"The ideal is an ideal given by tradition" (Edward Shils, Tradition, 1980:32).
Pada sebuah seminar di Surabaya tahun 2003, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengungkap kegalauannya di seputar tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kualitas kehidupan umat di ranah publik. Dikatakan dengan nada gundah, "jangan dikira Tuhan tidak marah ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas!"
Mendengar ungkapan itu, saya mengernyitkan dahi sambil bergumam dalam hati, bagaimana mungkin Cak Nur mengetahui Tuhan bakal marah atas perilaku kita yang tidak tertib dan tidak taat hukum? Dari mana dia mengambil kesimpulan itu? Bukankah ketertiban, kedisiplinan, dan ketaatan kita terhadap peraturan publik merupakan refleksi keinginan manusia untuk maju, dan tidak tidak ada sangkut pautnya dengan peran Tuhan atau agama? Kalau ingin maju, ya, maju saja, "mengapa harus membawa-bawa agama segala?", protes saya dalam hati.
Tesis kaum esensialis
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial-politik, Cak Nur mungkin tergolong seorang esensialis yang memandang maju-mundurnya kualitas sebuah peradaban ditentukan oleh hadir-absennya nilai-nilai etik agama dalam ranah publik.
Dengan kegalauannya itu, Cak Nur secara sadar sedang meratapi absennya etos publik agama-agama sehingga masyarakat kita kurang menghargai nilai-nilai keadaban.
Argumentasi kaum esensialis berangkat dari dialektika kausalitas-resiprokal antara kesadaran beragama sebagai sesuatu yang laten dan peradaban sebagai sesuatu yang manifes.
Secara genealogis, keberadaan mazhab esensialisme diinspirasi oleh konstruk teoretis Weberian yang mengasumsikan budaya berbasis agama (religion-based culture) sebagai roh penting bagi sebuah peradaban. Kenyataan bahwa iklim demokrasi dapat tumbuh subur pada peradaban yang berbasis Protestan, misalnya, karena agama tersebut secara esensial tidak memusuhi prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam pandangan mazhab ini, kesadaran keberagamaan dan sistem keyakinan mengerangkai struktur terdalam kesadaran masyarakatnya yang menyediakan cetak biru bagi pola pikir dan perilaku masyarakat itu turun-temurun.
Belakangan, tesis esensialis Weberian diafirmasi sejumlah ilmuwan kontemporer seperti Edward Shils, Samuel P Huntington (melalui "benturan peradaban"), dan Francis Fukuyama (melalui tesis supremasi demokrasi liberal atas alternatif ideologis lainnya).
Memperkuat konstruk teoretis kaum esensialis ini, Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2003:64) menyatakan, "Culture does matter—indeed, it matters a lot. Historical religious traditions have left an enduring imprint on contemporary values". Artinya, budaya merupakan unit otonom yang menentukan hitam-putihnya kualitas sebuah peradaban. Dan, di balik entitas budaya ada system of beliefs yang salah satunya diilhami oleh agama.
Menolak esensialisme
Menggelitik untuk dipertanyakan secara kritis, betulkah rendahnya kualitas keadaban publik yang ditengarai Cak Nur disebabkan absennya moralitas publik dalam agama-agama kita? Atau, hal itu dikarenakan kita tidak mampu melakukan transformasi peradaban melalui substansiasi nilai-nilai publik dari ajaran agama?
Saya yakin, sebagian besar umat beragama di negeri ini akan meradang mendengar klaim-klaim esensialis terkait rendahnya moralitas publik kita. Sayang, secara apriori-apologetik kita sering menolak klaim-klaim itu seraya mengajukan klaim-klaim tekstual-normatif tandingan yang juga bersifat esensialis! Terlepas dari bias atau prejudice yang mungkin menghinggapi pikiran kaum esensialis, klaim-klaim mereka berangkat dari prosedur akademis yang teruji ketat disertai argumen sosiologis yang sulit terbantahkan.
Ungkapan Edward Shils sebagaimana dikutip di awal tulisan, dalam derajat tertentu, memiliki benang merah dengan tesis kaum esensialis. Sebuah masyarakat cenderung enggan melepaskan praktik budaya masa lalu hanya karena menganggap sistem budaya mereka sendirilah yang paling ideal. Sikap tertutup semacam ini hanya akan melahirkan sindrom superiority complex yang justru kontraproduktif bagi pelembagaan nilai-nilai agama sebagai moralitas publik.
Menyikapi klaim-klaim esensialis itu, kita sebaiknya bersikap terbuka sembari melakukan refleksi untuk menemukan solusinya. Berbagai bentuk moral hazards seperti tingginya angka kematian akibat kecelakaan di semua moda angkutan; tingginya laju perusakan lingkungan akibat pengabaian tata ruang, polusi udara, dan penggundulan hutan; tingginya indeks korupsi dan terjerembabnya bangsa dalam labirin krisis berkepanjangan menjadi indikasi paling sahih betapa masyarakat belum sepenuhnya mampu mengapresiasi pentingnya moralitas publik sebagai sebuah keharusan. Ironisnya, segala bentuk moral hazards itu justru terjadi di negeri yang mengklaim diri sebagai religius!
"Good and clean governance"
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006) yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Dalam konteks ini, kegalauan Cak Nur tentang tercerabutnya moralitas publik dari doktrin agama menjadi berasalan. Maka, kita layak melakukan otokritik dan refleksi: kontribusi positif apa yang dapat disumbangkan sistem ritus atau ibadah bagi peningkatan kualitas keadaban publik? Adakah shalat, puasa, dan zakat, misal- nya, secara substansial terbukti memberi kontribusi bagi tegaknya prinsip good and clean governance dalam ruang publik?
Menggarisbawahi itu semua, sudah saatnya memberi bukti empiris kepada dunia bahwa keberagamaan kita bukan faktor yang terpisah dari prinsip good and clean governance dalam struktur kenegaraan kita. Kecuali jika kita hendak menolak tesis kaum esensialis bahwa etos keadaban publik tidak ada sangkut pautnya dengan doktrin atau ritus agama, maka lupakan saja peran agama dalam ruang publik!
Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
No comments:
Post a Comment