Sunday, April 6, 2008

Ludah Wilders Melumuri Wajah Umat Islam

Oleh : KH A Hasyim Muzadi

Anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, secara congkak merilis sebuah tayangan berdurasi minimalis bertajuk Fitna. Saya tidak paham, apakah tayangan sepersekian menit itu layak disebut sebuah 'film'. Satu yang pasti dirasakan umat Islam di seluruh dunia adalah bahwa ketika Geert Wilders, pemimpin partai ultrakanan PVV, meludah ke angkasa kota Den Haag nun jauh di negeri sejuta tulip itu, tetapi percikannya menghantam keras ke wajah kita semua, umat Islam.

Tahukah Geert Wilders apa maknanya ini? Saya memang sengaja meminjam istilah yang digunakan sastrawan Taufik Ismail, ketika menyikapi terbitnya novel The Satanic Verses karya penulis Inggris kelahiran Pakistan, Salman Rushdie, beberapa belasan tahun lalu. Salman Rushdie melepaskan ludah ke angkasa Kota London, tetapi percikannya melumuri muka-muka kita semua. Semua umat Islam. Wajah generasi yang telah mendahului kita dan wajah generasi yang akan tiba kamudian. Bahkan, ia meludahi wajah-wajah peradaban yang menghargai tingginya kesucian nilai agama.

Kalau di The Satanic Verses, Salman Rushdie, menistakan Nabi Muhammad SAW, karya Geerts Wilders lebih lengkap lagi karena secara telak melancarkan propaganda sadis dengan menghina Islam sebagai sebuah agama. Bagi umat Islam, perbuatan tersebut tak bisa ditoleransi dan bagi proyeksi kehidupan kemanusiaan ke depan, tindakan amat berani itu nyata-nyata telah membuat hati siapa saja merasa terluka. Luka di hati akan terus menganga dan sulit disembuhkan, seperti pecahan kaca yang teramat mustahil untuk utuh kembali.

Tragisnya, penistaan oleh Geert Wilders dilakukan pada bulan Rabi'ul Awwal, bulan yang dipilih Allah SWT untuk kelahiran Sang Nabi. Masih lekat dalam kekentalan rohani kita yang sublim, bagaimana kita berikhtiar dengan segenap kemampuan untuk menghadirkan sosok Baginda Rasul pada momentum penting tersebut, tetapi mendadak seperti disayat-sayat karena kecerobohan seorang provokator bernama Geert Wilders.

Tentu, ia sukses membuat nuansa kebatinan kita diharu-biru, seperti domba yang dikuliti hidup-hidup. Tentu, ia baru akan tahu kemudian bahwa tindakannya telah membuat kita semua berlomba untuk berdiri di saf terdepan dalam membela Islam dan Gusti Kanjeng Nabi.

Memang, akibatnya seperti sebilah pisau dengan tingkat ketajaman luar biasa mengaduk-aduk ulu hati, tingkat kesakitan dan nyerinya terasa, bahkan hingga ke pori-pori kulit. Rasanya tak ada dari bagian diri ini yang merasa tidak terkoyak. Sungguh, Geert Wilders tidak memiliki kehalusan budi dan kepekaan rohani untuk disebut seorang yang beradab. Pembuat serta pihak yang sampai hati merilis tayangan tersebut, benar-benar sukses mengobarkan rindu dendam secara bersamaan dalam diri umat Islam.

Sadarkah Wilders, siapa sebenarnya sosok yang dengan lancang dia gambarkan sebagai manusia monster dengan gamis berselendangkan bom ini? Kita, para pecintanya, yang sudah ditinggalkan kurang lebih 1.428 tahun yang lalu, sungguh tak dapat menerima perlakuan kasar semacam itu. Bahkan, kita yang mencintainya, tak kuasa meraba-raba, seperti siapa sebenarnya sosok Baginda Rasul. Tetapi, namanya sungguh menjadi hiasan di bibir miliaran umat Islam. Michel Hart bahkan menempatkan nama Muhammad SAW di peringkat teratas sebagai anak manusia yang paling berpengaruh di bentangan bumi ini.

Tetapi, mengapa mereka yang dengan nyata-nyata tak mencintainya, bahkan mungkin membencinya, justru berani benar melakukan penistaan dengan penggambaran penuh sinisme? Untuk apa sebenarnya dia melakukan ini semua? Alat perekam yang mereka gunakan untuk membuat tayangan telah menyebabkan hati kita umat Islam di Indonesia dan di belahan dunia Islam lainnya, tampak teriris mengucurkan darah segar kecintaan kepada Baginda Rasul.

Kita, umat Islam, sudah seharusnya berdiri di garda terdepan menjadi pembela beliau. Belumlah seseorang disebut Muslim sejati bila hatinya tidak merasa terhina menyaksikan tindak kesewenang-wenangan terhadap Nabi kita. Bahkan, belumlah seseorang disebut beriman kalau kecintaannya kepada Baginda Rasul menempati ruang terluar dari jiwanya. Beliau adalah kekasih kita yang sesungguhnya. Nama beliau telah tertanam jauh di lubuk hati kita sejak kekuatan memori kita baru mulai berfungsi. Perintah menyebut-nyebut nama Baginda Rasul, bahkan merupakan ajaran langsung dari Gusti Allah SWT karena beliau merupakan kekasih-Nya.

Melalui beberapa hadisnya, kita memang telah ditakdirkan untuk menempati posisi sebagai pembela Islam dan Nabi Muhammad SAW. Pernah sekali waktu, Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya. Beliau mengaku sangat merindukan saat-saat pertemuan dengan para kekasihnya. Para sahabat bertanya, siapa gerangan mereka, para kekasihnya? Bukankah beliau-beliau adalah para sahabat terdekat Rasulullah?

Baginda Rasul dengan senyum mengembang menjawab, ''Kekasihku adalah orang-orang Islam yang datang setelahku, yang tidak pernah bertemu denganku, tetapi mereka mengikuti jejakku dan mencintaiku. Sedangkan kalian adalah para sahabatku.'' Hal ini terbukti benar dengan syariat yang dibawanya. Tak ada satu pun dari sunah Rasul yang menjauhkan umat Islam dari dekapan cinta kasih Nabi Muhammad. Hak prerogatifnya dalam memberikan syafaat setelah diizinkan Allah SWT, beliau peruntukkan bagi umatnya, bahkan bagi mereka yang melakukan dosa-dosa kaba-ir sekalipun.

Hingga kini, sejak pertama risalah dan nubuah-nya turun ke alam semesta, tak terbilang berapa kali kita menyebut-nyebut namanya sebagai salah satu bentuk kecintaan kita kepada Baginda Rasul. Kalau jumlah umat Islam saat ini, minimal, satu miliar saja, maka dalam sehari semalam nama Muhammad SAW akan berkumandang tak kurang dari 50.000.000.000 alias lima puluh miliar kali. Ini baru dalam lima kali salat fardhu.

Sungguh! Kalau ditambah dengan shalat-shalat sunah dan rawatib lainnya? Kalau ditambah pula dengan bacaan salawat kepadanya? Lalu, siapakah yang mampu menyamai Baginda Rasul, hanya dalam persoalan penyebutan nama saja? Tak akan ada seorang pun di kolong langit ini yang namanya paling banyak disebut, kecuali Baginda Rasul Muhammad SAW. Nama Geert Wilders? Salman Rushdie? Tentu, tak akan pernah memenuhi kualifikasi tersebut. Keduanya memang disebut-sebut, tetapi dalam sekam kemarahan.

Penistaan yang dilakukan Geert Wilders dan pernah pula dilakukan Salman Rushdie, telah mempertebal rasa cinta kasih kita kepadanya. Tindak penghinaan Wilders telah membuat hati bergetar keras, setelah sekian lama membeku. Skandal ini benar-benar telah menyadarkan semua umat Islam, bahwa nun jauh di sana, Nabi Muhammad selalu tersenyum menunggu kehadiran kita. Menyaksikan siapa sebenarnya umatnya yang hirau kepadanya dan siapa yang tidak.

Baginda Rasul, sejatinya, tidaklah benar-benar telah meninggalkan kita. Meski secara fisik klinis telah lama tiada, tetapi secara rohani kita setiap saat tetap berhubungan dengan beliau. Terbukti, pada setiap tahiyyat dalam shalat, kita tak lupa menyampaikan salam kepadanya dengan sapaan, Assalaamu 'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuhu [Keselamatan dan rahmat serta berkah Allah untukmu bukan untuknya wahai Baginda Nabi.

Salah satu bukti paling kasat mata dari kecintaan seseorang kepada kekasihnya adalah dengan sesering mungkin menyebut namanya. Bila seseorang mendengar nama kekasihnya disebut-sebut, hatinya akan bergetar. Begitu pula seharusnya kita. Begitu nama Muhammad SAW disebut-sebut, maka hati kita bergetar, lalu menyampaikan salam dan shalawat. Kalau dinistakan, kita pun akan menjadi pembela sejatinya sampai langit ini digulung dan bumi dilipat. Wallaahu a'lam bish shawaab.

No comments: