Oleh : Mohammad Nasih
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Nasional Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI
Politik Islam di Tanah Air telah mengalami dinamika yang sangat panjang mulai dari masa prakemerdekaan sampai sekarang. Di tengah pergulatannya dengan aliran politik yang lain, maupun karena represi negara (baca: kekuasaan), politik Islam mengalami pergeseran paradigma politik yang cukup signifikan. Jika meletakkan politik Islam di salah satu kutub dan politik nasionalis di kutub yang lain (ini mengabaikan aliran politik yang lain yang sebenarnya ada, seperti Marxisme dan sosialisme), dalam beberapa hal keduanya sudah saling mendekati atau sudah terjadi konvergensi pada satu titik.
Dalam konteks masa depan Indonesia, tentu saja hal ini sangat menggembirakan, karena energi para aktivis politik di Tanah Air tidak habis hanya untuk membicarakan perbedaan cara pandang tentang relasi antara agama (Islam) dan negara. Para aktivis bisa lebih mengkonsentrasikan diri untuk mencari solusi konkret terhadap permasalahan-permasalahan bangsa secara lebih mendasar. Bahkan lebih dari itu, mereka akan terlepas dari kemunduran paradigma politik. Sebab, jika mengulang yang dulu pernah terjadi, itu bisa dikatakan sebagai sebuah langkah mundur.
Perbedaan pandangan
Pada masa prakemerdekaan, bibit-bibit perbedaan antara kelompok politik Islam dan nasionalis sudah mulai tampak. Pada era 1920-an, perdebatan ideologis antara kedua kekuatan politik yang berlainan ideologi ini terjadi dengan sangat sengitnya. Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga awal tahun 1940-an, menjelang Indonesia merdeka, dan bahkan masih juga terjadi ketika Indonesai telah merdeka. Tepatnya, perdebatan tentang apakah Indonesia akan dibangun dengan dasar Islam ataukah dengan dasar yang lain, terjadi di dewan konstituante. Dan akhirnya, dengan kebesaran hati, kelompok politik Islam mengalah demi keutuhan bayi Indonesia yang baru diproklamasikan kemerdekaannya.
Dua kutub ini direpresentasikan oleh dua tokoh Mohammad Natsir di kubu (nasionalis) Islam, dan Soekrano di kubu nasionalis (sekuler). Di kubu Islam, hampir semuanya adalah aktivis-aktivis dan pemimpin-pemimpin organisasi-organisasi massa Islam seperti Muhammadiyah dan NU. Walaupun demikian, para aktivis politik Islam terus berusaha agar cita-cita awal mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bisa terwujud. Perjuangan itu mereka lakukan secara struktural dengan melakukan aktivitas politik praktis sehingga dapat masuk ke lembaga-lembaga pengambil kebijakan yang tentu saja berpengaruh untuk masa depan cita-cita politik mereka. Tetapi, cita-cita mereka tak juga menampakkan bakal terwujud. Bahkan Partai Masyumi yang gencar dalam melakukan perjuangan ini dibubarkan oleh pemerintah Soekarno.
Pergantian rezim politik, juga tidak memberikan angin segar kepada kekuatan politik Islam. Pada masa orde baru, bahkan penguasa tidak lagi memberikan ruang yang memadai kepada umat Islam untuk melakukan aktivitas politik untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu mereka. Soeharto berkuasa secara represif dan memaksa umat Islam untuk menanggalkan Islam yang semula dijadikan sebagai asas mereka dalam berkumpul dan berserikat. Semua organisasi politik dan organisasi massa dipaksa oleh rezim orde baru untuk menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas tunggal) dan mereka yang menolak kemauan penguasa itu, risikonya adalah dibubarkan dengan paksa. Hal ini terjadi pada masa awal tahun 1980-an.
Dalam banyak kasus, sikap penguasa ini telah merugikan umat Islam, karena telah membuat sebagian besar organisasi Islam menjadi lemah dan bahkan mengalami deideologisasi. Contoh yang sangat konkret mengenai proses pelemahan ini terjadi pada organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang bersikeras tidak mau menerima Pancasila sebagai asas organisasi dan akhirnya bergerak di bawah tanah (underground). Tentu saja, kondisi seperti ini jauh lebih sulit daripada organisasi berjalan secara normal. Karena isu ini pula, HMI, organisasi kemahasiswaan Islam terbesar dan tertua di Indonesia mengalami perpecahan yang sampai saat ini tak terdamaikan.
Represi penguasa tersebut akhirnya berujung dengan hantaman gelombang reformasi yang menumbangkan rezim otoriter orde baru yang dikomandani Soeharto. Era penuh represi berubah menjadi era keterbukaan dan kebebasan. Dalam suasana kebebasan inilah, muncul kembali politik aliran yang dulu pernah ada. Salah satu aliran yang muncul adalah Islam sebagai aliran politik.
Namun, mainstream Islam sebagai aliran politik tidak seperti pada masa prakemerdekaan dan masa orde lama. Sebagian dari para pemimpin umat justru telah berpandangan bahwa Islam terlalu sempit jika dijadikan sebagai baju untuk berpolitik. Menggunakan Islam sebagai baju dan bendera oleh mereka dianggap justru akan membuat perjuangan Islam melalui jalur politik mengalami kegagalan. Sikap seperti ini setidaknya terlihat dari Amien Rais dan Gus Dur yang keduanya adalah pemimpin organisasi besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU, yang lebih suka mendirikan partai politik dengan tidak menggunakan Islam sebagai dasar atau asas. Bahkan dari nama partai yang kemudian dikomandani oleh keduanya, tersurat wawasan nasionalisme (kebangsaan). Amien Rais memimpin PAN (Partai Amanat Nasional) dan Gus Dur memimpin PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).
Geser haluan
Sikap pemimpin umat yang kemudian lebih memilih langkah politik seperti ini oleh sebagian kritikus politik dilihat sebagai sebuah langkah pragmatisme saja. Sebab, umat Islam telah mengalami perubahan pandangan dengan wawasan Islam kultural yang sangat subur di masa orde baru. Jadi, pandangan para pemimpin umat yang tidak menggunakan Islam sebagai asas formal organisasi politik yang mereka pimpin, justru dianggap sebagai strategi politik untuk meraup dukungan yang lebih besar. Sebab, mereka telah melihat realitas sejarah politik di Indonesia bahwa politik Islam tak pernah menang. Karena itu, bila ingin menang, langkah politik yang harus diambil adalah mengubah haluan.
Para aktivis politik Islam yang tetap berada pada jalur 'keras' juga tidak lagi bersikap seperti para pendahulunya. Mereka telah menerima pandangan Indonesia sebagai negara-nasional dan tidak lagi menuntut untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mereka bergeser dari tuntutan itu menuju kepada tuntutan penerapan syariat Islam. Tetapi, kekuatan mereka ternyata tidak signifikan untuk mempengaruhi kebijakan di tingkatan lembaga formal yang mempunyai otoritas untuk itu.
Di parlemen periode 1999-2004, isu pengembalian Piagam Jakarta dan penerapan syariat Islam hanya didukung oleh Fraksi PPP dan PBB yang jumlahnya sangat tidak signifikan untuk bisa mencapai tujuan. Tampaknya kondisi yang terakhir ini akan relatif konstran dalam konstelasi politik periode mendatang karena representasi aktivis politik yang mengambil jalur 'keras' ini juga tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Ikhtisar
- Dua aliran besar politik di Tanah Air, yakni Islam dan nasionalis, masih menjadi warna yang sangat dominan.
- Di masa orde baru, aliran politik Islam sempat tergerus akibat kebijakan asas tunggal Pancasila.
- Setelah reformasi, ternyata aliran politik Islam juga tidak secara tegas dalam menempatkan diri.
- Sebagian pemuka justru memandang Islam sebagai baju yang terlalu sempit untuk berpolitik.
No comments:
Post a Comment