H Fuad Nashori
Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, Ketua Umum PP Asosiasi Psikologi Islami
Ragam dan kedalaman pengalaman buruk antara manusia satu dan yang lain berbeda-beda. Pada sebagian orang, terdapat pengalaman yang sedemikian buruk sehingga sangat membekas dalam hati. Pengalaman dilecehkan secara seksual waktu kecil, orangtua bercerai, siksaan fisik dari orang yang lebih dewasa, dan berbagai pengalaman memalukan di waktu remaja dan dewasa, adalah beberapa contoh pengalaman yang orang merasa harus menyimpannya rapat-rapat. Sebanyak 22 persen perempuan dan 10 persen laki-laki dari responden yang diteliti Psychology Today (berjumlah 24 ribu orang), pernah mengalami trauma seksual sebelum mereka berusia 17 tahun.
Bahaya sakit hati
Kalau dalam diri seseorang terdapat pengekangan diri atau penyumbatan atas rasa sakit hati, maka ia akan menghadapi risiko berupa terganggunya kesehatan jangka panjang dan rendahnya performa diri dalam berbagai aspek kehidupan. Diungkapkan oleh James W Pennebaker dalam buku Ketika Diam Bukan Emas, orang-orang yang masalah kesehatannya paling parah telah mengalami paling sedikit satu trauma masa kecil yang tidak pernah mereka kisahkan kepada siapapun.
Dari 200 responden yang pernah diwawancarai oleh Pennebaker, 65 orang memiliki trauma masa kecil yang mereka rahasiakan. Mereka mendapatkan diagnosis hampir semua masalah kesehatan besar dan kecil: kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala bahkan sakit telinga. Dari penjelasan tersebut dapat diungkapkan bahwa apabila ada sesuatu yang tidak menyenangkan masuk ke sistem diri kita, maka langkah yang semestinya kita tempuh adalah melakukan pengungkapan diri. Bila hal ini tidak dilakukan, maka risiko yang bakal kita hadapi adalah masalah kesehatan jangka panjang dan rendahnya performa diri kita. Dengan demikian, manusia memerlukan sarana untuk selalu bisa melakukan pengungkapan diri.
Secara sosial, pengungkapan diri kadang tidak mudah. Pengalaman-pengalaman yang memalukan sangat tidak nyaman untuk diceritakan. Pennebaker menggambarkan bahwa orang-orang yang kehilangan keluarganya tidak menderita stres terlalu lama karena menceritakan kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai biasanya dianggap sebagai hal yang tidak memalukan. Orang merasa bebas saja ketika ingin mengungkapkannya kepada orang lain. Tetapi menceritakan bahwa "saya pernah diperkosa teman bapak" atau "saya pernah disodomi oleh tetangga saya" kepada orang lain adalah hal yang sangat memalukan. Oleh karena itu, diperlukan upaya lain yang memungkinkan seseorang mengungkapkan berbagai macam pengalamannya dalam bentuk ungkapan lisan maupun tertulis.
Bila seseorang merasa orang lain sangat mendominasinya, maka ia sering tidak berani mengungkapkannya. Bila kita tidak suka dengan teman kita, maka kita tidak bisa begitu saja mengungkapkannya. Ada beberapa risiko yang kita hadapi. Pertama, kita dipandang tidak memiliki kesabaran. Kedua, orang akan membenci kita karena kita dianggap sengaja menyerang salah satu bagian dari dirinya atau bahkan menyerang diri orang tersebut secara keseluruhan. Dalam situasi semacam ini, orang lebih senang untuk melakukan pengekangan.
Budaya Jawa misalkan mengajarkan untuk melakukan pengekangan. Istilah ngono yo ngono neng ojo ngono (secara harfiah: begitu ya begitu namun jangan begitu) menunjukkan agar kita tidak mengungkapkan pikiran-perasaan kita apa adanya kepada orang lain, tetapi harus dikemas dengan bahasa yang pas. Kalaupun dilakukan pengungkapan diri, biasanya melalui aktivitas rerasan atau ghibah. Namun, aktivitas rerasan ini pun secara moral-agama dianggap sebagai 'tega memakan bangkai saudara sendiri'. Oleh karena itu, kalau mau menjadi seorang yang menerapkan norma agama, maka orang akan memilih untuk tidak melakukan perilaku membicarakan hal-hal pribadi (biasanya yang negatif) atas diri orang lain dan memerlukan forgiveness (pemaafan).
Memaafkan dan kebahagiaan
Pemaafan atau memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati. Boleh jadi ingatan akan kejadian yang memilukan hati di masa lalu masih ada, akan tetapi persepsi bahwa kejadian itu sesuatu yang menyakitkan hati telah terhapuskan. Keterbukaan diri untuk memberi maaf kepada orang lain yang menyakiti hati kita adalah tanda utama yang dapat segera ditangkap orang lain. Memberi maaf adalah salah satu perintah agama.
Nabi Muhammad adalah contoh pribadi pemaaf. Setiap kali menerima stimulasi yang tidak menyenangkan, Nabi Muhammad selalu memiliki kesiapan untuk memberikan maaf atau pengampunan terhadap seseorang yang menyakitinya. Salah satu peristiwa yang menggambarkan pemaafan Nabi Muhammad adalah saat beliau mencoba berdakwah terhadap masyarakat Thaif. Orang-orang Thaif ternyata tidak menerima dakwah yang disampaikan Nabi. Mereka mengusir dan melempari Nabi. Melihat keadaan yang tidak manusiawi tersebut, ada malaikat yang menawarkan diri untuk membalas perlakuan yang diterima Nabi. Tetapi Nabi Muhammad ternyata sangat pemaaf dan menolak tawaran itu.
Ketika seseorang telah memiliki kepribadian pemaaf seperti Nabi Muhammad, maka tidak ada bekas luka yang terpelihara dalam hatinya. Bahkan hidup orang-orang yang suka memberi maaf juga lebih bahagia. Frederic Luskin, pelopor Stanford Forgiveness Project, mengungkapkan ada tiga hal yang menjadikan kehidupan orang yang suka memberi maaf menjadi lebih sehat. Menurut dia, orang yang memberi maaf tidak mudah tersinggung saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain. Selain itu, mereka tidak mudah menyalahkan orang lain ketika hubungannya dengan orang tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hal seperti itu dapat dicapai karena mereka memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain yang telah menyakiti mereka.
Pemberian maaf yang ada dalam diri seseorang terjadi melalui serangkaian proses. Robert Enright dan Gayle Reed mengungkapkan adanya empat fase untuk pemberian maaf. Pertama, fase pengungkapan, yaitu ketika seseorang merasa sakit hati dan dendam. Kedua, fase keputusan, yaitu orang tersebut mulai berpikir rasional dan memikirkan kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini orang belum dapat memberikan maaf sepenuhnya.
Ketiga, fase tindakan, yaitu adanya tingkat pemikiran baru untuk secara aktif memberikan maaf kepada orang yang telah melukai hati. Kempat, fase pendalaman, yaitu internalisasi kebermaknaan dari proses memaafkan. Di sini orang memahami bahwa dengan memaafkan, ia akan memberi manfaat bagi dirinya sendiri, lingkungan, juga semua orang. Menurut saya, ada dua fase lagi agar pemaafan dapat berlangsung secara optimal, yaitu fase memberi sesuatu yang berharga bagi orang lain, seperti memohonkan ampunan dan doa keselamatan bagi orang yang pernah menyakiti kita. Tahap lainnya adalah bekerja sama kembali dengan yang bersangkutan.
Ikhtisar
- Penelitian ilmiah mengungkapkan bahwa pengekangan rasa sakit hati mengganggu kesehatan pelakunya.
- Karena itu, langkah pengungkapan diri merupakan hal penting, meski tidak selalu mudah untuk dijalankan.
- Kebiasaan untuk memaafkan merupakan salah satu cara terbaik untuk menghilangkan pengekangan atas rasa sakit hati.
- Sifat memaafkan bukan hanya bermanfaat bagi diri pelakunya tapi juga bagi orang lain dan lingkungannya.
No comments:
Post a Comment