Wednesday, March 19, 2008

Islam dan Kekuasaan (III)

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif


Ibarat bom nuklir, ayat-ayat ini telah meluluhlantakkan kepongahan si kaya yang zalim dan kikir dengan jarak jangkauan yang menembus zaman sampai di era kita sekarang. Sekiranya sekadar mengumpulkan harta, tetapi punya kepedulian terhadap sektor masyarakat yang lemah dan tertindas, boleh jadi Tuhan tidak akan sedemikian marah. Kelompok miskin dan telantar ini adalah korban dari struktur ekonomi elite Quraisy yang kapitalistik-eksploitatif, jika istilah itu bisa kita pakai. Sebab, substansinya sama dengan watak kapitalisme modern.

Struktur inilah yang diincar Alquran via perjuangan Muhammad untuk diganti dengan sistem ekonomi yang berkeadilan. Semuanya ini hanyalah mungkin jika kekuasaan ada di tangan. Jadi, kekuasaan harus diabdikan untuk membela yang lemah, bukan untuk memperkuat yang kuat. Hijrah ke Madinah adalah dalam upaya pengambilalihan kekuasaan oleh Nabi terhadap penguasa Quraisy yang ternyata harus dilakukan melalui peperangan yang membawa korban.

Pertanyaan yang muncul adalah: apakah pengambilalihan kekuasaan itu merupakan bagian dari kerasulan atau semata-mata karena keharusan sejarah? Yang jelas bahwa Makkah harus dikuasai pada suatu ketika memang telah menjadi target perjuangan Nabi. Tanpa Makkah, yang kemudian menjadi pusat spiritual dunia Islam, gerakan pembaruan moral-sosial-politik tidak akan pernah mencapai titik ujung. Oleh sebab itu, penaklukkan Kota Makkah di samping keharusan sejarah, juga sekaligus sudah menjadi sesuatu yang inheren dalam kerasulan Nabi.

Akan menjadi absurd (mustahil) belaka bila Ka'bah tetap berada dalam kekuasaan non-Muslim. Lebih dari itu, bukankah pembebasan Makkah juga berarti pembebasan kaum dhuafa dari penindasan eksploitasi roda komersialisme elite Quraisy? Islam sejak awal merupakan gerakan pembaruan prorakyat kecil, tetapi pada periode-periode tertentu visi tentang ini dikaburkan.

Mungkin dari perbincangan di atas, kita sudah sedikit dapat menyimpulkan bahwa dalam Islam kekuasaan itu bersifat fungsional, yaitu berfungsi sebagai alat yang penting bagi pembumian cita-cita moral Alquran yang melingkupi seluruh dimensi kehidupan kolektif manusia. Sampai periode al-khulafa al-rasyidun, relatif warna moral dalam sistem kekuasaan Islam masih cukup dirasakan sebagai kelanjutan dari era Nabi, sekalipun pembunuhan dan peperangan sesama Muslim sudah mulai berlaku.

Pembunuhan Khalifah 'Ustman dan perang antara 'Ali dan Mu'awiyah kemudian telah mengganggu realisasi perintah moral Alquran, tetapi bangunan keadilan belumlah runtuh sama sekali dan wawasan politik Islam belum dicemari oleh sifat imperial Islam, sebagaimana yang berkembang pada periode berikutnya: Umaiyah (661-750), 'Abbasiyah (750-1258), Turki Usmani (1299-1924). Di samping tiga imperium besar ini, telah menjamur pula kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersengketa dengan fanatisme masing-masing. Islam di tangan penguasa imperial telah kehilangan sifat egalitariannya.

Kita mengakui bahwa di era imperial Islam, peradaban Islam memang pernah mencapai puncak-puncak tertinggi. Tetapi, prinsip syura-egalitarian (semacam demokrasi) telah dibenam di bawah abu sejarah. Struktur politik di bawah payung imperial Islam ditandai oleh sistem patron-client, di mana penguasa secara berketurunan berada di puncak piramida kekuasaan, sedangkan rakyat hanya punya satu tugas: taat.

Perkara penguasa itu adil atau zalim tidak boleh dipersoalkan secara terbuka. Setidak-tidaknya begitulah menurut teori yang dikembangkan para yuris Muslim abad klasik. Ungkapan "sultan sebagai bayangan Tuhan di muka bumi" adalah bagian yang menyatu dengan watak patron-client itu. (Lih misalnya Ibn Taimiyah, al- Siayasah al-Syar'iyah. Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabiyah, 1966, hlm 139; juga lih al-Mawardi, Ahkam al- Sulthaniyah. Kairo: Muhammad Mahmud al-Halabi, 1973/1393, hlm 5).

Di lingkungan imperial Islam, tidaklah mungkin muncul pemikiran-pemikiran kreatif yang populis dalam menyusun teori-teori politik, sebagaimana yang kita rasakan desakannya sekarang ini. Kesimpulannya adalah: dunia Islam sekarang sebenarnya tidak perlu ragu lagi dalam menyusun teori politiknya, yaitu harus berangkat dari prinsip syura-egalitarian (lih. Alquran surat al-Syura: 38 dan surat Ali 'Imran: 159) dan praktik masa al-khulafa al-rasyidun.

Sisa-sisa imperial Islam harus dimasukkan ke dalam museum sejarah secara berangsur tetapi pasti. Agar anggota umat, tidak peduli jenis darahnya, biru atau merah, punya kesempatan yang sama untuk menduduki posisi puncak dalam sistem kekuasaan, tentu dengan kualifikasi yang memenuhi standar yang diperlukan. Khususnya yang menyangkut moral, kemampaun, dan visi keadilan yang jelas.

Dalam perspektif ini, bentuk republik, seperti di Iran masa sekarang, rasanya lebih dekat pada sistem politik Islam yang dikehendaki Alquran, sekalipun saya menyimpan kritik terhadap sistem politik Iran ini. Allahu a'lam!

No comments: