Tuesday, April 15, 2008

Lorong Gelap Dunia Wilders

Oleh : Haedar Nashir

Geert Wilders bukan hanya pongah dan naif. Politikus ultrakanan Belanda itu sungguh telah menyemburkan atmosfir kebencian terhadap 1,3 miliar umat Islam sedunia. Ini terkait film Fitna yang diproduksinya telah memfitnah Alquran sebagai kitab fasis sebanding Mein Kampt-nya Hitler, seraya menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai barbar.

Banyak pihak yang juga dibuat tidak nyaman dengan karya provokatif Wilders yang bombastis itu. Siapa yang sebenarnya fasis dan barbar? Boleh jadi, Wilders-lah sang fasis dan barbar itu. Karena, sedemikian vulgar mengekspresikan kebencian terhadap Islam, nyaris tanpa keadaban.

Bagaimana mungkin di sebuah zaman modern ketika nilai-nilai penghormatan terhadap keyakinan siapa pun sangat dijunjung tinggi, malah lahir pikiran naif penuh kebencian sebagaimana diperagakan Wilders? Dengan jaminan kebebasan yang liar, tidak mengherankan jika pemerintah di negeri-negeri yang mengaku berperadaban modern itu selalu berkelit ketika dituntut untuk bertindak tegas. Sikap Pemerintah Belanda adalah salah satu contohnya.

Negeri Kincir Angin itu mengkritik dan tidak setuju dengan perbuatan Wilders, tetapi tidak dapat menindak karena dijamin oleh undang-undang. Demi dan atas nama kebebasan setiap pernyataan dan ekspresi warga negara diperbolehkan dan dijamin konstitusi.

Itulah hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh direnggut siapa pun, termasuk oleh negara. Itulah alam pikiran liberalisme Barat yang naif, yang telah mendarah daging menjadi world view atau pandangan hidup yang kokoh. Suatu paham yang mendewakan kebebasan absolut tanpa batas.

Namun, liberalisme absolut itu dalam praktiknya memiliki banyak ironi. Menjamin orang untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, tetapi tidak pernah mau menjamin, apalagi menindak kesewenang-wenangan atas nama kebebasan yang sesungguhnya merugikan pihak lain. Jika penghinaan, pelecehan, dan penistaan terhadap agama apa pun dan umat beragama mana pun dibiarkan atas nama kebebasan, lantas di mana perlindungan terhadap kebebasan orang lain. Jika umat Islam, misalnya, ingin agama dan kegiatan keagamaannya dijamin hak-haknya oleh prinsip kebebasan tanpa cercaan, hinaan, dan penistaan, di mana letak perlindungan oleh prinsip liberalisme?

Jadi dogma
Liberalisme naif lantas menjadi dogma, bahkan doktrin yang membiarkan anarkisme. John Stuart Mill lewat karya monumentalnya On Liberty memang mengakui kebebasan yang bertanggung jawab. Tapi, filsuf positivisme ini pun tak menghendaki negara membatasi kebebasan warganya, lebih-lebih merenggut kebahagiaan individu.

Orang lantas berhak sewenang-wenang atas nama kebebasan, sedangkan negara tak mampu menghukumnya karena akan bertentangan dengan asas kebebasan itu sendiri. Di sinilah blundernya liberalisme naif, hingga terseret ke lorong gelap dan buntu.

Hingga di sini, liberalisme juga menjelma menjadi dogma baru yang tak kalah doktrinalnya ketimbang agama zaman pertengahan di negeri Barat. Paham ini sangat sensitif terhadap pembelengguan, tetapi membiarkan orang menista.

Paham ini sangat alergi terhadap setiap pikiran dan keyakinan yang absolut, tetapi menjadikan dirinya memiliki hukum besi absolutisme. Paham yang naif ini sangat menjunjung tinggi kenisbian, tetapi memfosilkan dirinya menjadi sebuah sistem yang serba pasti dan tidak mau menjadi nisbi.

Anehnya, kaum liberalis naif sering kali sensitif terhadap dogma dan doktrin agama, seraya melupakan dirinya telah memfosil menjadi super-dogma. Liberalisme naif takut terhadap dogma dan doktrin agama yang bersifat absolut, tetapi dirinya menjelma menjadi dogma dan doktrin baru yang tidak kalah absolutnya.

Anti dan takut terhadap agama, tetapi menjadikan dirinya melampaui dogma agama. Takut dan anti terhadap Tuhan yang dibawa oleh misi setiap agama, tetapi menjadikan liberalisme sebagai paham absolut yang menjelma menjadi tuhan buatan mereka sendiri. Berontak terhadap setiap bentuk kebenaran absolut, tetapi menjadikan dirinya sangkar besi kebenaran absolut yang sangat pongah.

Standar ganda
Kenyinyiran liberalisme naif juga terjadi dalam menyikapi kebebasan. Gemar tebang pilih. Ketika kaum muslimah di negeri-negeri Eropa, seperti di Inggris dan Prancis, ingin mengekspresikan kebebasan beragama dengan memakai jilbab, justru dilarang dan tidak memperoleh ruang publik.

Padahal, kaum muslim itu tidak memaksakan agamanya untuk orang lain, sebatas untuk dirinya sesuai ajaran agama yang semestinya diberi hak hidup, sebagaimana layaknya di negeri-negeri liberal dan berperadaban mulia. Kebebasan tidak berlaku untuk semua orang. Para tokoh Islam menunjuk sebagai standar ganda liberalisme Barat. Kebebasan hanya berlaku bagi kaumnya, tidak berlaku bagi yang lain.

Kita tidak tahu persis kapan lorong gelap liberalisme naif itu akan berakhir. Ketika liberalisme seharusnya memberi kebebasan pada setiap individu, dalam praktiknya banyak individu yang dimatikan haknya. Mana kala liberalisme seharusnya menjunjung tinggi kebenaran yang terentang panjang dan serba melampaui, dikerangkengnya hanya berlaku untuk alam pikiran produk peradabannya sendiri, seolah memelihara benteng chauvinisme sejarah dan budaya lapuk. Di saat penghormatan akan pluralisme beragama dan menganut ajaran agama seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia yang menganut paham kebebasan, justru yang terjadi membiarkan pelecehan, penistaan, dan fitnah terhadap mereka yang ingin beragama sesuai pilihannya.

Liberalisme naif (radikal) bahkan melahirkan nihilisme. Ludwig Feuerbach menihilkan tuhan sekadar konstruksi manusia yang bingung dan ilusionis. Sedangkan, Friedrich Nietzsche dengan pongahnya meneriakkan, "tuhan telah mati."

Jangan-jangan, para pengusung liberalisme naif itu juga memproduksi nihilisme baru atas nama kebebasan yang dilindungi negara. Seraya menuhankan kebebasan yang diyakininya, mereka juga menistakan kebebasan umat beragama. Persis ketika kaum Jahiliyah mereaksi dan menolak risalah Nabi Muhammad yang membawa agama monoteisme (Islam) sebagaimana Ibrahim. Karena, mereka harus melindungi 'arbab' atau tuhan-tuhan bikinan mereka sendiri, yakni Latta dan Uzza.

Alternatif
Karena itu, liberalisme naif ala Wilders harus dijawab dengan tegas, tetapi cerdas. Sikap fasis dan barbar tak perlu direspon dengan tindakan serupa. Jangan mengikuti arus trauma Barat ke hulu dan hilir yang sebaliknya. Bahwa liberalisme naif yang membawa gelombang absolutisme yang mendewakan humanisme antroposentrisme sekuler dijawab dengan antitesis teosentrisme Islam yang serba absolut dan monolitik, baik di dunia pemikiran keagamaan hingga ke tawaran-tawaran ideologi politik Islam yang sama bercorak teosentris dan monolitik. Kebencian dilawan amarah. Liberalisme naif dijawab dengan agama monolitik. Nanti, Islam menjadi sama kerdil dan ekstremnya.

Islam di abad modern dan sarat pertaruhan yang keras sekarang ini tidak boleh kehilangan jangkar keseimbangannya, yang terbukti mampu menghadirkan peradaban alternatif sejak Nabi Muhammad hingga era kejayaan Islam di abad yang lampau. Berikan jawaban alternatif dengan format Islam dan peradaban umat Islam yang puncak menaranya lurus menjulang ke langit dalam ikatan hablu min Allah (teosentrisme tauhid) kokoh, sementara akarnya menancap ke bumi yang nyata dalam rajutan hablu min al-nas (humanisme antroposentrisme profetik) yang mencerahkan dan menyebarkan rahmatan lil-'alamin.

Ghirah keberagamaan boleh membara, tetapi orang Islam jangan sampai mengikuti lorong gelap dunia Wilders dan kaum liberalis naif di negeri Barat, dengan lari ke jurusan lain yang sama gelapnya dan kemudian memfosil.

No comments: