Friday, April 4, 2008

Fitna Merobek Pita Toleransi

Oleh :Muhammad Najib

Mantan Pengurus PP Muhammadiyah, Anggota DPR Fraksi PAN

Film Fitna berdurasi hampir 17 menit buatan anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, telah merobek pita toleransi yang sudah mulai terbangun relatif sangat baik antara dunia Islam dan negara-negara non-Islam, terutama dengan negara-negara Barat pada umumnya. Film ini jelas-jelas mendeskripsikan Islam sebagai agama yang sarat dengan kekerasan.

Fitna tak sekadar merobek pita toleransi antarumat beragama, tetapi secara politik juga berpengaruh terhadap hubungan diplomatik antarnegara. Oleh karena itu, layak kalau umat Islam di berbagai penjuru dunia memprotes beredarnya film itu.

Bukan hanya umat Islam, masyarakat non-Muslim pun dan para pemimpin bangsa di negara-negara Barat, termasuk Pemerintah Belanda, mengecam pembuatan dan beredarnya film Fitna itu. Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan sikap politik yang mencekal Geert Wilders untuk berkunjung ke negeri ini.

Bahkan, melalui Kejaksaan Agung pemerintah akan mengenakan pasal penodaan terhadap agama bagi masyarakat yang menyebarkan film Fitna itu di Indonesia. Yang sangat menarik adalah kritik keras yang dilontarkan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad yang menyerukan untuk memboikot produk-produk Belanda di pasaran.

Harus diakui, dari sisi etika kemanusiaan pembuatan dan beredarnya film Fitna itu sangat tidak berperadaban, kecuali menebar virus kebencian antara umat Islam dan non-Islam khususnya dan relasi sosial sesama umat manusia pada umumnya di berbagai belahan dunia. Apa kalau bukan upaya untuk menebar virus kebencian?

Faktanya dalam film itu Geert Wilders mengawali skenarionya dengan kartun Nabi Muhammad yang pernah beredar di media massa Denmark dan ditentang oleh seluruh umat Islam di dunia. Ini jelas skenario pengulangan sejarah untuk memperkuat narasi sentimen kebencian.

Pidato oleh seorang ulama yang diselingi dengan visualisasi perilaku kekerasan oleh sebagian umat Islam di berbagai penjuru dunia hanyalah instrumen untuk menggambarkan bahwa Islam sarat dengan kekerasan dan antitoleransi. Dalam konteks ini, jelas Geert Wilders telah melakukan pelecehan dan atau penghinaan terhadap agama Islam dan Kitab Suci Alquran.

Ini upaya untuk memutarbalikkan fakta teologis dalam Islam sebagai agama yang sarat dengan kekerasan. Padahal, Islam secara doktrinal tidak pernah mengajarkan kekerasan.

Dalam relasi sosial kemasyarakatan, doktrin teologis Islam sangat menghormati hak asasi manusia (HAM). Dalam arti kata, Alquran secara substansial tidak melarang umat Islam membangun hubungan sosial dengan masyarakat non-Islam, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Bahkan, dalam Piagam Madinah, Nabi Muhammad SAW sangat menekankan pentingnya kehidupan bersama meski dalam perbedaan keyakinan/agama, membangun pola hidup gotong-royong dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi. Ini menegaskan pentingnya sikap keterbukaan dan memberi kebebasan bagi setiap anggota masyarakat untuk menganut suatu agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dengan demikian, bukankah Islam adalah agama yang sangat akomodatif dengan ruang terbuka demi bersemainya sikap toleransi antarumat beragama?

Mengacu pada kerangka pemikiran ini, Geert Wilders dapat dinilai sama sekali tidak mengetahui tentang doktrin teologis Islam. Sikapnya yang merasa tidak bersalah dan tidak pula berkenan meminta maaf terhadap umat Islam di seluruh penjuru dunia atas pembuatan film yang merusak citra Islam itu adalah fakta sosial bahwa penebar kebencian yang bisa melahirkan kekerasan dan juga terorisme di era modern kini bisa jadi bergeser.

