ISLAM KIRI; Sebuah Wacana
Wacana Islam Kiri / Kiri Islam mulai hadir pada tahun 1981 di Mesir, dibawa oleh Dr. Hasan Hanafi, seorang Doktor muda yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Kairo dengan Jurnal Madha Ya’ni Al-Yasar Al-Islami. Jurnal yang beliau susun kemudian mulai mendunia, tapi terhambat oleh masalah dana. Pada tahun 1988, Kazuo Shimogaki, seorang pemerhati Timur Tengah dari Institute of Middle East Studies International University Jepang membuat buku yang mengkritisi jurnal ini yang kemudian dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia pada tahun 1993. Di Indonesia sendiri ada Eko Prasetyo yang menyusun “Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan” pada tahun 2002.
Apa sih Islam Kiri? Samakah dia dengan Marxisme? Kalau tidak, kenapa mengambil nama “kiri”? Mungkin pertanyaan inilah yang akan muncul pada saat kita mendengarnya. Pada dasarnya, Islam Kiri lahir atas nama keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Dia lahir untuk menentang Kapitalisme dan Globalisasi yang semakin menindas rakyat, baik yang dilakukan oleh pihak asing maupun saudara sebangsa sendiri. Hasan Hanafi dengan tegas berkata; ‘Kiri Islam berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang tertindas, kaum miskin.....membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama-setara “seperti gerigi sisir”, tidak ada perbedaan kecuali atas dasar ketaqwaan dan amal saleh’. Sedangkan Eko Prasetyo mendefinisikan Kiri dalam agama sebagai ‘...agama yang meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak utama yang patut dibela, dilindungi, dan diperjuangkan’. “Kiri” sendiri adalah sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Nama ini menjamin adanya gerakan, perlawanan, revolusi, dan bukan sekedar perbincangan tanpa hasil. Jalaluddin Rakhmat mencatat adanya kesamaan dan perbedaan antara Marxisme dengan Islam Kiri ini. Kesamaannya adalah, pertama, dua-duanya sangat concern pada nasib orang lemah, dan kedua, dua-duanya sama-sama berfikir bahwa kaum mustadh’afin (kaum tertindas) tidak boleh diam, melainkan mereka harus bangkit dan merubah sistem yang tidak berpihak pada mereka. Tetapi juga ada perbedaan jauh diantara keduanya, diantaranya posisi agama sebagai motivator bagi Islam Kiri, posisi Allah yang berada pada tempat tertinggi, dan moralitas yang cenderung diabaikan dalam Marxisme.
Gagasan ini memang punya akar yang kuat dalam Islam. Dalam Al-Qur’an sangat banyak ayat yang mengharuskan adanya keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Allah memerintahkan untuk melawan penindasan dan monopoli ekonomi, membela kaum mustadh’afin, serta berbuat adil sebagai parameter ketaqwaan. Dalam masa awal kenabianpun, Rasulullah didampingi oleh orang-orang dari kalangan lemah ini. Banyak penulis dan ahli sejarah, diantaranya Asghar Ali Engineer dan Karen Amstrong yang menyatakan bahwa penolakan kaum Quraisy kepada Rasulullah bukanlah semata karena ajaran yang dibawa beliau, tapi lebih karena alasan ekonomi dan politik belaka. Mereka kuatir ajaran kesetaraan yang dibawa Nabi akan mengancam monopoli ekonomi yang dimiliki mereka, dan pengakuan mereka atas kenabian beliau akan memberi kekuatan politik kepada Rasulullah SAW. Ada tiga jawaban dari Eko Prasetyo kenapa memihak kaum miskin jadi prioritas; pertama, kemiskinan sangat berlawanan dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam karena kemiskinan adalah ekspresi kehidupan yang kalah serta tertindas. Kedua, kemiskinan sangat bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan dimuliakan. Ketiga, yang paling utama adalah mandat Al-Qur’an yang meletakkan prinsip keadilan sebagai kunci ketaqwaan yang sejati dan sempurna. Maka sangat wajar bila Rasulullah bersabda: ‘Kemiskinan adalah dekat dengan kekufuran’, dan seorang muslim tidak seharusnya miskin. Pertanyaannya adalah; apakah kemiskinan kita disebabkan oleh kemalasan kita sendiri atau sebenarnya kita telah dimiskinkan oleh sistem yang ada? Mari kita jawab dan pecahkan bersama.
Sistem ekonomi dunia saat ini dikuasai oleh para kapitalis, dan cara mereka dalam mengumpulkan modal telah menyebabkan kemiskinan global pula, terutama di negara-negara berkembang. Sistem yang menyandarkan diri pada mekanisme pasar ini telah memberi kesempatan besar kepada para pemilik modal untuk berkreasi dalam mengendalikan produksi dan memaksa konsumen untuk terus mengkonsumsi tanpa mengenal batas teritorial. Bahkan, pemerintahan suatu negara juga dipaksa mengikuti mekanisme ini melalui organisasi-organisasi internasional, baik dengan pinjaman maupun “kesepakatan-kesepakatan” yang sangat mendorong kapitalisasi. Hasilnya bisa kita lihat sekarang ini; pemusatan modal dan produksi pada beberapa pihak, ketergantungan negara yang besar pada investor, serta kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat miskin. Contoh yang mudah adalah penghapusan subsidi bagi rakyat yang berdampak pada kenaikan BBM, kenaikan biaya pendidikan dan kenaikan biaya hidup secara umum. Bahkan, saat ini kenaikan TDL rasanya sudah merupakan sebuah keniscayaan. Belum lagi korupsi membudaya sebagai akibat dari pandangan hidup kapitalistik yang tidak diikuti penegakan supremasi hukum. Sangat ironis rasanya hidup di negara berpenduduk muslim terbesar, pemasok jamaah haji terbesar, tapi juga termasuk negeri terkorup dan termiskin.
Ironi ini telah secara tegas menunjukkan lemahnya peran agama (baca: Islam) dalam membebaskan pemeluknya dari ketertindasan. Bukan hal yang asing bila Islam selalu dikaitkan dengan kepasrahan pada keadaan, kepatuhan kepada pemimpin, atau bahkan sebagai penangkap hantu belaka. Sangat jarang kita temukan Islam dengan wajah pembebas, pemberontak, dan pembela kaum lemah. Yang ada malah Islam me-ninabobo-kan pemeluknya dengan “Allah punya rencana dibalik semua ini”. Islam Kiri meneriakkan dengan lantang bahwa rencana Allah adalah agar kita mau berjuang di jalanNya membela kaum mustadh’afin ini. “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela kaum tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata; Tuhan kami! Keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!” (QS 4:75). Janji Allah yang pasti: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi kaum mustadh’afin di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”, semestinya menjadi jaminan kita untuk memperjuangkan nasib mereka. Maka, mulailah bergerak melawan ketertindasan!
Untuk itu, Kazuo Shimogaki menilai ada tiga pilar yang menopang Islam Kiri dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan Ummat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik yang bersandar pada rasionalisme, pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa, dan pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam yang tidak semata bertumpu pada nash (teks). Hasan Hanafi menganalisis bahwa dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan dari dalam.
Inilah Islam Kiri, wacana yang hadir dari khazanah intelektual Islam sendiri, dan memerlukan kita untuk mengubahnya menjadi gerakan. HMI sendiri, dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP)-nya mempunyai kecenderungan yang sama. Konsep “Beriman, Berilmu, Beramal” yang ditopang oleh Tauhid, kesatuan aktivitas dan kemerdekaan serta kesetaraan manusia dalam mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi dengan bantuan ilmu pengetahuan adalah inti dari NDP. Organisasi-organisasi Islam yang lainpun akan setuju dengan cita-cita ini. Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah dialog untuk merapatkan barisan menuju Izzatul Islam.
Monday, October 1, 2007
ISLAM KIRI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment