Tuesday, April 1, 2008

Islamofobia, Heterofobia Barat

Selasa, 1 April 2008 - 08:04 wib

Every contact between the occupied and the occupier is a falsehood (Frantz Fanon,1989)

Prasangka dan kebencian berlebihan terhadap Islam, Islamofobia, kian merebak di Barat, yakni Amerika dan Eropa. Meski perkembangan Islam cukup signifikan, tetapi arus perkembangan tersebut kerap dimaknai sebagai "tsunamiisasi" yang berbahaya.

Adalah politisi sayap kanan Belanda, Geerts Wilders, pemimpin Freedom Party, yang setidaknya saat ini sedang sinis dengan Islam. Alquran dia sebuat sebagai sejenis Mein Kampf yang menelurkan fasisme. Ia mengulangi apa yang dilakukan mendiang sutradara Van Gogh, bahkan lebih dari sebuah provokasi, yakni film anti-Islam berjudul Fitnayang dikhawatirkan bisa membuat protes dan kemarahan di dunia Islam.

Seorang keturunan Maroko membunuh Van Gogh karena film yang ia buat berisi "hujatan" atas Islam. Kartunisasi Nabi Muhammad di Denmark juga sempat membuat gerah cukup lama hubungan Islam dan Barat. Paus Benediktus XVI pun menyesali kuliah umumnya di Aula Magna, Universitas Regenburg, Jerman, yang mengutip pernyataan kaisar Bizantium mengenai identifikasi Islam dengan pedang, pada 2006 yang lalu.

Kini, sang Paus sedang aktif menggalang dialog dengan pemimpin dan ulama Islam. Sedianya, Paus menjadi tuan rumah November tahun ini. Roma akan menjadi saksi dialog Katolik-Islam dalam menanggapi isu-isu kontemporer. Sebagai gejala global, Islamofobia yang membuat citra dan geopolitik dunia Islam cenderung tidak membaik, utamanya pasca-11 September, menjadi momok yang sangat menakutkan.

Tidak salah jika Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada pertengahan Maret lalu membuat laporan tentang First Observatory Report on Islamophobia, May 2007- March 2008, yang menelisik dengan sarat data kontemporer dan kecenderungan yang tidak membaik.

"Liyan" yang Dibenci

Gejala Islamofobia bukan letupan yang sesekali terdengar. Fobia ini sudah mengurat akar dalam masyarakat Barat.Gejala ini merupakan dampak dari waham buruk terhadap Islam yang sudah dipupuk amat lama, sejak Perang Salib berkobar.

Kritik diskursus yang dilemparkan Edward W Said (1979) menjadi benderang untuk menelisik akar yang menghujam dalam kesadaran Barat. Semangat kajian Islam yang telah dilakukan berabad-abad, yang sejak awal hanya dibatasi kawasan Mediteranian atau Timur Dekat, tidak didasarkan pada klaim ilmu pengetahuan yang objektif dan jujur.

Penelitian penelitian terhadap Islam mulanya merupakan "proyek" kolonial-isme untuk melumpuhkan pengaruh politik. Tentu saja subjektivisme cendekiawan seperti ini berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat Barat dalam melihat identitas Islam yang miring. Islam adalah muasal dari orientalisme beranjak. Perkembangan peradaban dan kekuasaan Barat telah menguatkan hasrat kolonialnya ke negeri-negeri lain di Timur, khususnya Timur Jauh seperti masyarakat China, India, dan Jepang.

Orientalisme klasik bukan murni spirit pengetahuan yang adiluhung, melainkan simetris dengan proyek kolonialisme. Untuk menemukan dan menaklukkan dunia baru yang eksotis: oriental. Warisan kuasa pengetahuan orientalisme klasik yang sebagian besar dicurahkan untuk menyudutkan pengaruh Islam masih terasa hingga sekarang, meskipun pusat-pusat Islamic studies di Eropa dan Amerika yang semakin berkembang pada abad XX hingga sekarang lebih baik dan bersahabat.

Namun, Barat dengan otoritas pengetahuannya memosisikan diri sebagai "pusat" ego sang aku, dan identitas bukan-Eropa ditanamkan kepada selainnya, khususnya Islam dan Timur Tengah (Said, Freud and The Non-European, 2003). Identitas bukan-Eropa adalah pengecualian untuk meminggirkan posisi dari pusat lingkaran peradaban.

Sejenis "rasisme" baru yang mewabah di Barat ini yang sulit dibendung karena telah menghujam dalam kesadaran dan politik identitas. Era global yang lebih kosmopolit saat ini bukan jaminan untuk meruntuhkan relung-relung prasangka yang mendalam. Black September kemudian menjadi patahan sejarah yang melegitimasi hal ini. Islam adalah liyan yang harus dicurigai dan dihindari (heterophobia).

Analisis model Huntington (benturan antarperadaban), Daniel Pipes (Islam politik dan Timur Tengah), Steve Emerson (jihad di Amerika), atau Bernard Lewis (Islam politik dan akar-akar kemurkaan) sangat ampuh menjadi advis legitimator sikap anti-Islam dalam kebijakan-kebijakan luar Negeri Paman Sam.

Neokonservatisme di AS meyakini bahwa perkembangan Islam di Amerika adalah ancaman masa depan. Secara umum, di Barat pun kecurigaan masih sulit ditangkal. Perhatikan, misalnya diskursus hukum syariah di Inggris akhirakhir ini seolah mengaitkannya dengan jihadisme Islam. Suka atau tidak suka, Islamofobia telah memengaruhi kebijakan-kebijakan negara Barat.

Generalisasi

Ada yang luput dari wabah Islamofobia itu, yakni cacat logika yang menggebyah-uyah secara umum kecenderungan perkembangan Islam. Generalisasi suatu fakta tertentu yang dilekatkan menjadi representasi umum masyarakat Islam.

Dalam hal ini, fakta tersebut ialah terorisme dan radikalisme yang dilakukan secuil kelompok yang mengatasnamakan Islam dalam tindakannya. "Konstelasi" pengeboman yang merunut sejak Black September hingga tahun lalu dijadikan penguatan fakta untuk membenarkan logika yang timpang itu. Pada kenyataannya, aksi yang dilakukan teroris tidak bisa dikaitkan sepenuhnya hingga seratus persen pada Islam.

Perang melawan terorisme yang dikeluarkan Bush adalah akal-akalan dikaitkan dengan Islam. Hakikatnya, seperti disebut Tariq Ali (2003), perang tersebut merupakan the clash of fundamentalisms. Islamofobia adalah realitas yang tidak bisa dimungkiri. Di balik Islamofobia tersimpan hasrat ketakutan yang berlebih yang kembali mempertanyakan universalisme dan kosmopolitanisme Barat.

Upaya membangun jembatan dialog adalah mutlak, meski serbanisbi. Formula baru untuk mengembangkan toleransi dan kemoderatan tidak bisa dielakkan. Sikap optimistis seperti ini layak diperjuangkan, mengingat selain Islamofobia, banyak pula intelektual dan masyarakat Barat yang melek Islam.

Islam telah menjadi korban yang tertuduh, dan biarkan timbalbalik koeksistensi berjalan, supaya sang liyan tidak terus dipinggirkan ke tubir jurang peradaban. (*)

Zacky Khairul Umam
Analis sosial-politik (//mbs)

No comments: