Deni Al Asy'ari
Ketua Bidang Hikmah Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Mahasiswa Program Pascasarjana UGM
Menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, sudut-sudut terminal, bandara, stasiun, dan pelabuhan sudah mulai disesaki pemudik. Suasana yang begitu sesak dan padat seakan-akan tidak menjadi soal bagi mereka yang betul-betul ingin kembali ke kampung halamannya. Barangkali sudah setahun bahkan bertahun-tahun mereka meninggalkan tanah kelahirannya dan berjuang di tengah kompleksitas persoalan yang ada di kota-kota besar. Seakan-akan dalam konteks ini mudik menjadi obat bagi kepenatan selama mereka berjuang di perantauan. Oleh karenanya istilah mudik, menjadi amat ppuler menjelang Idul Ftri seperti sekarang ini.
Mudik sebagai perilaku sosial, sekilas tampak sebagai sebuah euforia publik dalam mencapai keberhasilan ekonomi di perantauan. Sehingga pulang kampung menjadi pertanda bagi dirinya akan sebuah kesuksesan. Begitu pula halnya bagi penilaian masyarakat di kampung halaman, mereka yang pulang dari tanah rantau, cenderung dinilai sebagai seseorang yang sukses dalam mencari rezeki. Akan berbeda dengan sebaliknya, mereka yang tidak mudik atau tidak pulang ke kampung halaman di Hari Raya Idul Fitri akan dianggap gagal dalam merantau.
Penilaian umum masyarakat yang demikian tentunya tidak sepenuhnya betul, sebab mudik bukan saja semata-mata persoalan ekonomi, melainkan jauh dari itu adalah juga menyangkut persoalaan spiritual. Banyak dari mereka yang kadangkala pulang ke kampung halaman tanpa bekal, bahkan jikalau membawa sesuatu yang bersifat finansial, mereka lazimnya berupaya dengan cara menggadaikan barang-barang berharga mereka atau membuat pinjaman di perantauan. Maka sangat kurang tepat jika mudik dimaknai semata-mata sebagai bentuk keberhasilan seseorang dalam memperoleh ekonomi.
Apalagi sebagaimana yang kita sadari saat ini, merantau bukanlah sesuatu yang gampang dan mudah, sebab di tengah merosotnya ekonomi bangsa dan kecilnya kesempatan kerja, banyak masyarakat yang melakukan proses urbanisasi atau berpindah ke kota-kota besar demi mempertahankan kehidupan mereka. Jika kita melihat di kota-kota besar, tidak jarang terlihat mereka yang berasal dari kampung halaman untuk mencari nafkah tanpa memiliki pekerjaan tetap. Mereka harus rela diusir dan dipukuli oleh aparat pemerintahan setempat lantaran dianggap mengotori atau merusak keindahan kota.
Keberadaan mereka di kota-kota besar tidak ubahnya sebagai problem sosial yang selalu 'dipingpong' oleh kekuasaan yang ada. Mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga misalnya, harus rela bertahan hidup dengan gaji pas-pasan serta risiko kerja yang kadang kala kurang memanusiakan. Begitu pula bagi mereka yang bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, juga harus berjuang mati-matian melawan buasnya pusat-pusat perbelanjaan besar dan supermaket yang secara perlahan-lahan cenderung mematikan usaha kecil mereka. Oleh karena demikian, merantau sebagaimana yang dimaknai oleh masyarakat selama ini tidaklah tepat jika diartikan selalu dengan kesuksesan.
Maka ketika banyak masyarakat di Hari Raya Idul Fitri pulang ke kampung halamannya, sebenarya lebih sebagai bentuk upaya pencarian jati diri mereka yang sesungguhnya. Sebab ketika berada di kota-kota besar, eksistensi mereka sebagai seorang manusia tidak ubahnya seperti sekrup dalam mesin yang tidak diperhitungkan. Sementara di kampung halaman, mereka biasanya adalah orang-orang yang diperhitungkan, dibutuhkan, dan dimanusiakan layaknya bagian dari komunitas sosial tertentu.
Kekejaman tanah rantau inilah yang menghilangkan jati diri mereka sebagaimana manusia seutuhnya. Maka ketika banyak orang untuk mudik ke ke kampung halaman, mereka tidak lepas dari keinginan untuk menemukan kembali kedirian mereka yang hakiki. Kerinduan terhadap kedirian hakiki inilah yang dalam Islam disebut sebagai sebuah sunnatulah.
Di kampung halaman tentunya mereka akan bisa merasakan dan tahu tentang dirinya, walaupun mereka di kampung halaman hanya makan dengan lauk seadannya, dan fasilitas publik yang minim. Dengan berkumpul bersama keluarga, saudara dan sanak famili, mereka akan bisa menyadari dan merasakan bahwa dirinya memang ada dan fungsional. Jadi sangat gagal bagi seseorang yang mudik, jika mereka lupa akan hakikat kediriannya selama ini.
Hakikat Ramadhan
Begitu pula halnya dengan bulan Ramadhan yang datang satu kali dalam satu tahun, kehadirannya merupakan sarana bagi manusia untuk menemukan hakikat kedirian sebagai seorang hamba Allah. Sebab selama 11 bulan penuh, manusia disibukkan dengan berbagai aktivitas sosial. Kadangkala manusia lupa akan hakikat kediriannya sebagai seorang hamba Allah. Seakan-akan manusia hidup dengan kemampuannya semata, prilaku sombong, takabur begitu mudah muncul di antara sesama kita. Bahkan solidraitas sosial demi sebuah kepentingan tertentu menjadi terabaikan. Secara diam-diam kita dengan mudah melupakan Sang Pencipta yang mengatur alam dan segala isinya.
Keserakahan, kesombongan, dan sikap saling menjatuhkan sesama manusia inilah yang menghilangkan kedirian kita sesuangguhnya, sehingga hubungan kita dengan Tuhan semakin minim. Jadi melalui ibadah Ramdhan inilah manusia bisa kembali untuk merenungkan dan menemukan kembali hakikat kediriannya yang hakiki. Di tengah kompelskitas persoalan yang dihadapi, Ramdhan membawa manusia untuk lebih tenang, sejuk, dan teduh untuk berikipir tentang eksistensi diri kita sesungguhnya.
Maka ketika Ramadhan menjadi sarana bagi pencarian hakikat kedirian kita sesungguhnya, tentu akan rugilah mereka yang diberi kesempatan lebih untuk kembali pada hakikat yang sebenarnya, namun melupakannya. Untuk itu, sebagai kata penutup, mudik dan Ramadhan pada dasarnya merupakan sebuah sarana yang bertujuan sama untuk menemukan hakikat kedirian seorang manusia. Bedanya jika mudik untuk menemukan hakikat kedirian seseorang dalam berhubungan dengan manusia, sedangkan Ramadhan, sebagai sarana untuk menemukan hakikat kedirian manusia dalam berhubunan dengan Tuhannya.
No comments:
Post a Comment