Oleh :Laode Ida
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI
Baru-baru ini keinginan untuk kembali menawarkan Pancasila seabagai satu-satunya asas yang harus dianut
oleh paratia-partai politik (parpol) kembali mencuat. Setidaknya hal itu muncul ketika pemerintah, melalui RUU tentang revisi UU Parpol yang sekarang ini sedang dibahas di DPR, mengusulkan agar asas parpol tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45, atau perlunya menjadikan Pancasila satu-satunya asas parpol. Maka secara spontan pula sebagian parpol tegas menghindarinya bahkan menolaknya.
Kita bisa maklum karena selain sebagian di antara parpol itu ada yang secara tegas menyatakan berasaskan Islam dan atau ada juga yang menggunakan terminologi lain, juga didasarkan pada pemikiran yang tidak mau mempersamakan antara ideologi atau dasar negara dan asas parpol. Itu semua dianggap sebagai bagian dari ekspresi berdemokrasi di era reformasi ini, dengan dasar argumen yang masing-masing memiliki fondasi filosofis yang juga kuat.
Tak perlu eksplisit
Pertanyaannya, salahkah kalau tak (mau) mencantumkan asas Pancasila? Atau, apakah mereka yang tak mencantumkan asas Pancasila itu lantas dikatakan ‘tak Pancasilais’? Harap jangan terlalu tergesa-gesa memvonisnya. Soalnya, setiap parpol atau bahkan setiap kelompok masyarakat memiliki agenda sendiri-sendiri, di mana asas merupakan pernyataan abstrak dari spesifikasi perjuangan masing-masing. Tepatnya, asas merupakan faktor pembeda utama dari suatu parpol atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, dan sekaligus memastikan eksistensi atau jati dirinya.
Kendati demikian mereka itu bukan berarti menyimpang dari Pancasila sebagai dasar negera kita. Mengapa?
Pertama, seluruh masyarakat bangsa ini telah memposisikan Pancasila sebagai fondasi abstrak yang mendasari dan melingkupi seluruh kehidupakan kenegaraan kita. Ia merupakan nilai luhur yang bersifat umum, diyakini sebagai ideologi negara yang membedakannya dengan ideologi-ideologi negara di luar Indonesia. Dan, karena merupakan suatu nilai abstrak yang diyakini oleh masyarakat bangsa ini, maka posisinya lebih tepat disebut sebagai 'agama sosial' atau 'civic religion'.
Parpol dan atau kelompok-kelompok masyarakat yang ada seperti ormas dan sejenisnya, meski tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas, mereka sebenarnya sudah mereka merupakan bagian dari penganut civic religion itu. Sebab, mereka-mereka itu merupakan warga bangsa yang tinggal dalam wilayah NKRI, yang harus tunduk pada seluruh aturan negara yang berideologikan Pancasila.
Kedua, dengan mencantukan agenda perjuangan speifik yang dinyatakan secara abstrak sebagai asas, masing-masing parpol dan atau kelompok masyarakat bisa secara terarah mengamalkan atau mempraktikkan nilai-nilai Pancasila. Pencantuman agama tertentu sebagai asas parpol, misalnya, harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan untuk membumikan sila pertama dari Pacasila (Ketuhanan Yang Maha Esa). Atau, mereka mempraktikkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila lainnya berdasarkan ajaran agama masing-masing. Semua ini, tentu saja harus terlebih dahulu dipahami bahwa setiap orang atau kelompok yang ingin menjalankan ajaran agamanya masing-masing merupakan bagian elementer-substansial dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Memang, kalau setiap parpol atau kelompok masyarakat mencantumkan Pancasila sebagai asasnya tidak ada masalah. Tetapi tak perlu heran kalau agenda perjuangan mereka juga bersifat umum, di mana boleh jadi tak akan menjadi perangsang untuk memperoleh pendukung lebih banyak. Sebab, ternyata agenda yang diperjuangkannya lebih bersifat umum, sementara kepentingan masyarakat dari waktu ke waktu terus berubah, di mana sejatinyalah parpol atau kelompok masyarakat menjawabnya juga sesuai dengan kebutuhan. Tepatnya, barangkali, asas parpol dan atau kelompok-kelompok masyarakat juga bisa berubah setiap saat dengan ketentuan harus dipastikan tetap dalam bingkai nilai-nilai Pancasila.
Persoalan bangsa sekarang ini sebenarnya bukan lagi pada pedebatan soal formalitas asas Pancasila atau bukan, melainkan lebih pada praktik kehidupan yang sudah menyimpang dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada era orde baru di mana Pancasila dijadikan sebagai doktrin, justru berbagai penyimpangan terhadap nilai-nilai substansial dari Pancasila terjadi di mana-mana. Apalagi kemudian nilai-nilai doktrinal ideologis itu ditafsirkan berdasarkan kepentingan pihak yang berkuasa, sehingga kebenarannya bukan saja menjadi sangat relatif melainkan sekaligus merupakan bagian dari kesalahan fundamental. Bukankah sumber dan sekaligus yang memahami nilai-nilai keindonesian yang abstraksinya terkonstruksi dalam Pancasila itu terus hidup dalam masyarakat dengan tafsir subjektif-objektifnya masing-masing?
Nilai-nilai Pancasila merupakan produk sosial kolektif atau nilai-nilai luhur yang diwariskan dan terkonstruksi dalam masyarakat di mana negara hanya membingkainya, sehingga tafsirnya pun tidak boleh menjadi monopoli suatu kelompok atau kekuasaan tertentu. Yang terpenting dalam konteks ini adalah bahwa karena nilainya sangat luhur dan idealistik, maka ia menjadi filter penyaring dari segala kehendak, kecenderungan praktik, dan nilai yang buruk. Di sini, negara berperan sebagai pemelihara nilai-nilai itu, dan sekaligus membentengi masyarakat agar tidak terasuki oleh nilai-nilai yang merusak tatanan idealistik-luhur yang ada itu.
Di era reformasi sekarang ini, memang sangat terasakan praktik dan atau perilaku masyarakat terutarama para penyelenggara negara menjadi bablas. Korupsi, kolusi, konspirasi, suap-menyuap, dan perilaku sejenisnya marak terjadi. Kebijakan otonomi daerah ternyata tidak merupakan tahapan untuk perbaikan pemerintahan sebagai implementasi dari nilai-nilai Pancasila, melainkan sebagai wujud dari desentralisasi dan pembiaran terhadap praktik pemerintahan yang buruk. Dan, sudah pasti semua itu merupakan wujud penyimpangan nilai-nilai substansial dari Pancasila.
Parpol menjadi wahana resmi memprotek segala penyimpangan nilai-nilai Pancasilais itu. Tak ada yang secara signifikan berdaya melawan kesewenangan para penyelenggara parpol, padahal sebagian di antara mereka mencantumkan Pancasila, atau lebih dahyatnya lagi, mencantumkan label suatu agama sebagai asasnya.
Semua ini, jelas-jelas merupakan wujud dari penyimpangan terhadap Pancasila yang terus saja ditoleransi. Pertanyaannya kemudian, masih pantaskah kita menyatakan bahwa para pengurus parpol kita yang terjebak pada praktik pragmatis yang merusak keluhuran itu disebut Pancasilais? Disadari memang, bahwa memudarnya nilai-nilai 'civic religion' ini berjalan bersamaan dengan lepasnya monopoli, kendali, dan hegemoni negara. Kekuasaan yang lahir di atas legitimasi rakyat yang kuat pun ternyata tak mampu menjadi pengendali untuk tegaknya kembali nilai-nilai ’agama sosial’. Sementara kekuasaan parpol yang begitu dominan dengan membangun suatu jaringan mengarahkan pada kecenderungan ’semua bisa halal kalau para elite parpol yang berkonspirasi itu sudah tak mempersoalkannya’.
Langkah mendesak
Kondisi seperti ini memang sangat memprihatinkan. Seharusnya pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat tak bisa tinggal diam dan perlu melakukan sesuatu yang siginifikan. Ini tentu saja kalau pemerintahan yang memiliki legitimasi sosial langsung dari rakyat itu memiliki kesadaran untuk berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik.
Caranya? Pertama, pemerintah harus mulai dengan melakukan kontrol internal, semacam pengawasan melekat. Karena terus terang saja, kerusakan negara sekarang ini sangat parah dan sistematis. Para penguasa di daerah otonom itu umumnya memanfaatkan kekuasaannya dengan memapankan jaringan pendukung di parpol-parpol afiliasinya untuk selalu mengamankan atau melindungi kejahatan aparatnya di daerah otonom.
Kedua, melakukan pembenahan terhadap parpol-parpol dimulai dengan membereskan hal yang secara langsung bisa dikendalikan oleh pihak pemerintahan pilihan rakyat. Para parpol yang berkuasa haruslah memberikan contoh untuk secara langsung dijadikan acuan oleh parpol-parpol yang berada di luar kendalinya. Sebab tanpa upaya ini, pelanggaran substansial dari nilai-nilai Pancasila terus terjadi. Persoalannya, apakah para pemimpin parpol yang masuk dalam jaringan kekuasaan sekarang ini mau berbuat untuk itu? Rasanya sulit untuk dijawab 'ya', karena istilah ’mumpung’ masih benar-benar dipraktikkan oleh mereka.
Ikhtisar
- Pancasila sudah menjadi nilai-nilai dasar yang tidak perlu harus secara eksplisit dinyatakan sebagai asas bagi parpol atau kelompok masyarakat yang lain.
- Lagipula, penyebutan secara eksplisit Pancasila sebagai asas itu tidak menjamin terhindarnya pelanggaran substansial terhadap nilai-nilai dasar tersebut.
- Karena itu, wacana untuk mendorong agar Pancasila menjadi asas tunggal bagi parpol menjadi tidak relevan.
No comments:
Post a Comment