Monday, March 17, 2008

Membumikan Perbankan Syariah

Muhri Fauzi Hafiz

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sumut

Selama 10 tahun ini perbankan syariah mencoba menjadi solusi terhadap berbagai masalah ekonomi bangsa. Semula langkah ini menjadi alternatif yang dianggap kurang layak dan dianggap inferior dibanding praktik lainnya yang lebih dulu ada. Ternyata kini perbankan syariah sangat memikat dan memiliki peluang yang besar untuk berkembang di Indonesia.

Kondisi tersebut ditandai dengan semakin berkembangnya jaringan kantor perbankan syariah di Indonesia, baik Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank konvensional. Dana pihak ketiga (DPK) perbankan syariah juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Begitu pula dengan penyaluran pembiayaan yang tercatat terus mengalami peningkatan. Kemajuan yang positif dapat dilihat dengan perubahan status Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI) menjadi Direktorat Perbankan Syariah BI. Berdasarkan data statistik Direktorat Perbankan Syariah BI, sampai akhir 2007 lalu sudah ada tiga Bank Umum Syariah, 25 Unit Usaha Syariah, dan 114 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan dukungan kantor bank sebanyak 711 kantor.

Total aset perbankan syariah hingga akhir Desember 2007 hanya mencapai 1,76 persen. Walaupun masih kecil, dalam empat tahun terakhir menurut Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, pertumbuhan perbankan syariah sudah mencapai 64 persen. Salah satu hal yang menggembirakan dari perkembangan perbankan syariah tersebut adalah tingginya angka financing to deposit ratio (FDR) yang mencapai hampir 102 persen. Hal ini relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat loan to deposit ratio (LDR) perbankan nasional yang masih berada pada angka 63 persen.

Kondisi objektif
Data statistik tersebut di atas menunjukkan realitas pasar perbankan syariah masih sangat terbatas di Indonesia yang diketahui mayoritas rakyatnya beragama Islam. Bahkan, target lima persen pangsa perbankan syariah pada 2008 dianggap banyak kalangan terlalu tinggi dan sulit tercapai. Ini karena perbankan syariah memiliki beberapa masalah yang hendaknya segera dicari solusi agar dapat bangkit dan semakin memikat hati rakyat Indonesia.

Pertama, masalah klasik yang terus menghantui perbankan syariah adalah animo masyarakat yang sangat rendah untuk menabung di bank syariah. Diketahui sampai Desember 2007 deposit fund perbankan syariah hanya 1,78 persen. Hal ini semakin diperkuat dengan kecenderungan perbankan syariah yang menganggap promosi produk kepada masyarakat awam sudah tidak substansi lagi.

Penulis mengamati sangat jarang stake holders perbankan syariah yang berupaya membumikan produk-produk perbankan syariah kepada masyarakat awam. Bahkan, kerja sama dengan lembaga-lembaga umat juga sudah mulai ditinggalkan. Padahal, upaya-upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang riba, bagi hasil, margin, bonus, maupun qardhul hasan serta jenis-jenis produk perbankan syariah lainnya hanya dapat dilakukan jika perbankan syariah bersinergi dengan lembaga dan organisasi di masyarakat.

Kedua, masalah dominasi pembiayaan murabahah pada perbankan syariah. Sampai Desember 2007 pembiayaan murabahah atau jual beli mencapai 59,24 persen, sedangkan pembiayaan mudharabah dan musyarakah masing-masing 19,96 persen dan 15,77 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa perbankan syariah belum mampu melakukan inovasi produk untuk mengurangi pembiayaan konsumtif dengan pola jual beli yang oleh masyarakat awam cenderung dianggap sama dengan pola kredit perbankan konvensional. Meskipun margin dibolehkan dan berkah, banyak kalangan mengakui bahwa bagi hasil (profit and loss sharing) jauh lebih terasa nuansa keadilannya.

Ketiga, masalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu permasalahan perbankan syariah adalah terbatasnya SDM yang berkualitas untuk membangun perbankan syariah yang professional, baik dan benar. Fenomena ini ditunjukkan dengan keluhan masyarakat terhadap pelayanan perbankan syariah yang dalam beberapa aspek ditemukan cenderung tidak Islami. Akibatnya, masyarakat menjadi enggan berinteraksi dengan perbankan syariah, bahkan jauh lebih nyaman dan aman ke perbankan konvensional.

Keempat, dukungan regulasi pemerintah pusat yang masih belum optimal. Undang-Undang Perbankan Nasional masih dominan mengatur peran dan kedudukan perbankan konvensional, bahkan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan juga sangat jarang yang memperhatikan peran perbankan syariah. Buktinya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan Syariah dan Sukuk maupun revisi UU tentang zakat dan wakaf masih belum diselesaikan oleh pemerintah pusat.

Solusi
Sebagai satu model perbankan yang lebih mengutamakan nilai-nilai ketuhanan (tauhid), perbankan syariah telah diakui memiliki beberapa keunggulan daripada perbankan konvensional. Namun, sepertinya hal itu menjadi menara gading perbankan syariah yang tidak tersosialisasikan kepada masyarakat awam.

Maka, solusi pertama adalah membangun sinergi dengan lembaga umat dan pemerintah untuk kegiatan sosialisasi perbankan syariah yang membumi. Kedua, sinergi pelaku perbankan syariah melakukan moral suasion kepada pemerintah tentang penyempurnaan peraturan pelaksana operasional perbankan syariah Indonesia.

Ketiga, pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia. Saatnya perbankan syariah bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga sosial masyarakat dalam memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan SDM tentang perbankan syariah. Keempat, cerdas memilih strategi bisnis.

Perbankan syariah harus cerdas memilih strategi bisnis yang digunakan. Catatannya, jangan melupakan ketentuan syariah yang berlaku dan jangan menjadi pecundang. Jika kedua hal tersebut dilupakan maka perbankan syariah hanya akan menunggu waktu bagi kehancurannya sebelum berkembang. Ayo bekerja sama membumikan perbankan syariah di Indonesia.

No comments: