- Oleh Adi Ekopriyono
SEMUA yang pergi pasti akan pulang. Sejauh bangau terbang akan kembali pula ke sarangnya. Masa kini dan masa depan sekadar muara dari masa lalu. Maka, masa lalu itu penting meskipun tidak harus menjerat langkah.
Jalinan masa lalu, masa kini, dan masa depan itu perlu agar hidup lebih bermakna. Silaturahmi tidak hanya terjadi dalam relasi antara manusia yang satu dan manusia yang lain, melainkan juga antara waktu yang satu dan waktu yang lain dalam bingkai kehidupan manusia. Kata WS Rendra, "kemarin dan esok adalah hari ini."
Bagi orang Jawa, pulang penuh makna, karena landasan filosofinya inward looking, bukan outward looking seperti filosofi Barat. Inward looking itu selalu menarik ke dalam diri sendiri segala realitas yang dihadapi. Implikasinya, menekan perasaan, rendah hati, low profile. Sebaliknya, outward looking melihat keluar ketika menghadapi suatu realitas. Implikasinya, pengungkapan perasaan dan pikiran apa adanya (assertive), high profile.
***
PULANG atau mulih dalam Bahasa Jawa, mencerminkan sikap rendah hati, bahwa sesukses apa pun, sehebat apa pun, manusia harus selalu ingat pada asal usulnya. Pesannya, manusia jangan lupa diri, harus ingat pada akar kehidupannya. Hal ini antara lain terasa dalam ungkapan khas Jawa, ndhisik apa saiki apa, ndhisik sapa saiki sapa. Dulu jadi apa sekarang jadi apa, dulu menjadi siapa sekarang menjadi siapa.
Lebih dalam lagi, ingat pada sangkan paraning dumadi, yang dalam khasanah budaya Jawa sering disebut sebagai salah satu inti ajaran. Dua inti yang lain adalah manunggaling kawula lan gusti dan sarana untuk mencapai keduanya.
Masyarakat Jawa, yang belum kehilangan jawanya (durung kelangan jawane), melihat bahwa dirinya adalah bagian dari tiga dimensi waktu; masa lalu, sekarang, dan masa depan, yang tidak dapat terpisahkan. Mulih adalah bagian dari ritual untuk menjamah masa lalu, agar tidak kepaten obor dan ngumpulke balung pisah. Agar tidak kehilangan tali silaturahmi dengan sanak saudara dan mengumpulkan saudara-saudara yang sudah jauh terpisah-pisah; agar tidak tercerabut dari akarnya.
Mulih lebih bermakna dari sekadar pulang. Mulih ada kaitan dengan pulih. Dalam Kamus Basa Jawa (Balai Bahasa Yogyakarta, 2006:639) disebutkan: mulihake = mbalekake kaya kaanane sing sakawit. Artinya, memulihkan menjadi seperti keadaan semula. Jadi, mulih itu proses menuju pulih.
Dalam konteks itulah saya melihat tradisi pulang kampung atau mudik, yang pada minggu-minggu ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Tidak pulang bisa diartikan sebagai "pengkhianatan" terhadap masa lalu, bahkan pemutusan tali silaturahmi pada sanak - saudara.
Itulah sebabnya, sekurang apa pun hidup jauh dari kampung halaman, mereka sekuat tenaga berusaha untuk pulang. Uang bukan segalanya, karena rugi uang atau materi tidak menjadi soal asal bisa menjalin relasi dengan banyak teman, atau tetap memelihara hubungan baik dengan sanak saudara (tuna sathak, bathi sanak).
***
MUDIK itu indah. Maka, berbondong-bondonglah jutaan orang untuk pulang kampung; mulih. Mudik itu kearifan lokal yang tidak harus diratapi sebagai pemborosan, buang-buang waktu, atau konotasi negatif yang lain. Kearifan lokal semacam ini justru perlu dikembangkan untuk mengimbangi arus global yang terlalu kapitalistik dan materialistik. Hidup itu keseimbangan antara yang materialistik dan nonmaterialistik, antara yang fisik dan nonfisik, antara yang tangible dan intangible; yang kasat mata dan tidak kasat mata. Tanpa keseimbangan itu, maka hidup bukanlah hidup.
Mulih mengajari siapa saja untuk mencapai keseimbangan, dengan jalan mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai manusia; memanusiakan kembali manusia. Manusia - yang dalam Jangka Joyoboyo sudah diprediksi ulahnya akan seperti gabah diinteri ñ perlu dikembalikan ke kondisi semula sebelum terkontaminasi oleh segala macam bujukan duniawi.
"Reorientasi dari kehidupan duniawi ke ukhrowi," kata tokoh agama. "Kembali ke fitrah," kata Pak Kiai. Mulih, pulih; yang jahat tidak lagi menjadi jahat, yang dengki tidak lagi menjadi pendengki, yang suka iri hati menjadi baik hati, dan seterusnya. Mulih itu penuh dengan introspeksi, mawas diri, bahwa manusia itu lemah, ringkih, sekeng. Karena lemah, maka perlu pemulihan.
Itulah jatuh bangun seseorang dalam proses menjadi (sungguh-sungguh manusia). Perspektif Jawa sangat concern pada proses (management by process), bukan hanya mengejar hasil (management by objective), karena hasil itu akan sangat ditentukan oleh proses. Maka, orang Jawa selalu mengacu pada laku, bukan sekadar tindakan. Laku itu mempunyai dua dimensi sekaligus, fisik dan nonfisik. Itulah sebabnya, jangan melihat mudik hanya dari kacamata fisik, karena di dalamnya ada ritual yang berdimensi nonfisik. Ada pencerahan di balik ritual itu.(11)
-- Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka di Semarang.
No comments:
Post a Comment