Kelihatannya tahun 1428 H ini, umat Islam di Indonesia akan mengalami perbedaan hari 1 Syawal (lagi). Muhammadiyah sudah mengumumkan 1 Syawal 1428 H bertepatan dengan 12 Oktober 2007. NU masih menunggu rukyatul hilal pada 11 Oktober 2008 2007. Kalau tidak terlihat (dan kemungkinan besar tidak terlihat), NU akan menetapkan 1 Syawal 1428 H bertepatan dengan 13 Oktober 2008 2007.
Mengenai hal ini, saya punya tulisan yang dibuat pada tahun 2005. Memang bukan soal Idul Fitri, melainkan mengenai Idul Adha. Karena ada beberapa kesamaan permasalahan, saya post di sini. Berikut tulisannya.
PERINGATAN IDUL ADHA
Sebelum tanggal 14 Januari 2005, otoritas haji di Saudi Arabia memutuskan bahwa hari Arafah (9 Zulhijah) jatuh pada Kamis, 20 Januari 2005, sehingga Idul Adha (10 Zulhijah) jatuh pada hari Jumat, 21 Januari 2005. Ini didasarkan pada laporan bahwa pada tanggal 10 Januari 2005 sore hari tidak terlihat hilal, sehingga bulan Dzulqaidah dibulatkan menjadi 30 hari, dan 1 Zulhijah jatuh pada tanggal 12 Januari 2005.
Tiba-tiba, pada 14 Januari 2005, pihak otoritas haji di Saudi Arabia mengejutkan banyak orang dengan pengumuman bahwa hari Arafah jatuh pada hari Rabu, 19 Januari 2005, dan Idul Adha jatuh pada hari Kamis, 20 Januari 2005. Perubahan ini disebabkan adanya laporan bahwa ada 2 orang yang melihat hilal pada 10 Januari 2005. Padahal, data astronomi jelas menunjukkan bahwa klaim kedua orang itu salah.
Seperti laporan pada www.moonsighting.com dan hasil perhitungan software MoonC, pada tanggal 10 Januari 2005 mustahil melihat hilal di seluruh tempat di dunia ini, selain kemungkinan di Chili dan kepulauan Polinesia. Bulan baru lahir pada pukul 12.03 GMT (atau pukul 15.03 waktu Saudi Arabia) pada hari itu. Itu artinya, pada saat matahari tenggelam di Saudi Arabia, umur bulan baru sekitar 3 jam dan bulan tenggelam 3 menit sebelum matahari tenggelam.
Begitu juga di Indonesia. Menurut hasil perhitungan software MoonC, pada tanggal 10 Januari 2005, di semua tempat di Indonesia, mustahil melihat hilal. Dengan demikian, bulan Dzulqaidah dibulatkan menjadi 30 hari, dan 1 Zulhijah jatuh pada hari Rabu, 12 Januari 2005 sehingga 10 Zulhijah jatuh pada hari Jumat 21 Januari 2005.
Tapi baiklah, kita anggap saja 2 orang yang melihat hilal di Saudi Arabia itu betul. Pertanyaan selanjutnya: apakah kita yang di Indonesia – yang tak satupun orang melihat hilal pada tanggal 10 Januari 2005 – harus mengikuti ber-Idul Adha pada hari Kamis, 20 Januari 2005?
Rukyah vs Hisab
Permasalahan ini sudah banyak dibahas di ruang-ruang diskusi. Tapi, secara ringkas bisa dijelaskan bahwa perintah Rasulullah untuk merukyah hilal pada intinya adalah supaya kaum muslimin mengetahui datangnya bulan baru. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, datangnya bulan baru sudah bisa diprediksi. Bahkan, gerhana bulan atau gerhana matahari yang akan datang pada puluhan tahun yang akan datang bisa diperhitungkan dengan ketelitian 1 s.d 2 menit. Ini dimungkinkan karena gerakan benda-benda langit merupakan sunatullah yang bersifat
¨ Pasti (33:38)
¨ Objektif (33:62)
¨ Tetap, tidak berubah (48:23)
Sebenarnya, kita sudah akrab dengan metode hisab. Misalnya saja, penentuan waktu solat, selalu kita melihat jadwal solat dan kita melihat jam. Rasanya, tak ada lagi muslim yang akan solat dzuhur terlebih dulu melihat posisi matahari. Begitu juga, menunggu waktu solat subuh dengan melihat fajar. Mengapa untuk mengetahui bulan baru kita tidak konsisten dengan melihat hasil hisab?
Salah satu program komputer yang mudah digunakan untuk hisab adalah MoonC yang sekarang sudah mencapai versi 6. Ini merupakan hasil karya seorang muslim bernama Dr Monzur Ahmed.
Global vs Lokal
Ide rukyah global memang terdengar indah karena berdampak pada keseragaman waktu ibadah bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Tapi, lihat gambaran berikut.
Misalnya saja, hilal muncul di Padang, tapi tidak muncul di Makasar. Apakah keesokan harinya Makasar sudah ikut tanggal 1, padahal sama-sama masuk wilayah Indonesia? Tapi, tentu saja ini bisa ditolerir jika perbedaan itu antara Jakarta dan Cirebon, misalnya. Dengan kata lain, tak mungkin disamakan seluruh dunia, tapi juga harus ada ketentuan-ketentuan baku untuk waktu lokal, seperti yang sudah dilakukan untuk pembagian waktu WIT, WITA, dan WIB. Misalnya saja, untuk setiap wilayah dengan jarak 20 derajat Bujur itu masuk satu wilayah, sehingga di seluruh dunia ada 18 waktu.
Memang belum ada ketentuan secara syariat mengenai rentang batas pembagian waktu itu. Beberapa riwayat menunjukkan rentang yang berbeda. Misalnya saja, Imam Alqurtuby menyampaikan bahwa kabar tentang hilal yang disampaikan oleh Malik di Basra berlaku juga bagi orang Yaman, padahal jaraknya lebih dari 2000 km. Ibnu Rushd dan Ibnu Juzayy mempertimbangkan jarak antara Andalusia (Spanyol) dan Madinah, lebih dari 4500 km. Ibnu Abdul Barr, ahli hadist Maliki, mengusulkan satuan jarak yang bisa diterima adalah jarak antara Andalusia (Spanyol) dan Khurasan di Iran yang lebih dari 6400 km. Dengan demikian harus ada keputusan dari para ulama yang mengikat seluruh kaum muslimin di dunia.
Juga perlu diperhatikan hal berikut ini. Batasan tanggal dunia saat ini ada di Samudra Pasifik. Itu merupakan kesepakatan internasional. Artinya, untuk wilayah yang sangat dekat, jika di sebelah barat garis itu tanggal 19 Januari 2005 dan Idul Adha mengikuti Arab Saudi, kaum muslimin yang tinggal di situ solat ied pada hari tersebut, sedangkan yang di sebalah timur garis itu solat ied keesokan harinya karena pada hari itu masih tanggal 18 Januari 2005. Untuk wilayah yang sangat dekat, dengan sama-sama mengikuti Arab Saudi, dengan sama-sama solat ied tanggal 20 Januari, waktu solatnya bisa berbeda 24 jam.
Misalnya saja ada keputusan internasional, memindahkan garis batas tanggal internasional, sehingga garis itu melewati wilayah Indonesia, dan berhimpitan dengan garis batas propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kalau sama-sama mengikuti waktu Idul Adha Arab Saudi, maka muslimin yang di Cirebon akan solat Ied lebih dulu 24 jam ketimbang muslimin yang ada di Tegal.
Gambaran tersebut hanya menunjukkan bahwa selain diperlukannya pembagian waktu ibadah secara global, juga kurang tepatnya mengkonversi secara langsung tanggal Hijriah ke tanggal Masehi.
Asumsikan saja, betul terlihat hilal di Arab Saudi pada tanggal 10 Januari dan asumsikan juga kita mengikuti Arab Saudi dengan solat Ied pada tanggal 20 Januari. Saat ini kejadiannya adalah kita solat Ied lebih dulu sekitar 4 jam dibandingkan kaum muslimin di Arab Saudi, karena kita patuh dengan garis batas tanggal di Samudra Pasifik sehingga pukul 00.00 tanggal 20 Januari lebih dulu terjadi di Indonesia ketimbang Arab Saudi. Jika, misalnya saja garis batas tanggal itu ada di India, maka yang terjadi adalah muslimin di Arab Saudi akan solat Ied 20 jam lebih dulu dari kita yang ada di Indonesia. Jadi, sangat tergantung pada di mana sebenarnya garis batas tanggal itu berada, yang notabene itu adalah keputusan manusia.
Seharusnya, kaum muslimin punya garis batas tanggal. Tetapi garis batas tanggal itu tidak tetap seperti garis batas tanggal Masehi yang terletak di Samudra Pasifik. Garis tanggal itu berubah-ubah tergantung di mana tanggal 1 setiap bulan hijriah ditentukan yaitu di mana pertama kali hilal bisa dilihat. Kemudian, tempat yang ada di sebelah ”barat” tempat itu akan mengikuti. Misalkan, jika pada tanggal 10 Januari di Indonesia belum terlihat hilal, maka seharusnya tanggal 1 Zulhijah di Indonesia adalah tanggal 12 Januari, walaupun tanggal 1 Zulhijah di Arab Saudi jatuh pada tanggal 11 Januari (dengan terlihatnya hilal di Arab Saudi) karena Indonesia ada di ”timur” Arab Saudi. Contoh lain. Jika pada tanggal 10 Januari di Arab Saudi hilal belum bisa terlihat, sedangkan di Inggris bisa dilihat, maka tanggal 1 Zulhijah di Inggris jatuh pada tanggal 11 Januari sedangkan di Arab Saudi dan Indonesia tanggal 1 Zulhijah tetap jatuh pada tanggal 12 Januari. Jadi tidak bisa langsung dikonversi bahwa di seluruh dunia 1 Zulhijah jatuh pada tanggal 11 Januari, karena yang menetapkan tanggal 11 dan 12 Januari adalah manusia dengan ketentuan garis batas tanggal di Samudra Pasifik. (Kata barat dan timur ada dalam tanda kutip karena arah relatif bukan mutlak. Kita anggap Indonesia ada di timur Arab walaupun dengan posisi lain bisa saja Indonesia berada di barat Arab karena dunia yang bulat)
Haji vs Idul Adha
Pada tahun ke-2 hijriah, Rasulullah sudah memaklumatkan adanya Idul Adha. Ketika itu beliau menanyakan kepada penduduk Madinah mengenai 2 hari raya yang dirayakan oleh mereka (Nayruz dan Mahrajam). “Kami merayakannya sebelum masuk Islam,” begitu kata mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik, yaitu hari raya Qurban (Idul Adha) dan Idul Fitri.” (Sunan Abu Dawud)
Sedangkan haji, baru dimaklumatkan pada 8 tahun kemudian (beberapa riwayat: 7 tahun kemudian). Menurut Turmudzi, Rasulullah SAW selama 10 tahun tinggal di Madinah selalu berqurban. Dan beliau berkurban pada hari ke-10 Zulhijah (Sunan Baihaqi). Kaum muslim mengikuti ketentuan ini dengan berkurban pada hari ke-10 Zulhijah di manapun mereka berada. Sunnah Rasulullah adalah menentukan hari Idul Adha pada hari ke-10 Zulhijah dengan melihat hilal (untuk mengetahui bulan baru) pada tanggal 29 atau 30 Zulqaidah.
Jika Idul Adha itu sehari setelah hari Arafah (artinya Idul Adha tergantung pada kegiatan haji), mengapa Rasulullah tidak berusaha mengetahui pelaksanaan haji di Mekah untuk melaksanakan Idul Adha di Madinah? Setelah penaklukan Mekah pun sebenarnya tak ada masalah bagi muslim Madinah untuk mengetahui kapan pelaksanaan haji di Mekah karena hanya perlu waktu sekitar 10 hari untuk mendapatkan berita yang sangat diperlukan itu. Tapi tidak ada riwayat yang menceritakan Rasulullah SAW berusaha untuk tahu, atau menginformasikan Muslim di sekitar Madinah tentang waktu haji di Mekah.
Jadi Idul Adha memang ada hubungannya dengan ibadah haji, tapi Idul Adha tidak bergantung pada kegiatan Haji.
Paling Mendasar
Ketiga problem tersebut memang perlu dipahami oleh kaum muslimin, tapi tidak tertutup kemungkinan masih adanya perdebatan panjang karena masing-masing pihak mempunyai hujah. Satu persoalan yang tampaknya tidak perlu perdebatan panjang, dan Insya Allah akan menyelesaikan masalah-masalah seperti di atas, adalah perlunya satu kepemimpinan bagi umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam sepakat dengan hal tersebut. Tapi, mengapa sulit diwujudkan?
Dengan adanya satu imam, maka kontroversi bisa ditetapkan dengan keputusan tunggal. Jika benar, imam mendapat 2 pahala. Jika salah, imam mendapat 1 pahala. Itulah yang namanya ijtihad. Bukan orang sembarangan bisa berijtihad.
Sumber :
- TARIC, volume 107, March 8, 2002. ”Determination of the proper date to celebrate Eid al Adha”
- Imam Zaid Shakir, Zaytunna Institute. “Massage for Dhul Hijjah & Eid al Adha from Zaytunna Institute”
- Muhammad Auwal. “The Saudi Hajj Decision”
No comments:
Post a Comment