Mohammad Nasih
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI
Dalam bulan Ramadlan ini kita disuguhi kejadian yang sangat memprihatinkan juga ironis. Seorang anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, ditangkap basah sedang menerima uang suap. Sebuah institusi yang menjadi jantung penegakan hukum malah dinodai dengan praktik yang benar-benar membuat mata rakyat semakin terbelalak bahwa korupsi masih terjadi di mana-mana, tak terkecuali di lembaga pengawal hukum.
Adalah sebuah ironi, di Indonesia yang dikenal sebagai bangsa religius, praktik korupsi marak terjadi. Padahal dalam doktrin agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, secara jelas diajarkan bahwa tindakan merugikan orang lain dengan cara apa pun, termasuk mengambil hak dan memakan harta mereka, terlebih harta anak-anak yatim, adalah tindakan yang diancam dengan hukuman berat. Namun, ternyata ancaman doktrin keagamaan tersebut tak serta-merta menghentikan para penganut agama untuk melakukan korupsi. Terbukti, dalam hal korupsi, Indonesia menjadi negara yang menempati posisi nomor enam teratas di dunia.
Praktik korupsi memang telah menjamur dalam setiap lini masyarakat. Bahkan praktik haram ini juga terjadi dan dilakukan oleh orang yang secara personal dipandang sangat religius atau saleh secara individual, karena taat menjalankan ritual agama. Shalat dan ritual lainnya dalam agama tidak kemudian menyebabkan seseorang tidak melakukan tindakan yang dilarang agama.
Praktik korupsi telah menjamur di lembaga-lembaga penegak hukum, juga lembaga-lembaga keagamaan, baik lembaga keagamaan dalam struktur negara, maupun lembaga keagamaan dalam masyarakat yang berbentuk ormas. Sesuatu yang sangat ironis, tetapi itulah kenyataannya. Menurut Ibnu Khaldun, seorang antropolog Muslim yang sangat terkenal karena karya monumentalnya yang berjudul Muqaddimah, penyebab utama tindakan korupsi adalah kelompok yang memerintah sudah mulai bernafsu untuk hidup mewah. Pendapat Khaldun ini sangat tepat karena kekuasaan dapat membuat orang mempunyai kewenangan yang lebih besar.
Pendapat Khaldun tersebut dapat disejajarkan dengan pendapat Lord Acton, sejarawan asal Inggris, bahwa kekuasaan cenderung diselewengkan. Para penguasa mempunyai kewenangan untuk mengendalikan aspek-aspek yang bertali-temali dengan pemerintahan dan ekonomi, termasuk sumber daya alam milik negara. Dengan demikian, kalau kekuasaan tersebut tidak dilambari oleh jiwa yang asketik maka dorongan untuk menyelewengkan kekuasaan demi mengumpulkan harta kekayaan akan sulit dibendung.
Terlebih jika mekanisme checks and balances dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan belum berjalan dengan baik dan mentradisi. Penyelewengan terhadap kekuasaan terjadi karena kesalahan orientasi dalam memegang kekuasaan. Kekuasaan yang seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk mensejahterakan, hanya dijadikan sarana untuk mensejahterakan diri sendiri. Politik yang sesungguhnya adalah seni untuk melayani rakyat, malah dipahami sebagai seni untuk merebut kekuasaan dan dengan kekuasaan tersebut para penguasa minta dilayani. Korupsi tidak hanya berupa pengambilan uang secara langsung, tetapi juga berupa pembuatan kebijakan politik dan ekonomi yang hanya untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan rakyat banyak.
Mengambil kekayaan negara untuk kepentingan diri, keluarga, atau kelompok, berarti telah menyabot harta rakyat banyak yang di dalamnya terdapat orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Kekayaan negara adalah untuk keperluan dan kesejahteraan rakyat banyak. Tentu saja, perilaku mengorup kekayaan negara kemudian menyebabkan ada banyak warga negara yang tidak mendapatkan hak untuk dipenuhi keperluannya dan disejahterakan.
Ateisme praksis
Praktik korupsi, sesungguhnya merupakan indikasi hipokritisme masyarakat. Sebab, masyarakat melakukan tindakan pelanggaran terhadap ajaran agama yang oleh para pemeluknya tentu sudah diyakini. Inilah yang oleh agama sendiri dikritik sangat keras.
Maraknya praktik korupsi akan membalik anggapan tentang religiusitas masyarakat Indonesia. Lama kelamaan akan muncul pertanyaan apakah masyarakat Indonesia benar-benar masyarakat yang religius ataukah bukan. Yang akan muncul sebagai tesis kemudian adalah bahwa masyarakat ini sesungguhnya adalah masyarakat hipokrit. Atau juga bisa disebut sebagai masyarakat yang menjalankan ateisme praksis. Istilah yang terakhir ini digunakan untuk menggambarkan orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi dalam hidup sehari-hari seperti tidak yakin adanya Tuhan.
Dalam masyarakat, tampaknya ada pemahaman yang salah mengenai perilaku buruk yang terampuni dan tak terampuni. Perilaku menyimpang yang dipandang terampuni menyebabkan orang menjadi relatif permisif. Yang menjadi masalah, terdapat pemahaman teologi yang salah kaprah, yaitu bahwa dosa apa saja bisa diampuni oleh Tuhan kecuali dosa syirik. Inilah paham teologi yang kemudian seolah mentoleransi orang melakukan korupsi. Karena itu, harus diciptakan teologi kontemporer bahwa korupsi sesungguhnya adalah praktik syirik sosial yang dosanya paling besar dan tak terampuni.
Dengan kata lain, secara konseptual teologis, sesungguhnya korupsi merupakan salah satu varian syirik. Dikatakan demikian, karena seseorang yang melakukan korupsi, sesungguhnya telah mengorientasikan hidupnya untuk mengumpulkan harta kekayaan dan menuhankan materi. Tuhan yang sesungguhnya, pada hakikatnya disubordinasikan.
Paham lain yang perlu direkonstruksi adalah berkaitan dengan relasi antara iman dan amal saleh. Inilah yang akan mengantarkan pada keterpaduan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Harus ditekankan bahwa iman dan amal saleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang apabila salah satu di antara keduanya tidak ada, maka sama dengan ketiadaan keduanya. Karena itu, walaupun seseorang secara ritual adalah baik, akan tetapi ketika bersamaan dengan itu tetap melakukan korupsi, berarti kesalehan ritual tersebut tidak berarti sama sekali.
No comments:
Post a Comment