Thursday, April 17, 2008

ALLAHU AKBAR (Minal 'Teks')

Ulil Abshar-Abdalla


AMINAH Wadud, seorang pemikir feminis muslim, bukan nama asing di negeri ini. Sebagian bukunya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, di antaranya Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective. Bersama pemikir lain seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Nawal El Saadawi, Ziba Mir Husseini, dan Leila Ahmed, dia mengilhami para pemikir hak-hak perempuan di sini.

Sore itu, 22 Juli lalu, bersama beberapa teman dari Jakarta, saya mengikuti diskusi yang diadakan Sisters in Islam, kelompok feminis Islam, di Kuala Lumpur. Temanya Women, Faith and Text. Aminah memberikan pengantar yang memikat, dengan bertolak dari pengalaman pribadi dia sebagai seorang muslim dan, jangan lupa, perempuan. Dia seorang Afro-Amerika yang masuk Islam. Aminah menjabat sebagai associate professor di Department of Philosophy and Religious Studies, Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat. Dia kemudian menjadi salah seorang "mufasir" perempuan yang cukup hebat, dan berani melakukan pembacaan kembali Quran dalam perspektif perempuan.

Hubungan antara keimanan dan teks keagamaan, dalam pandangan Aminah, kerap ditandai oleh semacam ketegangan ketimbang hubungan yang lurus-lurus saja. "Terkadang aku merasa imanku kepada Allah membikin diriku bertanya-tanya kenapa ada satu-dua ayat terdapat dalam Quran," kata Aminah. Dan, "Kalaulah aku disuruh memilih, pastilah aku lebih senang bahwa satu-dua ayat itu sebaiknya tak tercantum dalam Quran."

Sudah tentu pilihan itu tidak ada pada dia. Tapi pengandaian ini bukan sesuatu yang superfisial. Lamunan semacam ini tak mustahil juga menghinggapi benak sejumlah orang beriman. Hanya, kegentaran kita pada kesucian teks agama membuat kita menutup rapat-rapat mulut kita untuk mengucapkannya. Saya lihat, sore itu, Aminah agak sedikit waswas juga: jangan-jangan peserta kelas itu menangkap kalimatnya dengan salah, lalu meringkusnya ke dalam golongan orang yang melakukan penghinaan atas agama Tuhan. Na'uzu billah min zalik!

Di papan tulis, Aminah menuliskan ayat yang dimaksudkannya itu, dalam huruf Arab. Sebagai seorang mualaf, batin saya, tulisannya lumayan. Ayat itu ada dalam surah An Nisa' (4:34), "Arrijaalu qawwamuuna 'alannisaa…." Di ujung ayat itu terdapat penggalan yang bunyinya, "Wallaati takhafuna nusyuzahunna…." Arti keseluruhan ayat itu: laki-laki adalah qawwam atau pemimpin bagi perempuan karena keunggulan-keunggulan yang diberikan Allah kepada satu atas yang lain; jika kalian khawatir akan adanya nusyuz atau sikap membangkang dari istri, ajarlah istri-istri kalian dengan cara yang berjenjang; pertama, nasihatilah mereka, lalu (kalau masih tetap nusyuz) janganlah tidur seranjang dengan mereka untuk beberapa hari, lalu (kalau masih tetap sama sikapnya) pukullah mereka (wadlribuhunna).

Ayat ini masuk kategori yang turun di Madinah atau ayat-ayat madaniyyah. Sudah pasti turunnya ayat ini terkait dengan konteks sosial saat itu. Idealnya: setiap konteks sosial berubah, ada ayat baru turun membawa preskripsi yang sesuai dengan keadaan yang ada. Kalau keadaan berubah, ayat yang lama "diamandemen" oleh ayat yang baru. Tapi itu tak mungkin terjadi sekarang.

Dalam Quran memang ada sejumlah ayat yang di-naskh atau dihapuskan oleh ayat yang turun belakangan (dikenal dengan konsep nasikh-mansukh) karena pertimbangan lingkungan sosial yang sudah berubah. Tapi itu dulu, ketika pewahyuan masih berlangsung. Sekarang tidak bisa karena zaman kenabian sudah telanjur lewat. Contoh lain adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan perbudakan. Hingga periode pewahyuan usai, ayat-ayat ini tidak di-naskh baik oleh Quran sendiri maupun oleh hadis (ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Quran bisa di-naskh oleh hadis).

Dari surah An Nisa', yang kurang srek bagi Aminah adalah soal suami dibolehkan memukul istrinya. Apakah dengan demikian Quran membolehkan terjadinya "kekerasan dalam rumah tangga"? Rasanya, "Imanku kepada Allah," kata Aminah, tak membolehkan adanya kekerasan semacam itu. Sebab, Islam adalah agama keadilan dan properdamaian, sekaligus antidiskriminasi dan antikekerasan. "Kerap kali aku merasa bahwa imanku kepada Allah lebih besar dari teks-teks yang diturunkan oleh Allah itu sendiri," katanya.

Saya terperangah mendengar kata-kata Aminah. Ia menuturkannya dengan sedikit bimbang. Sebab, dia sendiri, pada tahap berikutnya, tidak bisa mengatasi dilema yang timbul. Kalau iman kita lebih besar dari teks agama, apakah teks agama bisa diabaikan? Apakah tidak ada cara lain untuk berhadapan dengan sejumlah teks agama yang kita

anggap "janggal"? Aminah tidak memberikan jawaban yang meyakinkan. Tapi ucapan dia meninggalkan kesan yang dalam pada diri saya, bahkan terbayang sampai di Jakarta. Tiba-tiba saya ingin menerjemahkan kalimat Aminah itu dalam versi Arab: Allahu Akbar minal "teks". Allah lebih besar daripada teks agama itu sendiri.

Sebagaimana Aminah, saya pun masih bimbang mencari jawabannya. Tapi kebimbangan terkadang menjadi benih bagi sesuatu yang "baru".

No comments: