Pemahaman yang hanya menyandarkan pada teks-teks dengan ketentuan normatif agama dan pada bentuk-bentuk formalisme sejarah Islam paling awal jelas sangat kurang memadai. Dan di kalangan sebagian besar umat Islam, pola semacam inilah yang berkembang dengan sangat subur. Jika ini terus-menerus dipertahankan, Islam akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, karena dengan pola pikir seperti ini, Islam akan menjadi agama yang ahistoris dan eksklusif. Inilah yang menjadi keprihatinan Islam liberal.
Oleh: Mohammad Nasih
BEBERAPA hari lalu, atas nama lembaga yang saya pimpin, saya meminta kepada salah seorang pimpinan kelompok Islam tertentu untuk menjadi pembicara dalam seminar dan bedah buku "Wajah Liberal Islam di Indonesia" tingkat nasional yang akan dilaksanakan di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang.
Setelah melakukan perbincangan awal untuk permintaan tersebut, jawabannya akan dilakukan koordinasi dulu untuk bisa menyatakan ya atau tidak. Dan akhirnya jawaban yang diberikan yang dikirim melalui SMS yang saya terima dua hari kemudian sungguh membuat saya mengernyitkan kening. "Mohon maaf, kami tidak bisa memenuhi permintaan, tapi kami berterima kasih atas kepercayaan kepada kami, karena kami melihat keanehan pada Islam liberal."
Jawaban inilah yang kemudian mendorong saya menulis artikel ini untuk sekadar memberikan penjelasan tentang apa sebenarnya Islam liberal dan untuk secara sepintas memberikan jawaban apakah Islam liberal memang aneh seperti apa yang ada dalam benak orang-orang yang kurang komprehensif memahaminya.
Karena itu saya akan memulainya dari persoalan yang sangat sederhana, yakni masalah nama. Sebab tak syak lagi, "adjektif" liberal ini bagi banyak orang sering menyebabkan bias dan bahkan salah paham. Akibat lanjutnya membuat mereka apriori terhadap Islam liberal beserta gagasan-gagasan kreatifnya untuk memberikan sentuhan episteme baru kepada Islam dalam rangka mengarungi perubahan global (baca: modernitas).
Yang lebih berat lagi, adjektif liberal menimbulkan perasaan aneh dari dua kalangan sekaligus, yakni kalangan Islam sendiri dan juga kalangan luar. Bagi kalangan Islam, adjektif liberal seringkali membuat banyak orang langsung mengidentikkannya dengan Barat karena paham liberalisme anutan Barat yang melakukan kritik, lebih-lebih terhadap agama karena dianggap memasung potensi nalar manusia dalam memahami hukum kausalitas alam semesta.
Ini terbukti dengan persepsi-persepsi minir terhadap Islam liberal dengan sebutan proyek imperialis, corong Barat, antiagama, Islam STMJ (Salat Terus Maksiat Jalan) dan masih banyak sebutan lain yang senada dengan itu.
Sebaliknya bagi kalangan luar, istilah Islam liberal terdengar dan terasa sangat aneh karena mereka lebih mengenal Islam selama ini dalam berbagai macam konstruksi pemahaman yang bermuatan stigmatis seperti, Islam radikal, Islam militan, oriental despotism, dan sebagainya.
Inilah yang nampaknya sejak awal disadari oleh Charles Kurzman, seorang sosiolog dari Universitas North Carolina dan juga editor buku Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford University Press, 1998), dengan mengatakan: "Liberal Islam, may sound like a contradiction in term."
Karena itu, saya merasa berkepentingan untuk meluruskan penilaian-penilaian tersebut dengan harapan alternatif-alternatif yang ditawarkan Islam liberal tentunya dapat diterima, atau minimal dapat didialogkan dengan sikap yang lebih dewasa. Jangan sampai gagasan-gagasan cemerlang dan sangat diperlukan untuk memberdayakan agama di era yang penuh dengan problem yang multikompleks ini ditolak hanya gara-gara salah persepsi yang sama sekali tidak substantif.
Dua Pengertian
Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran baru - tetapi sebenarnya tidak selalu demikian - atas agama Islam dengan wawasan keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang. Juga penekanan pada semangat religio-etik, bukan pada makna literal teks, kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, pemihakan pada yang minoritas dan tertindas, kebebasan beragama dan berkepercayaan, bahkan untuk tidak beragama sekalipun, dan pemisahan otoritas agama dan otoritas politik. Mengapa kemudian wawasan yang seperti itu dinamakan dengan Islam liberal?
Nama ini hanyalah sekadar untuk menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut di atas. Yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi (meminjam istilah Mu'tazilah, salah satu sekte Islam yang terkenal karena penekanannya pada aspek rasionalitas, "kebebasan manusia"), dan pembebasan struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Jadi adjektif liberal di sini mempunyai dua makna sekaligus yaitu kebebasan dan pembebasan. Sebab itulah, tidak tepat kalau Islam liberal dikait-kaitkan secara berlebihan dengan liberalisme yang dianut Barat.
Adjektif ini bersifat netral dengan dua arti di atas dan diberikan karena keyakinan para aktivis Islam liberal bahwa tidak ada Islam an sich, Islam tanpa embel-embel, sebagaimana dipahami banyak orang.
Kerangka berpikirnya adalah karena sudah sedemikian lama menyejarah, Islam seringkali hadir dengan -untuk tidak mengatakan tidak mungkin tanpa- adjektif, tanpa kata sifat, dan karena itu tidak ada Islam thok. Sebab pada kenyataannya Islam mengalami penafsiran yang dinamis dan berbeda-beda sesuai dengan konteks sosio-historis yang melingkupinya dan siapa yang menjadi penafsirnya.
Karena itu, kemudian muncul Islam dengan seabrek adjektif di belakangnya seperti Islam modern, neomodern, post-modern, tradisional, post-tradisional, konservatif, lunak, garis keras, Islam kiri, kanan, tengah, atau bahkan nanti - bukan tidak mungkin - akan muncul lagi Islam kiri luar atau Islam kanan luar.
Dengan demikian, tak perlu heran kalau yang menempel menjadi adjektif sangat beragam dan aneh-aneh atau bahkan bisa jadi terasa kontradiktif. Dalam Islam sejarah yang lebih awal saja sudah muncul sekte-sekte yang cukup banyak. Ada khawarij, syari'ah, murji'ah.
Paham tentang kebebasan sekte-sekte tersebut secara diametral dapat ditarik ke dalam dua kutub jabariyah (fatalisme) dan qadariyah (kebebasan). Karena itu, tidak salah kalau untuk memahami Islam, seseorang atau sebuah komunitas mengambil adjektif tertentu. Dalam konteks seperti ini ada beberapa aktivis Islam yang menghendaki adanya pembaharuan dengan cara mengibarkan bendera dengan adjektif liberal di belakang Islam untuk menegaskan identitas guna membungkus misi yang diembannya.
Misi Islam liberal, menurut Charles Kurzman, bertitik tolak pada suatu rasionalitas untuk selalu menjaga kesinambungan syariah Islam dengan tuntutan sejarah. Dengan kerangka seperti ini, perkembangan diseminasi pemikiran Islam yang diproduksi oleh Islam liberal sebenarnya tak perlu dianggap aneh, apalagi dicurigai. Sebab meskipun dalam Islam melekat watak universitas, tetapi pada dataran praktisnya, Islam tetap memerlukan sebuah kerangka pandang, episteme, yang selaras dan senafas dengan semangat zaman.
Pemahaman yang hanya menyandarkan pada teks-teks dengan ketentuan normatif agama dan pada bentuk-bentuk formalisme sejarah Islam paling awal jelas sangat kurang memadai. Dan di kalangan sebagian besar umat Islam, pola semacam inilah yang berkembang dengan sangat subur. Jika ini terus-menerus dipertahankan, Islam akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, karena dengan pola pikir seperti ini, Islam akan menjadi agama yang ahistoris dan eksklusif. Inilah yang menjadi keprihatinan Islam liberal.(33)
Mohammad Nasih, aktivis Jaringan Islam Liberal
1 comment:
dr penjelasan diatas sgat jelas libral adlh agama bru dan bukan islam.
Post a Comment