Monday, March 17, 2008

Tradisi Itsar

Oleh : Haedar Nashir

Di Makassar ada ibu dan anak meninggal setelah tiga hari kelaparan. Sudah lama keluarga penarik becak di wilayah lumbung padi nasional itu, hidup serba berkekurangan.

Perjuangan hidup yang sangat berat dan tak mampu lagi disangga harus berujung dengan kematian istri dan anak terkasih. Hanya untuk makan sekalipun hidup menjad terasa pedih dan memilukan, kendati yang menjalaninya terlihat pasrah.

Masih banyak kisah-kisah warga bangsa yang penuh derita di pelosok tanah air. Di sejumlah daerah keluarga-keluarga miskin terpaksa makan nasi aking (nasi bekas yang dijemur ulang) dan terkena busung lapar, ketika beras dan nasi yang murah sekalipun tak mampu lagi mereka beli.

Boleh jadi ada petinggi negeri yang tak percaya rakyatnya miskin, karena yang dilihat secara kasat mata adalah warga bangsa yang hidupnya makmur di kota-kota besar sambil dibuai angka statistik BPS tentang jumlah orang miskin yang cenderung menurun.

Sungguh tragis. Itulah kata yang paling tepat untuk melukiskan panorama sangat ironi, bagaimana di sebuah negara setelah 63 tahun merdeka dan banyak orang hidup serba mewah di kota-kota besar, justru masih terdapat orang-orang miskin dan berkelaparan.

Bangsa ini seakan tak henti-hentinya menyimpan dan memproduksi paradoks. Tak mengherankan ketika badan dunia menunjuk angka kemiskinan di negeri ini cukup tinggi (29%), pemerintah justru tak mempercayainya dan mematok angka 15,5%. Tak ada kemiskinan yang serius di negeri tercinta ini, begitulah kira-kira.

Ada wilayah kesadaran yang harus dibongkar dan bahkan direhabilitasi dari para elite dan pejabat publik. Bagaimana memiliki getaran hati dan kesadaran diri untuk cepat tanggap dan kemudian bertanggungjawab dalam menyelesaikan urusan-urusan rakyat yang penting dan mendesak.

Bagaimana memiliki sense of crisis yang tingggi, sehingga mau dan mampu mendahulukan kepentingan-kepentingan rakyat ketimbang lain-lainnya. Bagaimana menempatkan dirinya benar-benar sebagai pelayan dan pengabdi rakyat, bukan sebagai penguasa dan yang harus dilayani rakyat. Jadi, soal kesadaran hati dan alam pikiran.

Khalifah
Kita jadi ingat Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Azis semasa hidupnya menjadi khalifah dalam memimpin umat manusia. Begitu menjadi khalifah, seluruh hidupnya diabdikan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Padahal keduanya sebelum menjadi khalifah adalah orang-orang yang terbiasa hidup dalam serba berkecukupan. Keduanya sukses bukan hanya dalam membangun pemerintahan yang bersih, bahkan dalam memakmurkan dan mengurus nasib rakyat.

Kebiasaan mendahulukan kepentingan orang lain lebih dari keperluan dirinya itulah yang oleh para sahabat Nabi diamalkan dalam tradisi itsar. Kita ingat kisah Khuzaifah dalam perang Yarmuk. Kala itu banyak orang terluka dan kehausan memerlukan air. Khudaifah membawa minum untuk diberikan kepada keponakannya yang terluka, tetapi di kejauhan ada yang meminta air. Keponakan Khuaifah tak jadi minum dan meminta pamannya untuk memberikan air itu ke sahabat lain yang memerlukan.

Ketika tiba pada sahabat lain, dari kejauhan ada pula yang meminta air, sahabat yang kedua ini pun tak jadi minum dan dia meminta Khuzaifah untuk memberikan air itu kepada sahabat lain yang sangat memerlukannya. Tiba di sahabat yang ketiga ketika Khuzaifah hendak memberi minum, ternyata telah meninggal.

Khudaifah segera lari ke sahabat yang kedua, ternyata juga telah meninggal. Akhirnya Khudaifah lari kembali ke keponakannya yang semula memerlukan air, tapi Allah pun telah mengambil nyawa syuhada yang satu ini. Inilah kisah tentang itsar, bagaimana para sahabat Nabi mengamalkan ajaran Islam untuk mengutamakan atau mendahulukan kepentingan orang lain melebihi kepentingan dirinya sendiri.

Kita akan bangga sekali manaka para elite pejabat publik memiliki jiwa dan tradisi itsar untuk rakyat. Bagaimana mendahulukan dan mengutamakan kepentingan dan nasib rakyat sebesar-besarnya melebihi kepentingan dirinya sendiri.

Mungkin tidak seekstrim kisah para sahabat Nabi yang maqam ruhaniahnya sangat tinggi melampaui orang-orang biasa, namun setidak-tidaknya bersungguh-sungguh dan memihak nasib rakyat yang serba berkekurangan tanpa harus mengorbankan diri sendiri.

Dan tentu saja tidak akan mengorbankan diri karena para elite pejabat publik itu segala urusan dirinya telah ditanggung negara, bahkan dengan fasilitas yang serba berlebihan.

Jadi, sudah saatnya mengutamakan dan mengurus kepentingan rakyat. Bukankah mereka berada di jabatan-jabatan publik itu atasnama negara dan bekerja untuk mengurus urusan rakyat. Sudah selayaknya berkhidmat untuk rakyat dengan spirit itsar.

Itsar adalah kekayaan ruhaniah yang melekat dalam jiwa dan sikap hidup keseharian yang membuahkan amal dan tindakan untuk mendahulukan kepentingan orang lain yang membutuhkan. Dari itsar itulah lahir sikap ta'awun, yakni sikap dan tindakan untuk membantu atau menolong sesama. Jika itsar dan ta'awun bersenyawa dengan amanat jabatan, maka akan melahirkan bukan hanya kedermawanan bahkan kebijakan-kebijakan publik yang pro-dhu'afa dan mustadh'afin.

Dengan demikian tidak akan ada kesenjangan yang menganga antarkelompok masyarakat, juga tak akan lahir kesenjangan antara negara dan rakyat seperti sekarang ini. Alangkah indahnya manakala para elite dan pejabat publik, juga warga bangsa lainnya, memiliki jiwa itsar yang penuh mozaik ruhaniah itu.

Banyak musuh
Tapi itsar tak mudah diwujudkan karena banyak musuhnya. Musuh itsar ialah 'ananiyah-nafsiyah. Egoisme diri yang berlebihan. Penyakit egoisme inilah yang kini meluas di negeri ini.

Orang semakin diajarkan dan diciptakan kondisi untuk mencintai dirinya melebihi apapun. Mengejar ambisi dan mobilitas diri hingga tak terbatas dengan mengerahkan segala apapun yang dimiliki. Mengutamakan kepentingan diri melebihi takaran kewajaran, sambil mengorbankan kepentingan orang lain.

Inilah virus "struggle for life" yang diajarkan secara fanatik oleh sangkar-besi modernisme ala Darwinian yang melahirkan sosok-sosok manusia petarung mobilitas diri yang luar-biasa.

Musuh itsar yang lain ialah israf, kerakusan. Sikap loba dan tamak telah mewabah dan menjadi pakaian budaya di negeri ini. Gaji dan tunjangan besar masih terasa kecil, sehingga tak henti-hentinya mengakali anggaran negara.

Jabatan tinggi masih harus terus dikejar hingga ke tahta lebih puncak lagi. Sebagian masyarakat pun banyak terkena penyakit "gila jabatan", terlalu mengormati orang karena jabatannya melebihi takaran, sehingga membuat orang menjadi lupa diri.

Padahal ketika nafsu loba, tamak, dan kerakusan itu telah mewabah maka yang muncul ialah nafsu ketakpernahpuasan. Jika orang merambah milik orang karena kelaparan, maka yang dimakan sebatas dia lapar. Sebaliknya ketika orang menjarah karena kerakusan, maka apapun akan dimakannya dan tak akan pernah puas hingga musibah atau bahkan ajal menghentikannya.

Kerakusan memang selalu memproduksi ketidakpernahpuasan dalam hidup. Mobilitas dan capaian hidup menjadi tak pernah ada terminalnya untuk berhenti. Itulah penyakit alha-kum at-takatsur dalam lukisan Al-Quran. Orang tak henti-hentinya mengejar materi, kedudukan, dan apapun yang menyenangkan dalam kehidupan duniawi hingga tak ada batasnya untuk berhenti.

Datanglah penyakit cinta dunia dan takut mati secara berlebihan. Lalu, orang menjadi tidak pernah mau peduli dengan nasib sesama. Matahatinya buta-tuli hingga mati-suri terhadap nasib rakyat. Itsar pun akhirnya jauh panggang dari api.

No comments: