Saturday, March 15, 2008

Kerukunan Agama

Menangkal Politik dengan Kebajikan Lokal
Sabtu, 15 Maret 2008 | 00:42 WIB

Kerja sama antaragama dimungkinkan melalui dialog sebagai disiplin yang ketat, jauh dari retorika kosong mengenai persaudaraan dan toleransi. Tujuan dialog bukanlah untuk mengubah keyakinan pihak lain, dan juga bukan untuk membuktikan bahwa agama yang dianut seseorang salah.

Kerukunan beragama tak disangsikan lagi merupakan salah satu saham utama dalam membangun peradaban dunia.

Setiap agama mempunyai kisah-kisah historisnya sendiri dalam mempertahankan dan mengukuhkan eksistensinya di tengah perubahan sosial yang mengitari laju keberadaan historisnya.

Mengutip almarhum Romo Mangunwijaya, begitu agama menjadi terlembaga, maka ada kemestian-kemestian sosial (social exigencies) yang tak bisa dielakkan. Salah satunya, mengatur agama menurut cara-cara yang birokratis.

Politisasi agama

Hubungan individu dengan agama dalam tingkatan seperti ini laiknya menyerupai hubungan nasabah dengan bank yang sewaktu-waktu bisa melakukan rush. Keberagamaan lantas menjadi kering kerontang, sekadar verbalisme yang hanya menekankan ritual-ritual yang kadang tak bersetangkup dengan penguatan kesadaran pencerahan diri. Keberagamaan yang tulen dan otentik sesungguhnya berangkat dari privacy, suatu komitmen sepi dan soliter di tingkat pribadi.

Sejak dua dekade terakhir ini, massalisasi tempat ibadah lebih kentara sebagai persaingan politik antaragama-agama mayor ketimbang sebuah ekspresi kerukunan yang sejati. Jumlah numerik tempat ibadah yang besar menandai suatu political victory daripada religious glory.

Kita masih ingat semasa Orde Baru lalu, nuansa ”politisasi” agama tercanang kembali dalam bentuk gagasan untuk ”meregulasi agama” seperti dalam kasus RUU Kerukunan Umat Beragama yang memanas beberapa waktu silam dan aromanya hingga kini masih terasa menyengat. Poin-poin yang tersusun ternyata menimbulkan kontroversi yang beragam. Kondisi ini menunjukkan misi Orde Baru merancang UU kerukunan beragama didasarkan pada upaya intervensi negara terhadap agama.

Kembali ke kearifan lokal

Intervensi itu terbukti telah menempatkan pluralitas agama yang ada di negeri kita dalam asumsi yang tidak tepat, dengan pendekatan yang bersifat konfliktual. Sementara fakta sejarah memperlihatkan bagaimana kerukunan lebih dominan dalam menjalin hubungan antaragama ketimbang pendekatan konflik.

Di beberapa daerah, baik yang terpencil maupun yang ramai, ternyata masih banyak yang menunjukkan betapa masyarakatnya sangat rukun dan toleran. Konflik antarumat beragama yang terjadi di beberapa daerah lain sebenarnya bisa dilihat dalam konteks karena masyarakat dalam kondisi tidak normal akibat timbunan persoalan sosial yang tak lepas pula dari ”salah manajemen” dari penguasa..

Lalu apa solusinya? Komunikasi yang partisipatoris dan penuh dengan keterbukaan antarmasyarakat yang bertikai perlu selalu menjadi cara yang bijak dan efektif untuk melerai konflik. Kemudian, mengutamakan pihak yang paling dirugikan dalam praktik kehidupan sosial-politik masyarakat. Pilihan ini menjadi lebih penting jika diterapkan di daerah-daerah konflik. Selanjutnya, interaksi antarumat beragama yang sudah berlangsung di masyarakat harus senantiasa dikukuhkan dan dikembangkan, tetapi tanpa ada tekanan-tekanan dari negara.

Dan akhirnya, bukankah dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini telah tersedia recept knowledge berupa kearifan-kearifan lokal yang telah dipraktikkan sekian lama oleh para bijak lokal (local genius) beserta perangkat kemasyarakatannya sendiri?

Soffa Ihsan Alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Penulis Sejumlah Buku

No comments: