Thursday, March 13, 2008

Sekali Lagi Soal Jilbab


Oleh : Azyumardi Azra

Hampir tidak ragu lagi, mispersepsi dan distorsi terhadap Islam masih kuat menghinggapi pandangan Barat. Peristiwa kekerasan dan bahkan terorisme yang terjadi sejak 11 September 2001 hanya menambah mispersepsi dan distorsi itu. Meski pada saat yang sama juga terjadi peningkatan berbagai forum pertemuan serta dialog antarperadaban, khususnya Islam dan Barat, mispersepsi dan distorsi pun masih bertahan terhadap Islam dan kaum Muslim.

Contoh paling akhir adalah ketika saya menjadi salah satu pemakalah dalam konferensi 'Islam, Demokrasi, dan Kebebasan Media: Tantangan dan Perspektif bagi Indonesia dan Jerman pada Awal Abad ke-21', awal Maret lalu di Jakarta. Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta dari Jerman melihat pemakaian jilbab atau hijab yang semakin meluas di kalangan perempuan Muslim merupakan indikasi berlanjutnya ketidakadilan gender. Bahkan, penindasan terhadap kaum perempuan dalam masyarakat Muslim.

Persepsi semacam itu cukup tipikal di masyarakat Barat. Perdebatan di Dunia Barat--seperti di Prancis--tentang hijab juga melibatkan persepsi yang distortif tentang hijab; ia merupakan pertanda ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan Muslimah dalam masyarakat Muslim, mulai dari Maroko di Afrika Utara sampai Merauke di nusantara.

Meningkatnya penggunaan hijab atau jilbab yang hampir merata di dunia Muslim, dalam perspektif masyarakat Barat, tidak hanya berkaitan dengan peningkatan semangat keislaman. Akan tetapi, lebih jauh lagi merupakan indikasi 'terjelas' dari kebangkitan Islam politik. Dan, jika sudah berbicara tentang Islam politik, rasa terancam pun kian meningkat di kalangan masyarakat Barat. Sebab, mereka merasa bakal menjadi target selanjutnya. Mereka cemas bahwa sistem politik, ekonomi, dan budaya yang selama ini banyak bersumber dari Barat juga menjadi target untuk digantikan dengan sistem yang menurut mereka fundamentalis.

Ketakutan pada hijab atau jilbab mungkin bermula dari penggambarannya yang mulai menyeruak imajinasi Barat. Hal ini berbarengan dengan keberhasilan revolusi Ayatullah Khomeini pada 1979 yang menumbangkan dominasi dan hegemoni Amerika Serikat pada masa Syah Iran, Reza Pahlevi. Apa yang tampil ke publik Barat adalah hijab tipikal Iran yang umumnya berwarna hitam atau berwarna gelap. Bahkan, belakangan juga berwarna putih. Hijab model ini biasanya menjuntai dan menutupi hampir seluruh bagian tubuh perempuan. Bahkan, disertai penutup seluruh wajah yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk melihat bagi yang empunya diri.

Hijab seperti ini boleh disebut sebagai hijab 'ideologis'. Maksudnya, hijab yang bertitik tolak dari pandangan dan pretensi religio-politik Islam tertentu. Dalam hal ini, hijab tidak hanya dipandang sebagai penutup rambut yang dianggap aurat perempuan hingga perlu ditutupi dari pandangan orang lain, khususnya bukan yang muhrim.

Tetapi jelas, bentuk dan model hijab atau jilbab juga tidaklah seragam. Kebanyakan hijab atau jilbab lebih mencerminkan sikap yang lebih tawadhu (modest) dari para pemakainya. Bahkan, jilbab tidak lagi menampilkan bentuk dan model yang dapat mengundang pertanyaan, keanehan, dan ketakutan orang yang melihatnya. Jilbab model itulah yang dikenakan sebagian besar Muslimah Asia Tenggara; menutupi rambut, leher, dan dada dengan bahan warna-warni yang fashionable. Jelas, jilbab semacam ini dan para pemakainya tidaklah berangkat dari ideologi religius-politis.

Dilihat dari keanekaragaman bentuk dan mode jilbab, terlalu simplistis kalau pemakaian hijab dan jilbab secara keseluruhan dipandang sebagai ekspresi kebangkitan Islam politik. Dan, juga simplistis untuk menganggap pemakaian hijab atau jilbab itu sebagai cerminan ketidakadilan gender dan ketertindasan perempuan dalam masyarakat Muslim. Karena jelas, pemakaian hijab atau jilbab yang tidak didasari pretensi religio-politik, lebih berdasarkan kesadaran untuk tampil secara lebih Islami atau sebagai upaya untuk lebih saleh; tidak yang lain-lain.

Dalam konteks itu, memang masih banyak yang harus dilakukan kaum Muslimin, terutama mereka yang bisa berbicara dalam bahasa yang dipahami masyarakat Barat, untuk menjelaskan berbagai hal tentang Islam dan kaum Muslim, termasuk soal hijab dan jilbab. Penjelasan tersebut tidak akan efektif bila didasari sikap konfrontatif. Sebaliknya, harus dengan cara persuasif, tetapi tegas dengan bukti-bukti dan argumentasi yang bisa memupus mispersepsi dan distorsi tersebut.

No comments: