Saturday, March 22, 2008

Nasr Abu Zayd: Half-Indonesian, Half-Egyptian

Oleh Sunarwoto*

’Indonesia is the biggest Muslim population country in the entire Muslim world. My first visit in the year 2004 was a great success. During this visit I coined the expression “Smiling Islam”, to position the Indonesian Islam next to the Middle Eastern or the Arab World Islam. I would like to present my second visit last month and make a comparison with the first one. The aim is to explain and understand the situation in this country as an example of a possible change that has occurred in the world of Islam in a very complicated global context. The possibilities as well as the difficulties of developing a multicultural, pluralistic, democratic and open version of Islam, supporting human rights, will be the focus of my presentation’.

(Nasr Abu Zayd)

November 2007 lalu, Nasr Abu Zayd, pemikir Muslim Mesir, mengunjungi Indonesia untuk yang kedua kalinya. Kunjungan itu adalah dalam rangka menghadiri konferensi bertajuk Muslim Intellectual as Agents of Change yang diselenggarakan di Malang atas kerjasama Departemen Agama RI dan Universitas Leiden, Belanda. Aksiden pun terjadi. MUI Riau menolak kehadirannya di Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII, Rabu malam 21 November di hotel Syahid Pekan Baru. Abu Zayd juga dilarang menjadi pembicara pada konferensi di Malang tersebut (27/11/2007), karena Departemen Agama mendapat tekanan dari pihak yang menamakan diri masyarakat dan organisasi Islam.


Untuk merefleksikan peristiwa itu, Jumat Malam 11 Januari, Abu Zayd berbicara dalam sebuah diskusi private yang diadakan oleh Centre of Initiatives of Change, sebuah NGO yang bermarkas di Amaliastraat 10, Den Haag, Belanda. Dalam diskusi bertajuk “ The possibilities as well as the difficulties of developing a multicultural, pluralistic, democratic and open version of Islam, supporting human rights ” ini, dia berbincang secara khusus soal pencekalannya di Indonesia November lalu. Dalam orasi tanpa makalah berjudul REVISITING INDONESIA itu (hanya dengan bantuan powerpoint), Abu Zayd mengungkapkan kesannya selama beberapa kali kunjungannya ke Indonesia, sejak 2004-2007. Banyak peristiwa mengesankan yang dia paparkan, mulai dari kunjungannya di Pesantren Sukorejo Situbondo pimpinan KH Fawaid, bincang-bincangnya dengan Gus Dur (baik di WI maupun di RSCM, memberi kuliah di LKIS, Wahid Institute, UIN Jakarta, ICIP, hingga kegagalannya hadir di Malang November lalu.


Kunjungan Pertama
Seperti terbaca dari petikan di atas, kunjungan pertama Abu Zayd ke Indonesia membuahkan kesan “Smiling Islam” , Islam yang ramah, toleran dan terbuka. Hal ini bisa dilihat, di antaranya, pada kunjungannya ke Pesantren Salafiyah Safi‘iyah Sukorejo Jawa Timur. Di pesantren asuhan KH Fawaid ini, Mafhûm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya Abu Zayd masuk ke dalam kurikulum Ma‘had ‘Âlî. Buku ini mencoba mendekonstruksi studi-studi al-Qur’an konvensional dalam perspektif kritik linguistik (manhaj lughawî) dan sastra (manhaj adabî). Di antara hasilnya adalah konsep teks (mafhûm al-nass) al-Quran yang kemudian memicu kontroversi. Dikatakan di dalamnya bahwa al-Quran adalah produk budaya ( muntaj thaqâ fî), yakni sebagai wahyu yang diturunkan dalam bahasa manusia, bahasa Arab. Namun al-Quran, bagi Abu Zayd, sekaligus adalah produsen budaya ( muntij thaqâ fî). Artinya, meski diturunkan dalam bahasa manusia, tapi al-Quran mengandung pesan ilahi (wahyu) yang mampu mengubah peradaban dunia. Sebenarnya istilah produk dan produsen itu hanyalah digunakan menjelaskan bagaimana proses wahyu al-Quran yang kita baca, yakni mushaf, itu kita terima. Ada proses keterbentukan ( takawwun) wahyu menjadi bahasa manusia (yakni bahasa Arab [ lisâ nan ‘arabîyan]) yang bisa dipahami dan untuk dipahami. Namun, bagi Abu Zayd, al-Quran juga bersumber dari Allah yang memiliki kekuatan dahsyat, yakni mengubah dunia. Itulah proses takwî n (pembentukan budaya) atau muntij thaqâ fî (produsen budaya).


Di pesantren itu Abu Zayd juga melihat kontras antara tradisionalisme pesantren dan sikap liberalnya. Di satu sisi mereka, para santri, masih mengikuti tradisi cium tangan, membawakan buku sang kyai (termasuk terhadap Abu Zayd juga), demi barakah. Di sisi lain, mereka bersikap kritis para santri. Hal seperti ini dia baca dari sebuah foto demonstrasi siswa di pesantren tersebut. Abu Zayd kagum atas gagasan bahwa poligami bukan ajaran Islam yang dikemukakan KH Fawaid dan para ustad di pesantren itu.

Kunjungan Kedua
Saya yang kebetulan berangkat bareng Abu Zayd sempat berbincang soal kesannya tentang Islam di Indonesia yang dari awal dia sebut Smiling Islam. Dengan bangga, dia tetap mengatakan sebutan itu masih layak buat Islam di Indonesia. Ini pula ditegaskan dalam diskusi tersebut. Dia tidak menegasikan bahwa pengusirannya November lalu merupakan sisi kelam Islam Indonesia. Peristiwa itu membuktikan betapa kuat posisi agama mengintervensi negara. Dalam konfrensi yang digelar di Wahid Institute, Abu Zayd mengungkap kekhawatirannya

Namun toh, dibanding Timur Tengah, menurut Abu Zayd, Islam Indonesia jauh lebih baik kondisinya. Dia terkesan dengan dukungan yang segera (immediate support) yang diberikan berbagai kalangan terhadap dirinya. Di Timur Tengah, pemikir semisal dirinya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hit back terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Baginya, atmosfer dialog di Indonesia lebih sehat. Dukungan mengalir dari berbagai kalangan termasuk Wahid Institute dan kalangan muda yang kritis. Dia kagum akan Gus Dur yang berani melawan konservatisme ulama demi demokrasi dan kebebasan beragama. Sebagaimana kita tahu, batal hadir di konferensi Malang, Abu Zayd diundang diskusi oleh LKiS Yogyakarta. Acara yang tidak direncanakan sebelumnya itu menarik antusiasme besar para hadirin. Mereka kaum muda yang kritis, tegasnya.

Menanggapi kritikan-kritikan sebagian Muslim Indonesia selama ini, dia mengatakan adanya often-repeated questions, yakni menyangkut tuduhan dirinya sebagai agen orientalis atau Zionis, pemikir liberal, dan bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah. Bagi Abu Zayd, Islam bukan hanya urusan umat Islam tetapi juga urusan Barat karena umat Islam kini telah tersebar tidak hanya di negara-negara Muslim tetapi juga di Barat. Dalam konteks itulah menjadi tidak relevan memisahkan Islam dan Barat. Terhadap cap pemikir liberal, Abu Zayd mengatakan bahwa justru liberalisme pemikiran dari kejumudan adalah penting. Sedangkan soal bertentangan dengan Ahlussunah, dia mengatakan bahwa Ahlussunnah sedari awal masa-masa awal Islam adalah persoalan politik. Karena itulah bukan persoalan yang tak boleh dikritisi.

Salah satu pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi di Den Haag tersebut adalah soal menguatnya fundamentalisme dan ekstremisme di berbagai dunia Islam. Menjawab pertanyaan ini, Abu Zayd menengaskan bahwa pendidikan merupakan elemen terpenting untuk mengembangkan demokrasi dan juga menampik kekuatan fundamentalisme dan ekstremisme.

Abu Zayd masih berharap masa depan cerah Islam Indonesia. Perkenalannya dengan Indonesia mengantarkan pada pernyataan: I am half-Indonesian, half-Egyptian (jiwanya separuh Indonesia separuh Mesir). Dia bahkan menyatakan bahwa seandainya dia diberi pilihan tempat buat sisa hidupnya, dia ingin tinggal dan mati di Indonesia. Tentulah pernyataan ini terkesan berlebihan mengingat persentuhan dan perkenalannya dengan Indonesia tidak terlalu lama, yakni sejak pengasingannya di Belanda 1995. Secara terpisah, kepada saya dan beberapa teman program Islamic Studies, Abu Zayd menyatakan memilih Yogjakarta, Ini semua tak lain karena keterbukaan iklim intelektual dan demokrasi yang lebih kondusif.[]

Sunarwoto. LulusanTafsir-Hadis IAIN Yogyakarta. Menulis skripsi tentang Abu Zayd dan menerjemah (bersama M Shohibuddin) karyanya, Teks, Otoritas, Kebenaran , LKiS, 2003. Kini dia menjadi peserta program The Indonesian Young Leaders (IYL) dan mahasiswa Islamic Studies, Faculty of Arts, Leiden University.

 

No comments: