Oleh : Imam Mujahid
Sekretaris Jurusan Dakwah STAIN Surakarta
Tatkala fajar menyingsing di awal bulan Syawal, saat itu pulalah bermunculan manusia-manusia baru, manusia yang kembali pada fitrah yang suci, kesucian menurut asal kejadian manusia. Menurut Quraish Shihab, ber-Idul Fitri dalam arti kembali kepada kesucian akan selalu menimbulkan perbuatan yang indah, benar, dan baik. Menurut dia, kesucian merupakan gabungan dari tiga unsur tersebut.
Lewat kesucian seseorang akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar, dan indah. Kesucian juga akan melahirkan seni; mencari yang baik menimbulkan etika; mencari yang benar menghasilkan ilmu. Dengan demikian seseorang akan senantiasa menutup mata terhadap kesalahan dan keburukan orang lain. Kalaupun terlihat, selalu dicari nilai-nilai positif dalam sifat-sifat negatif tersebut. Dan tatkala tidak diketemukan, maka ia akan memberikan maaf, bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan.
Kesucian yang disimbolkan oleh adanya maaf dari Allah, lalu kita sempurnakan dengan maaf kepada sesama manusia dengan kesadaran akan ketidaksempurnaan diri melalui perkataan yang biasa kita ucapkan 'mohon maaf lahir batin' yang sesungguhnya merupakan bentuk pelaksanaan hak manusia. Di sinilah tampak jelas keterkaitan antara ungkapan minal a’idina wal fa’izin yang berdimensi vertikal dengan ungkapan mohon maaf lahir batin yang berdimensi horizontal.
Urgensi maaf
Ajaran Islam sangat concern terhadap permasalahan maaf-memaafkan, di mana ia merupakan suatu dimensi sosial kehidupan yang menurut Alquran sangat sentral untuk ditegakkan. Karena dari sinilah kehidupan kemasyarakatan yang sehat dimulai. Jika suatu masyarakat telah tumbuh saling curiga, fitnah, dan semangat balas dendam, maka sebuah pertanda bahwa masyarakat tersebut sedang sakit. Alhamdulillah, kiranya penyakit ini semakin menjauh dari kehidupan masyarakat kita. Sehingga kedamaian yang kita dambakan insya Allah sebentar lagi terwujud.
Fenomena-fenomena ke arah pebaikan ini dapat kita tangkap dari kegiatan yang dilakukan masyarakat dengan menggelar berbagai acara silaturahmi, open house, dan halal bihalal. Bahkan acara ini sudah menjadi acara tradisi kenegaraan yag dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini.
Salah satu hikmah silaturahmi belakangan ini yang dapat kita petik adalah road show yang dilakukan oleh Wakil Presiden Republik Indoesia Yusuf Kalla dengan mengunjungi beberapa mantan pemimpin bangsa dan para seterunya pada masa lalu. Terlepas apakah ini bermuatan politik atau tidak, ini adalah sebuah kesadaran dari seorang pemimpin yang tengah berkuasa untuk melakukan silaturahmi dengan membuang sikap arogan dan egoistis.
Lebih jauh lagi kita perlu meneladani sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan akhlak Alquran. Setelah berhasil menaklukkan kota Makkah dalam peristiwa pembebasan kota Makkah dan memegang tampuk kekuasaan tertinggi, Rasulullah sama sekali tidak menyimpan dendam. Sebagai pemimipin yang didukung penuh oleh kekuatan rakyat, Rasulullah dapat berbuat apa saja kepada musuhnya. Namun, beliau justru memaafkan mereka yang telah menyakiti dan berbuat aniaya kepada dirinya, keluarganya, dan para pengikutnya. Dengan kekuatan maaf, beliau berhasil membangun rekonsiliasi, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk melupakan masa lalu dan membangun masa depan. Rasulullah berhasil.
Selanjutnya kekuatan maaf juga mampu membesarkan Afrika Selatan melalui tokohnya, Nelson Mandela. Setelah sukses menumbangkan rezim apartheid dan memegang tampuk kekuasaan dengan slogan healing the past, facing the future, Mandela berhasil membangun rekonsiliasi nasional. Mandela pun berhasil.
Belajar dari sejarah tersebut dengan format keindonesiaan, tentunya kita dapat melakukan hal yang sama dengan memulainya dari hal yang paling kecil sampai kepada hal yang lebih besar. Mulai dari hal yang bersifat individu sampai kepada hal yang bersifat kepentingan nasional. Mulai dari lingkungan terdekat sampai ke lingkungan terjauh sekalipun.
Oleh karenanya bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri ini, kita sebagai kaum Muslimin dengan kesadaran penuh saling maaf-memaafkan kepada sesama dalam rangka memulai hidup baru. Mungkin sikap seperti ini masih sangat berat untuk dilaksanakan, tetapi kalau kita mampu bersikap sebagaimana yang telah diteladankan Nabi Muhammad SAW, maka insya Allah rahmat Allah akan senantiasa lebih dekat dengan kita semua.
Bukankah Allah SWT senantiasa mengingatkan kepada kita semua bahwa sesuatu yang kita benci itu, boleh jadi menyimpan potensi yang kelak kita butuhkan, dan pada sesuatu yang kita senangi, siapa tahu kelak menyimpan potensi yang kita benci. Inilah hikmah kehidupan di balik sikap saling memaafkan, di mana pada dasarnya sikap ini akan melahirkan implikasi terhadap suasana batin yang menyenangkan bagi semua pihak dan lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya apabila kita melakukan kesalahan, maka segeralah meminta maaf dengan niat yang tulus.
Kini kesempatan itu ada di hadapan kita. Dengan semangat Idul Fitri kita dapat memulai hubungan baik atau memperbaharui hubungan yang kurang harmonis dengan sesama. Terlebih, menjalin hubungan baik atau memperbaiki hubungan yang rusak dengan sesama yang dilakukan umat Islam di Hari Raya Idul Fitri ini memang telah jauh-jauh hari dipersiapkan dan terbentuk melalui tahap pengkondisian, yakni usaha menyucikan diri yang intensif selama satu bulan penuh di Bulan Ramadhan.
Dengan demikian, pada Hari Raya Idul Fitri telah tercipta suasana batin yang kondusif antara berbagai pihak yang memungkinkan orang saling memaafkan. Karena pada dasarnya persoalan maaf-memaafkan bukanlah semata urusan perkataan, melainkan juga adanya suasana batin yang kondusif, sehingga mampu mendorong terciptanya kesadaran yang tulus untuk memberi dan menerima maaf. Akhirnya, Idul Fitri bukanlah satu-satunya waktu untuk saling memaafkan. Menyatakan maaf sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, ketika kita merasa melakukan kesalahan.
No comments:
Post a Comment