Jangan terpancing Untuk itu, adalah benar jika berbagai tokoh/pemimpin Islam menyerukan agar umat Islam tidak terpancing dengan membalas protes yang disertai dengan kekerasan atau anarkisme. Biarkan Geert Wilders terus bernyanyi meniupkan peluit kebencian. Yang akan membela Islam kini tidak hanya umat Islam itu sendiri.

Oleh sebab itu, sekali lagi, sebaiknya kita tidak terpancing. Protes harus dilakukan secara santun dengan etika kemanusiaan yang adil dan beradab, ramah, dan mencerahkan.

Hemat saya, kebencian tidak boleh dibalas dengan kebencian untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa Islam itu agama kemanusiaan yang membawa rahmat bagi semesta alam. Dalam konsep Islam fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

Jelas kini bahwa yang dilakukan Geert Wilders itu menunjukkan adanya gerakan sempalan dalam agama non-Islam dengan metode naratif yang dapat memicu lahirnya radikalisme, kekerasan, anti-toleransi antarumat beragama, dan juga terorisme. Inilah terorisme sejati dan perilaku sosial yang tidak berperadaban di era modern.

Peluit kebencian itu kini muncul dari Barat yang selalu memandang masyarakatnya lebih beradab daripada dunia Timur, masyarakat Islam khususnya. Mirip fenomena kekerasan dan terorisme yang belakangan ini marak di kawasan Timur Tengah, seperti di Irak , Afghanistan , dan Palestina. Semua ini terjadi karena peluit kebencian itu ditiup oleh masyarakat Barat sendiri.

Dalam kasus perang di Irak yang sudah menelan korban nyawa umat manusia amat besar tidak lain pemicunya adalah sebuah sentimen kebencian. Faktanya, tuduhan Amerika Serikat atas kepemilikan senjata nuklir ternyata setelah diteliti oleh Badan Atom Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa sama sekali tidak terbukti. Ironisnya, Pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya hingga saat ini tidak pernah menyesal telah berdosa.

Alih-alih akan meminta maaf dan mengganti seluruh kerugian akibat perang, justru negara adikuasa itu tetap bersikukuh untuk melanjutkan perangnya di bumi Irak dengan dalih untuk membangun perdamaian dan demokratisasi di kawasan Timur Tengah. Padahal, kalau mau jujur, masyarakat di seluruh dunia mengetahui siapa sesungguhnya yang memiliki senjata nuklir itu, tetapi mengapa Irak dan juga Afghanistan yang justru dibumihanguskan.

Dialog antarperadaban
Menyikapi problematika kehidupan yang kian rumit ini, baik beredarnya film Fitna Geert Wilders yang menyulut emosi dan kebencian umat manusia maupun kian mengkristalnya aksi kekerasan akibat invasi Amerika Serikat dan sekutunya di Irak, perlu dibangun dialog antarperadaban, antara Islam dan non-Islam atau negara-negara Barat pada umumnya. Sangatlah disayangkan memang, betapapun secara resmi Pemerintah Belanda telah meminta maaf kepada seluruh umat Islam di dunia dan mengecam beredarnya film Fitna, tetapi secara institusional ternyata Pemerintah Belanda tidak bersedia untuk mengadili Geert Wilders sebagai aktor intelektual di balik merebaknya virus kebencian itu. Padahal, secara politik sangatlah merugikan Pemerintahan Belanda.

Memang dalam hal ini kita dapat memahami sikap politik Pemerintah Belanda karena terbentur dengan aturan dalam konstitusi negara. Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar yang bisa ditempuh.

Salah satunya, Pemerintah Belanda dapat memfasilitasi ruang untuk membangun dialog agar kesalahpahaman yang dapat berakibat fatal tidak terulang di kemudian hari. Dialog harus dibangun, bukan saja dalam konteks beredarnya film Fitna Geert Wilders, tetapi juga harus dilakukan antarperadaban di dunia.

Ikhtisar:
- Tak ada sikap formal Pemerintah Belanda terhadap beredarnya film itu. - Umat Islam tak perlu merespons fitnah tersebut dengan tindakan anarkis.

No comments: