Saturday, March 22, 2008

Al-Qur’an Lebih Toleran Ketimbang Umatnya

Jakarta, wahidinstitute.org
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan, jika mengacu pada UUD 1945, negara berkewajiban melindungi seluruh warganya tanpa kecuali, baik yang beragama maupun yang tidak beragama alias ateis.

“Kita terikat UUD 1945. Kita harus bisa duduk bersama untuk mengurus bangsa ini.”


Demikian dinyatakan pendiri Maarif Institute itu ketika didaulat menjadi keynote speaker pada roundtable discussion bertajuk Kebebasan Beragama dalam Konstitusi, yang diselenggarakan the WAHID Institute bersama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di Gedung PBNU Lt. 5 Jl Kramat Raya Jakarta, Kamis (28/2/2008) siang.

Hadir juga sebagai narasumber Watimpres Adnan Butung Nasution, Ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi, rohaniawan Katolik Frans Magnis Suseno dan advokat Frans Hendra Winata. Aktivis dari berbagai agama dan kepercayaan hadir pada diskusi yang dipandu aktivis perempuan Debra Yatim ini. AKKBB sendiri terdiri dari the WAHID Institute, ICRP, LBH Jakarta, KWI, Maarif Institute dan CC-GKI.

Dikatakan Syafii, kendati UUD 1945 menjamin perlindungan itu, namun KUHP pasal 156a justru melarang warga negara untuk tidak beragama. Semua harus menganut agama yang diakui. Padahal menurutnya, orang yang tidak beragama juga berhak hidup di muka bumi ini.

“Mereka nggak mau bertuhan, kita mau apa?” tanyanya. “Yang penting jangan mengganggu dan bikin onar,” imbuhnya.

Syafii lantas menyatakan, beragama atau tidak dan beriman atau tidak, itu pilihan masing-masing orang. Kalau sudah memilih, ujarnya, apapun resikonya ditanggung sendiri-sendiri. Karena itu, tidak boleh ada pemaksaan pada siapapun untuk menganut suatu agama. Apalagi sampai membunuh orang yang keluar dari agama itu.

“Apa hak duniawi kita untuk membunuh orang yang pindah agama? Perkara Tuhan marah, itu urusan Tuhan dengan mereka. Tapi jangan ada pengadilan dunia dengan membunuh mereka,” terang Syafii.

“Jadi, fikih klasik itu harus dikoreksi,” pintanya menambahkan.

Menurut Syafii, al-Qur’an sendiri jelas-jelas mengajarkan toleransi pada siapapun. Ini, misalnya, tercermin dari ayat la ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam beragama). Namun, ia menyayangkan, umat Islam seringkali justru menafikan toleransi itu. “Ini pemahaman saya dari al-Qur’an. Jangan seenaknya, beda sedikit lalu digempur,” tegasnya.

Indonesia, oleh Syafii, diibaratkan lautan dengan ombak besar. Karenanya, dibutuhkan kapten yang berani menantang ombak guna menyelamatkan bangsa yang tengah retak ini. “Tapi, sekarang ini mencarinya susah,” tandasnya.

Advokat senior Adnan Buyung Nasution setuju dengan Syafii Maarif. Negara harus obyektif dan adil melindungi seluruh warganya, baik yang beragama maupun tidak. “Negara ini berdiri di atas kemajemukan dan itu sudah ada lebih dulu dari pada negara ini,” ujarnya.

Karena itu, dirinya merasa heran dan rancu pada UU No.1/PNPS/1965 yang menetapkan adanya agama yang diakui dan tidak diakui. Namun diakuinya, penganut Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu, gembira dengan ketentuan ini, karena mereka mendapatkan pengakuan.

“Padahal itu kan diskrimantif pada yang tidak disebut. Kenapa tidak ada perasaan ini unfair dari pihak agama itu sendiri?” tanyanya heran. “Ini kritik saya pada penganut agama-agama itu,” imbuhnya.

Dikatakan Buyung, jika umat beragama meyakini Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan manusia berbeda-beda agama, etnik, daerah, dan seterusnya, maka seharusnya tidak ada hak bagi siapapun untuk menghakimi pihak lain yang berbeda. “Hanya Tuhan-lah yang punya hak prerogatif untuk menilai dan menghakimi satu agama sesat atau tidak,” jelasnya.

Makanya, Buyung keberatan jika ada kelompok agama tertentu mengadili agama lain. Apalagi fatwanya dipakai oleh negara dan menjadi acuan bagi aparat, sehingga aparat berpihak pada kelompok agama tertentu sesuai fatwa itu. “Itu keterlaluan buat saya,” katanya berang.

Sedang Masdar F Masudi menyatakan, dari sudut UUD 1945, ketentuan kebebasan beragama absolutly klir. Hanya saja, katanya, ada problem pada aturan-aturan di bawahnya, sehingga bertentangan dengan UUD. “Ini harus diselesaikan melalui judicial review,” katanya.

Dari sudut ajaran agama, jika yang melakukan kekerasan atas nama agama adalah umat Islam, kata Masdar, al-Qur’an sesungguhnya justru sangat toleran. Bahkan, katanya, toleransi di sana lebih dari yang dibayangkan. Jika di Indonesia tidak ada kebebasan untuk tidak beragama, maka al-Qur’an menjamin itu. Misalnya, disebutkan faman sya’a falyukmin wa man sya’a falyakfur (yang mau beriman berimanlah dan yang mau kufur kufurlah).

“Kalkulasinya nanti di akhirat sana, bukan di dunia ini,” terangnya.

Tuhan sendiri, ujarnya, tidak pernah mengambil tindakan hukum apapun di dunia ini bagi hamba-Nya yang tidak beriman atau imannya keliru. Tuhan ingin memberi ruang yang luas baginya untuk bertaubat. Kalaupun tidak bertaubat, imbuhnya, nanti kalkulasinya di akhirat.

“Kalau Tuhan saja tidak mengambil tindakan terhadap orang yang keyakinannya salah, apalagi manusia? Mestinya lebih tidak berhak lagi,” tegas Masdar.

Apa yang melatarbelakangi tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan sekelompok umat Islam? Masdar menengarai, itu bukan lantaran hukum atau ayat dalam kitab suci. “Jangan-jangan ini soal psikologi sosial umat Islam, yang merasa termarjinalkan di percaturan global ini, sehingga mereka gampang curiga pada orang lain hanya karena beda kosa kata atau simbol,” ungkapnya.[nhm]

 

No comments: