Dalam Ensiklopedi Islam (1999), iktikaf berarti tinggal di dalam masjid yang dilakukan oleh seseorang dengan niat. Dalam sejumlah referensi fikih yang tersebar dan dibaca di Indonesia, secara istilah, iktikaf berarti menetap dan tinggal di masjid dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah `azza wa jalla.
Pengertian ini sama sekali tidak menyiratkan di bulan Ramadhan. Dari sisi waktu, ia netral, yang berarti dapat dilakukan kapan saja, selama tidak ada ketentuan agama yang melarangnya. Yang secara eksplisit disebutkan dalam pengertian di atas adalah masjid. Iktikaf hanya bisa dilakukan di dalam masjid. Memang, ada perbedaan pendapat tentang kategori masjid yang dapat digunakan sebagai tempat iktikaf.
Abu Hanifah, Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur sepakat bahwa iktikaf hanya dapat dilakukan di masjid-masjid yang biasa dijadikan tempat shalat lima waktu oleh masyarakat umum dan seminggu sekali digunakan untuk shalat Jumat. Nabi SAW sendiri mengisyaratkan 'masjid yang mempunyai muadzin dan imam'. (HR Daruquthni). Selama iktikaf orang dapat melakukan apa saja yang berkaitan dengan proses taqarrub. Ada sebagiannya yang membaca Alquran, berzikir, atau diisi dengan shalat-shalat sunat. Lalu pertanyaannya kemudian, dapatkah seseorang yang tengah melakukan iktikaf melakukan pekerjaan lain, dan bahkan dilakukan di luar masjid?
Menurut jumhur ulama, dapat. Ketika Shafiyyah datang menjenguk Rasulullah SAW yang tengah melakukan iktikaf, ia bangkit untuk meninggalkannya. Lalu Rasulullah pun bangkit dan mengantarkan Shafiyyah pulang. Bahkan dalam beberapa riwayat, dijelaskan selama iktikaf seseorang dapat tetap terlibat dalam urusan rumah tangga. Ia dapat tetap terlibat dalam aktivitas sosial. Ia tidak bisa hanya menjadi dirinya sendiri. Bukankah agama selalu memelihara keseimbangan individu dan sosial?
Jadi setiap perilaku ibadah, termasuk iktikaf, tidak boleh kehilangan fungsi sosial yang berkaitan dengan dirinya dan juga orang lain. Ibadah ini, dan juga ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, selain memberikan pencerahan melalui proses taqarrub kepada Allah, juga harus mampu memberikan dampak produktif bagi kepentingan umum (kemaslahatan sosial). Dengan demikian, jika ajaran iktikaf masih mencerminkan praktik pengasingan diri secara pasif dengan mengambil posisi di masjid secara penuh selama sekitar sepuluh hari, menarik untuk dikaji ulang.
No comments:
Post a Comment