Sunday, March 16, 2008

Politik Islam Belum Mati


Minggu, 16 Maret 2008

JAKARTA -- Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, berpendapat politik Islam belum mati. Meskipun beragam partai politik yang bermunculan mengusung label berkonotasi Islam tak mau bergabung menjadi satu kekuatan, menurutnya, tidak dapat diartikan bahwa politik Islam sudah mati.

''Menurut saya, politik Islam hanya berubah wajah, tapi tetap ada,'' kata Anies dalam diskusi yang digelar PB HMI MPO, di Jakarta, Sabtu (15/3). Karakter politik Islam, kata dia, berubah karena tuntutan yang memaksanya melakukan penyesuaian.

Pendapat yang mengatakan politik Islam telah mati, menurut Anies, adalah pendapat yang mengacu pada konstelasi politik 1955. Pada saat itu politik Islam tergambarkan jelas dengan keberadaan partai Islamist, seperti Masyumi dan NU, berseberangan ideologi dengan partai secularist seperti PKI dan PNI.

Dalam pemilu 1999, tambahnya, telah terjadi perpecahan dalam kedua kubu politik tersebut. Bedanya, kalau di kalangan secularist perpecahan terjadi karena faktor non-ideologis, maka di kubu Islamist terjadi perpecahan berlatar belakang ideologi.

Dari kalangan Islamist, menurut Anies, muncul tiga kelompok besar. Yaitu, Islam ekslusif (PBB, PK, dan PPP), Islam inklusif (PKB dan PAN), dan sekular inklusif (Golkar). Kelompok Islam ekslusif adalah mereka yang menghendaki Islamisasi di segala lini, termasuk dalam sistem kenegaraan. Sementara Islam inklusif dan sekular inklusif berpendapat tidak ada masalah terjadi Islamisasi masyarakat sepanjang tidak menyentuh persoalan fundamental kenegaraan.

Anies sedikit khawatir dengan minimnya kompetensi kalangan muda yang diharapkan segera mengganti generasi tua di kepemimpinan nasional. Menurutnya, di kalangan aktifis pergerakan pun, ada ketidaksiapan menghadapi dunia pasca-aktifis. Anies pun mengkritisi, bahwa orientasi para aktivis itu seolah hanya tertuju pada panggung politik melalui jalur politik saja.

Pentolan aktivis 1998, Ubedilah Badrun, sependapat dengan Anies, bahwa kiprah aktifis tak hanya dibutuhkan di ranah politik. Hanya mereka yang memang merasa memiliki 'gen politik' dan punya kompetensi saja yang dia sarankan sesegera mungkin bergabung dengan partai politik.

Menurut Ubedilah, konsep alih kepemimpinan nasional secara mendasar, hanya dapat terwujud melalui revolusi. Padahal, saat ini tidak tersedia cukup unsur pendukung terjadinya revolusi. Maka, jalan yang dapat ditempuh adalah menggunakan jalur politik formal yang tersedia sejak dini.

(ann )

No comments: