Mungkin sebagian umat Islam di Indonesia merasa tidak kompak karena perbedaan perayaan Idul Fitri. Sebagian yang lain mungkin berpikir mengapa umat Islam susah untuk dipersatukan sekalipun untuk hal yang baik seperti Idul Fitri.
Pemikiran seperti ini wajar, tetapi tidak bisa dibiarkan karena bagi mereka yang kurang memahaminya, perbedaan itu bisa dimaknai sebagai keanehan dalam beragama.
Dalam pandangan umat Islam, perbedaan atau berbeda adalah kosakata yang harus dihindarkan dalam urusan agama. Mungkin umat Islam Indonesia sudah terlalu lama dibayang-bayangi keharusan akan kesatuan dan kesamaan dalam segala hal sehingga ketika ada perbedaan dianggap sebagai sebuah degradasi keagamaan.
Cara pandang demikian tidak selalu benar, tetapi juga tidak selalu salah. Perbedaan dalam kehidupan keagamaan adalah hal biasa. Dalam kehidupan sehari-hari saja, kehidupan manusia tidak akan berjalan dengan normal apabila tidak ada perbedaan. Setiap perbedaan pasti memiliki alasan tersendiri, apalagi apabila perbedaan tersebut menyangkut urusan agama.
Para pendahulu kita mengajarkan perbedaan sebagai bagian dari bentuk kasih sayang Tuhan. Perbedaan juga bukan hal yang tabu di dalam agama. Imam Hanafi berkata, "Ketahuilah bahwa pendapat ini adalah pendapat terbaik yang kita upayakan, barang siapa yang berupaya lain, maka upaya lain itulah baginya, dan bagi kita apa yang kita pikir", (Al-Syihristani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, 2002, hal 167).
Tidak semua urusan agama harus disatukan dan disamakan. Terkadang perbedaan justru merupakan keharusan jika memang ada alasan yang kuat untuk berbeda. Terlalu obsesif menyamakan semua urusan agama akan menjatuhkan kita ke dalam jurang perpecahan.
Perbedaan perayaan hari raya yang sedang kita rayakan bersama-sama ini tidak ada kaitannya dengan kekompakan umat Islam. Kompak tidak harus sama, apalagi menyangkut keyakinan.
Peran negara
Salah satu penyebab perbedaan perayaan hari raya itu membesar di kalangan umat Islam adalah karena keikutsertaan negara. Dalam era reformasi, negara harus bersifat netral, tidak memihak salah satu kelompok umat Islam. Jika memungkinkan, negara cukup menetapkan dua hari libur, tidak menetapkan hari raya. Biarlah penetapan hari raya dilakukan berdasarkan konsensus umat Islam.
Rezim sekarang seharusnya belajar banyak dari rezim masa lalu yang lebih mengutamakan kesatuan simbolis daripada makna hakiki Lebaran. Semula perbedaan dalam hari raya adalah biasa, tetapi karena keinginan pemerintah untuk menyatukan hari raya terus diulang-ulang, umat Islam menjadi terbebani dan terpecah.
Peran pemerintah yang demikian ini justru menimbulkan skisma tersendiri di dalam umat Islam karena pemerintah menciptakan perasaan bersalah atas umat Islam lain yang merayakan Idul Fitri berbeda dengan pemerintah.
Karena itu, pemerintah harus mulai berpikir untuk berhenti dari ikut campur menentukan hari raya. Ini pertanda buruk bagi pluralisme keagamaan di Indonesia. Personalisasi hari raya oleh negara sebaiknya dihentikan karena akan mengarah kepada otoritarianisme baru pada umat Islam.
Tidak ada larangan apa pun bagi negara untuk memfasilitasi umat Islam mencari titik temu. Namun, negara tidak boleh memaksakan bahwa umat Islam harus bersatu mencapai titik temu itu.
Dalam konteks ini, negara sebaiknya memandang perbedaan Idul Fitri bukan dalam kacamata kepentingan politik citra, melainkan kepentingan keyakinan dan juga kekayaan akan perbedaan umat Islam itu sendiri.
Idul Fitri bukan milik negara, melainkan milik umat Islam yang menjadi warga negara. Cukup pemerintah menetapkan dua hari libur saja untuk memberi kesempatan bagi setiap umat Islam merayakan hari raya menurut ijtihad mereka masing-masing.
Pelajaran besar kemajemukan
Perbedaan Idul Fitri kali ini mengajarkan kemajemukan (pluralisme) yang luar biasa, tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga umat beragama lain di Indonesia. Selain sebagai kemenangan kita, Idul Fitri kali ini juga merupakan simbol perayaan perbedaan dan keragaman.
Umat Islam dan umat beragama lain sebaiknya tidak takut untuk berbeda selama tidak asal beda. Pengakuan dan penerimaan akan perbedaan justru berdampak positif bagi kehidupan keagamaan kita.
Pertama, dengan mengakui dan menerima perbedaan, kita tidak hanya mendapatkan kemenangan sejati, tetapi turut menciptakan keharmonisan.
Kedua, mengakui dan menerima perbedaan tidak hanya membawa kita kepada toleransi, tetapi juga pemahaman yang mendalam satu sama lain.
Ketiga, mengakui dan menerima perbedaan tidak berarti menghilangkan komitmen keyakinan kita sendiri dan menjadi seorang relatifis. Justru, mengakui dan menerima perbedaan adalah puncak perjumpaan dari pelbagai komitmen keyakinan yang ada. (Diana L Eck, New Religious America, hal 69).
Syed Hashim Ali menyatakan hampir dipastikan tidak ada satu sistem pemahaman akan realitas yang cukup dengan sendirinya menerangkan fenomena hidup yang sangat kaya (Syed Hashim Ali, Islam and Pluralism, 2005, hal 21).
Marilah kita jadikan hari raya kali ini sebagai cara kita menghargai perbedaan. Perbedaan untuk memupuk persaudaraan sesama umat Islam dan persaudaraan sesama umat manusia.
Syafiq Hasyim Deputi Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP)
No comments:
Post a Comment