan demokrasi di sana. Padahal menurut Benazir, sistem demokrasilah yang bisa menyelamatkan Pakistan dari keadaan yang penuh bahaya. Sebagai anak Timur dan Barat, Fareed menyimpulkan tentang Benazir: ''She is imbued with rationalism, tolerance, and progressivism'' (Ia diilhami oleh rasionalisme, toleransi, dan progresivisme).

Akhirnya, di mata seorang fundamentalis, Benazir adalah sekuler dan pro-Barat. Oleh sebab itu, darahnya menjadi halal. Bagi saya, dengan segala kelemahan dan kekurangannya, kemunculan Benazir dan PPP di panggung politik Pakistan adalah bukti bahwa fatwa ulama mengenai haramnya kepemimpinan perempuan telah semakin kehilangan otoritas. Oleh sebab itu, perlu diadakan kajian mendalam tentang masalah gender ini, agar perempuan tidak lagi diperlakukan sebagai konco wingking. Dunia telah berubah!

No comments: