Wednesday, March 19, 2008

Islam dan Kekuasaan (I)

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif


Sebenarnya jauh sebelum dilantik menjadi nabi dalam usia 40 tahun, Muhammad telah menyadari sepenuhnya masalah kesenjangan sosio-ekonomi yang parah yang melilit mayoritas penduduk Makkah yang miskin. Monopoli pihak Quraisy atas politik dan ekonomi yang ditopang budaya syirik adalah penyebab utama dari segala bentuk ekspolitasi atas sektor masyarakat yang lemah. Mereka inilah yang menjadi bulan-bulanan kezaliman penguasa.

Kondisi sosial itulah yang mendorong Muhammad berkali-kali menyendiri di Gua Hira, demi mencari solusi bagi ketimpangan sosial ini. Di gua inilah menurut sejarah wahyu pertama itu diturunkan, tetapi sepintas lalu tidak berbicara langsung tentang realitas sosial yang timpang itu.

Kita kutip makna wahyu pertama itu: "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang teramat mulia. Yang mengajar dengan [perantaraan] pena. Mengajar manusia tentang apa yang tidak diketahuinya." (Surat al-'Alaq: 1-5). Bukankah ayat-ayat ini selayang pandang tidak langsung membidik jantung oligarki Quraisy yang anti keadilan itu? Pandangan selintas memang terkesan demikian.

Tetapi bila dicermati lebih dalam, apalagi jika dikaitkan dengan ayat-ayat yang turun sesudah itu (seluruhnya di luar Gua Hira), tesis kita tentang kaitan tauhid dengan masalah keadilan begitu jelas dan terang. Kita lihat dulu lima ayat di atas, dan apa kaitannya dengan sebuah masyarakat egalitarian.

Setidak-tidaknya terdapat empat paradigma pokok dalam wahyu pertama itu. Pertama, prinsip pembebasan manusia dari buta baca dan buta tulis; kedua, doktrin tentang kedudukan Tuhan sebagai Pencipta yang teramat mulia; ketiga, pemberitahuan tentang asal-usul kejadian manusia dari segumpal darah; keempat, penegasan tentang fungsi Tuhan sebagai Maha Pengajar.

Untuk diskusi kita, paradigma pertama dan ketiga yang perlu disorot lebih jauh. Muhammad adalah seorang anak manusia yang teramat cerdas, otak dan ruhani. Dia paham betul apa makna keempat paradigma itu bagi gerakan pembaruan sosial yang akan dilancarkan. Prinsip pertama tentang tulis-baca untuk mencerdaskan manusia, sebab pembaruan masyarakat hanyalah mungkin dapat diwujudkan bila masyarakat itu cerdas.

Kecerdasanlah yang mampu membaca dengan tajam realitas politik eksploitatif elite Quraisy yang harus ditumbangkan pada suatu hari melalui kekuasaan. Imbauan moral semata tidak pernah efektif. Kemudian, penegasan tentang asal-usul manusia dari segumpal darah yang bertujuan menggiring bola kehidupan menuju terbentuknya sebuah masyarakat egalitarian. Dengan asal-usul yang sama, maka kelas-kelas sosial yang dibuat berdasarkan mitos-mitos sejarah yang tidak punya dasar harus dihapuskan.

Elit Quraisy rupanya telah merasakan arah angin dari gerakan Muhammad ini. Jika tidak dibabat di kuncupnya, maka sudah dapat dipastikan bahwa seluruh bangunan dan tatanan sosial politik mereka akan berantakan, seperti rubuhnya rumah dari kartu. Alquran bahkan dengan manis tetapi sangat terang menggambarkan bahwa struktur masyarakat Quraisy itu sungguh sangat rapuh. Kita kutip: "Bandingan orang-orang yang memilih pelindung selain Allah adalah ibarat laba-laba yang membuat rumah. Padahal, serapuh-rapuh rumah adalah rumah laba-laba, jika saja mereka mengetahui." (Al-'Ankabut: 41).

Kerapuhan yang dibungkus dengan kekejaman ini akan dengan mudah terbaca mereka yang cerdas. Alangkah jauhnya sasaran yang hendak ditembak wahyu pertama itu dalam upaya menegakkan keadilan dan masyarakat egalitarian. Muhammad dan pengikutnya dalam jumlah kecil sebenarnya sejak sekitar tahun ketiga kenabian sudah mulai berterus terang tentang tujuan yang hendak diraih. Akibatnya memang fatal: konflik terbuka tidak dapat dihindari. Ikuti bentak Alquran ayat Makkiyah tentang watak hedonistik kelompok elite Quraisy: "Kamu telah dilengahkan oleh sifat berlebih-lebihan [dalam menumpuk harta, kekuasaan, dan kesenangan], hingga kamu masuk kuburan." (Al- Takatsur: 1-2).

Lagi, berikut dalam surat al-Humazah, ayat 1-9, diperkirakan turun menjelang akhir tahun ketiga kenabian, bentakan itu lebih keras lagi: "Celakalah bagi setiap penyebar fitnah dan pengumpat. Yang mengumpulkan kekayaan dan menghitung-hitungnya. Mengira bahwa kekayaannya akan membuatnya kekal. Sama sekali tidak! Ia akan dijerumuskan ke dalam Huthamah. Tahukah engkau apakah Huthamah itu? [Itulah] api Allah yang dinyalakan. Yang naik masuk ke hati. Sungguh, [neraka] itu akan ditutup rapat atas mereka. [Sedangkan mereka itu] diikat pada tiang-tiang yang panjang."

No comments: