Friday, March 7, 2008

Nyepi dan Istirahat Alam


Kamis, 6 Maret 2008 | 02:04 WIB

IGN Sudiana

Umat Hindu di Indonesia kembali merayakan Nyepi, catur beratha panyepian. Mereka tidak bepergian (amati lelungan), tidak bekerja (amati karya), tidak menikmati hiburan dan kesenangan (amati lelanguan), tidak menyalakan api (amati geni).

Di Bali, yang sebagian besar penduduknya memeluk Hindu, catur beratha panyepian menjadi pemandangan dramatis. Selama 24 jam, Pulau Bali menjadi ”pulau mati”. Jalan-jalan sunyi. Tak ada aktivitas di Bandara Ngurah Rai, Pelabuhan Gilimanuk dan Padangbai. Sunyi. Pada malam hari, Bali menjadi pulau gulita, kecuali di rumah sakit, keluarga yang punya bayi, ditoleransi boleh menyalakan lampu seadanya.

Istirahat total

Selama ratusan tahun, umat Hindu di Bali merayakan catur beratha setahun sekali, alam perlu diberi istirahat total satu hari dari eksploitasi 412 hari menurut tahun Saka atau 0,24 persen dari total waktu setahun. Meski hanya 0,24 persen, catur beratha panyepian menjadi rem yang secara simbolis mengingatkan manusia agar tidak serakah, tidak mengeruk sumber daya alam melampaui batas toleransi yang bisa menimbulkan bencana.

Peringatan ini kian penting karena nyatanya manusia telah mengeksploitasi alam melampaui batas kelestarian ekologis, sampai timbul perubahan iklim yang signifikan, disertai sejumlah bencana yang merusak infrastruktur dan merenggut nyawa. Kompetisi memperebutkan sumber daya alam dan energi bahkan menimbulkan perang antarnegara dengan kerugian sosial budaya maupun ekonomi.

Maka, ketika pada Desember 2007 sejumlah negarawan maupun politisi berbagai negara peserta Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim berkumpul di Nusa Dua, Bali, sejumlah aktivis lingkungan hidup, termasuk Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa yang Dharma Adhyaksa Sabha Panditaa Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)—pemimpin tertinggi majelis umat Hindu se-Indonesia—coba menggunakan momentum itu untuk mengusulkan agar mengadopsi spirit perayaan nyepi dengan perayaan World Silent Day: jeda global dalam sehari.

Dari segi bisnis, jeda sehari bisa mengurangi produksi dan keuntungan, tetapi mampu menghemat jutaan ton bahan bakar minyak bumi dan sumber energi lain. Yang tidak kalah penting, paru-paru bumi berkesempatan istirahat dari jutaan ton polutan semacam CO>sub<2>res<>res<. Sebaliknya, produksi jutaan ton O>sub<2>res<>res< menyegarkan paru-paru dunia dan memperbaiki lingkungan hidup tempat manusia melangsungkan kehidupan.

Gema usulan itu tenggelam di antara hiruk-pikuk perundingan delegasi negara-negara kuat yang berbeda-beda kepentingan. Bahkan, para cendekiawan dari Indonesia—termasuk dari Bali—tidak semuanya sepakat memperjuangkan hal ini. Karena itu, jangankan menjadi rekomendasi, usulan mulia itu belum bisa menjadi materi yang diagendakan untuk dibahas mengingat padatnya jadwal sidang dan kompetisi di antara delegasi yang mengusung materi masing-masing.

Belum meresap

Meski gagal memasukkan spirit nyepi sebagai rekomendasi di Konferensi Perubahan Iklim PBB, ini bukan berarti kiamat. Umat Hindu di Bali tetap melaksanakan catur beratha panyepian. Hanya, patut disayangkan, spirit catur beratha panyepian belum meresap dalam perilaku penguasa dan penyelenggara negara. Fakta kuat yang tidak bisa dibantah adalah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi di sana-sini beberapa tahun belakangan ini menimbulkan beban anggaran amat berat disertai lambannya penanganan pemerintah.

Penyebab bencana berlarut-larut ini adalah pembalakan hutan besar-besaran, sementara penegakan hukumnya lemah serta penegak hukum yang korup dan bisa dibeli. Pembalakan hutan ini juga menimpa hutan-hutan di Bali, seperti Taman Nasional Bali Barat yang sudah rusak parah dan hingga kini tidak terdengar adanya penegakan hukum bagi pelaku.

Maka, agar catur beratha panyepian tak sekadar wacana dan perayaan ritual, bersama umat Hindu dan masyarakat, dirasa perlu mengingatkan penyelenggara negara, khususnya, bagaimana spirit dari ritual nyepi memberi bobot pragmatis pada perilaku mereka agar mengeluarkan kebijakan dan keputusan politik yang sejalan dengan kepentingan rakyat akan kesejahteraan dan berjalan di atas hukum.

Jika pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2007 turun seorang tokoh seperti Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa yang notabene Dharma Adhyaksa Sabha Pandita PHDI Pusat, ini ibarat para pandita seperti Kripacarya, Bhagawan Bhisma, Bhagawan Drona, dan lainnya turun di medan perang Bharatayuda untuk menegakkan kebenaran yang dizalimi Kurawa. Terhadap kerusakan alam dan lingkungan di Indonesia yang begitu parah, sudah saatnya para pandita ”turun gunung” seperti ”resi-resi yang turun gunung” mengingatkan penguasa yang tidak mampu melindungi kelestarian Ibu Pertiwi. Bila perlu, ”mengangkat panah” seperti Bhisma, Drona, dan lainnya.

Maka, nyepi hendaknya tak sekadar berhenti sebagai ritual, apalagi dipandang sebagai komoditas pariwisata eksotik yang mengundang devisa. Namun, hendaknya ia menjadi momentum dan simbol dari kesadaran untuk mengendalikan nafsu-nafsu duniawi dan merawat alam semesta untuk kelestarian kehidupan manusia.

IGN Sudiana Ketua PHDI Provinsi Bali; Dosen di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN), Denpasar

 

No comments: