Saturday, March 22, 2008

Islam Politik dan Regulasi Pluralisme

"Politik Dianggap Dapat Melindungi Agama"


Jakarta, wahidinstitute.org
Peneliti the WAHID Institute Rumadi menjelaskan, ramainya tuntutan formalisasi syariah Islam oleh kelompok Islam tertentu karena keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sempurna.


Bukti kesempurnaan itu, menurut kelompok ini, Islam tidak hanya mengurusi persoalan ritual keagamaan atau kemasyarakatan, namun juga detail-detail lain semisal etika berpakaian, masuk kamar mandi, hubungan suami isteri, dan seterusnya.

“Ini menjadi keyakinan kuat di sebagian kalangan umat Islam. Jika ada yang mengatakan Islam tidak sempurna, dia akan dicap meragukan agamanya sendiri.”

Demikian dikatakan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, saat menjadi narasumber pada Workshop Islam dan Pluralisme V bertema Islam Politik dan Regulasi Pluralisme , di Kantor the WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at ( 22/2/2008 ) malam.

Jika hal-hal kecil saja diatur oleh Islam, urai Rumadi menirukan para pengusung Syariat Islam itu, sangat tidak masuk akal persoalan negara yang menyangkuat hajat hidup orang banyak justru luput dari Islam. “Makanya ada adagium al-Islam din wa daulah/ Islam adalah agama dan negara,” terangnya.

Itulah sebabnya ada keyakinan antara Islam dan politik tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Akibatnya, kata Rumadi, orang yang memasarkan ide sekularisasi akan mendapatkan resistensi sangat kuat dari kelompok ini.

Selain itu, ujar Rumadi, ada anggapan bahwa sejak awal Islam telah bersinggungan dengan politik. Buktinya, sejarah mencatat penaklukan Nabi Muhammad SAW dan umat Islam atas Romawi yang saat itu menjadi kekuatan sangat besar. Kemenangan ini bahkan telah diisyaratkan al-Qur’an jauh hari sebelumnya, melalui Surah al-Rum.

Rumadi lantas menyebutkan sebuah riwayat tentang hal ini. Suatu ketika, Nabi Muhammad Saw sedang duduk santai di sekitar Ka’bah. Di pojok lain, cerita Rumadi, ada dua orang yang tengah berbincang-bincang. Salah satu dari mereka menyatakan, Nabi Muhammad pernah mengaku bisa menaklukan Romawi. Menurut Rumadi, waktu itu belum terbayang sama sekali ada orang yang mampu melakukannya.

“Penaklukan itu dipahami sebagai doktrin untuk merengkuh kekuasaan politik,” ungkap Rumadi .

“Menguasai politik juga dianggap dapat melindungi agama,” imbuhnya.

Sepeninggal Nabi Muhamamd SAW, Islam berhasil menguasai Spanyol dalam rentang waktu yang cukup lama. Ini juga menjadi imaji para pengusung formalisasi Syariat Islam. “Menurut mereka, Islam tidak bisa tegak tanpa kekuasaan politik. Karenanya, jika ingin meraih kesempurnaan Islam, tidak ada cara lain kecuali menguasai politik,” kata Rumadi.

Jika politik dikuasai umat lain di luar Islam, jelas Rumadi, ada kekuatiran dari kelompok ini bahwa orang Islam akan dipinggirkan. Lagi-lagi, kasus di Spanyol menjadi landasannya. Ketika Islam menguasai Spanyol, orang-orang non-Islam diberi keleluasan memeluk agamanya. Namun saat kekuasaan berganti dipegang umat Kristen, hanya ada dua pilihan bagi umat Islam: masuk Kristen atau keluar dari Spanyol.

“Itu yang selalu menjadi contoh untuk menggambarkan eratnya hubungan Islam dan politik,” jelasnya.

Untuk menyukseskan tujuannya, kelompok ini lantas menuntut diberlakukannya formalisasi Syariat Islam melalui perundang-undangan negara. Bahkan mereka juga bergerilya menuntut pemerintah daerah di berbagai wilayah negeri ini untuk menerapkan perda Syariat Islam. Karena itu muncul perda bebas buta aksara Arab, kewajiban berjilbab, larangan khalwat dan seterusnya. “Ini mengancam pluralisme yang menjadi akar eksistensi negeri ini,” kuatir Rumadi.

Seorang peserta bertanya bahwa umat Islam tidak bersatu dalam sebuah partai. "Apakah ini strategi untuk menggapai tujuan itu?” tanyanya.

“Saya kira, konspirasi seperti itu tidak mungkin terjadi,” tegas Rumadi.

Alasannya, jelas Rumadi, Islam tidak bisa dijadikan sebagai platform politik bersama. Tujuan puncak politik Islam memang mendirikan negara Islam, namun platform ini tidak akan laku bagi orang Islam yang ada di Golkar, apalagi yang di PKB. Tidak mungkin semua kekuatan Islam setuju formalisasi syariat Islam, apalagi orang-orang Islam yang ada di partai-partai sekuler.


“Islam politik harus mencari isu-isu keagamaan yang bisa menggerakkan semua kekuatan. Tapi menurut saya ini nyaris tidak akan ketemu,” urainya.

Apa yang diuraikannya di atas, menurut Rumadi, adalah argumen-argumen yang muncul dari internal Islam sendiri. Namun katanya, ada argumen lain yang bersifat eksternal.

Misalnya, pertama, multi krisis Indonesia yang tidak berkesudahan hingga kini sejak 1997. Berbagai cara telah dicoba. Satu-satunya yang belum dicoba, menurut kelompok ini adalah sistem Islam. Padahal Islam juga memiliki sistem ekonomi.

“Kelompok ini yakin, jika syariah Islam diterapkan, krisis negara ini bisa pulih. Tapi saya tidak meyakini hal ini,” katanya.

Kedua, moralitas bangsa yang telah rusak. Korupsi terjadi di segala lini, pelacuran, judi, minuman keras merajalela, dan sebagainya. Lagi-lagi, Islam diyakini sebagai satu-satunya solusi. Ketiga, Islam di Indonesia mayoritas. “Maka bagi mereka wajar, jika umat Islam memiliki hak istimewa di negara ini,” ujar Rumadi.

Keempat, hukum di Indonesia warisan kolonial yang terbukti gagal. Apalagi KUHP ternyata tidak mampu mengatasi problem pidana di Indonesia. Menurut mereka, yang mampu mengatasi semua itu adalah Islam.

Untuk mengusung hal ini, kata Rumadi, mereka menggunakan pintu masuk UU Otonomi Daerah Tahun 1999 dan UU Nomor 24 Tahun 2004 yang menyebutkan tiap-tiap daerah bisa membuat perda-perda yang menjadi ciri khas daerah itu. “Kata ‘ciri khas’ itulah yang menjadi pintu masuk formalisasi Syariat Islam di sejumlah daerah,” ujarnya.

Karenanya, tiap-tiap daerah lantas mencari ciri khas masing-masing. Sebagian menemukan akar sejarah daerahnya adalah Islam, sehingga Syariat Islam harus ditegakkan. Maka darinyalah lahir perda-perda yang memiliki semangat ke-Islam-an.[nhm]
I
 

No comments: