Monday, March 17, 2008

Titik Balik RUU Perbankan Syariah

Mohd Abduh A Ramly

Praktisi Hukum, Alumnus IAIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ketika hari Nyepi tiba, Pemerintah Provinsi Bali memutuskan menutup Bandara Internasional Ngurah Rai selama 24 jam. Demikian pula para turis dilarang berkeliaran di jalanan dan harus tetap berada di hotel. Kendaraan umum tidak boleh berkeliaran di jalanan, kecuali ambulans.

Ini ketentuan hukum yang harus ditaati oleh semua orang yang berdomisili di Bali, harus tunduk dan patuh pada aturan itu. Jika tidak tunduk dan patuh, ia akan mendapat sanksi karena demikianlah hukum yang berlaku di sana.

Paragraf yang sengaja diketengahkan dalam pendahuluan tulisan ini adalah semata-mata untuk memberikan suatu permisalan bagi sebuah permasalahan yang saat ini sedang dikaji oleh DPR atas RUU Perbankan Syariah yang diusulkan oleh pemerintah. Mengapa? Karena dalam Pasal 52 RUU ini menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum.

Penjelasan ayat berbunyi: ''Penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial. Demikian seterusnya.

Berbeda dengan penjelasan ayat tersebut, Almuzammil Yusuf, dalam acara sosialisasi ketepatan MPR di Garut belum lama ini, ketika menjawab pertanyaan seorang peserta tentang materi RUU tersebut menyatakan (di antaranya yang dapat penulis simpulkan), bahwa latar belakang ketentuan pasal itu karena dalam dunia perbankan bukan saja orang Islam yang menginvestasikan modalnya ke bank syariah, tetapi ada orang lain. Bahkan, terdapat banyak kalangan pemodal asing yang akan menginvestasikan uangnya ke dalam bank syariah yang notabene mereka itu bukan beragama Islam.

Penjelasan ayat atas RUU Perbankan Syariah maupun alasan mengapa sengketa perbankan syariah dialihkan menjadi kewenangan peradilan umum (pengadilan negeri) sesungguhnya bertolak belakang dengan bunyi UU No 3 Tahun 2006 yang merupakan hasil amandemen terhadap beberapa pasal dari UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama karena dalam Pasal 49 huruf (i) telah digariskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.

Kemudian, yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau lembaga hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam. Selain bertentangan dengan bunyi Pasal 49 huruf (i) tersebut, bunyi Pasal 52 RUU Perbankan Syariah telah mendiskreditkan umat Islam dan hukum Islam itu sendiri, khususnya menyangkut beberapa bidang perdata yang telah dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam dan eksistensinya diakui oleh UU No 3 Tahun 2006 sebab hukum Islam harus mengalah yang disebabkan hukum Islam itu dijalankan oleh orang-orang selain beragama Islam.

Padahal, dalam kasus Nyepi di Bali, sebagaimana pendahuluan tulisan ini, adalah suatu tamsilan bagi kita untuk menilai dan mengkaji dengan bijak bahwa setiap orang harus menghormati dan tunduk kepada hukum atau aturan yang berlaku bagi suatu daerah atau negara. Karena itu, orang asing yang hidup di Indonesia harus tunduk, patuh, dan menghormati hukum dan aturan yang berlaku di negara tercinta ini, bukan kita yang harus mengalah dan mengikuti kehendak mereka. Dengan demikian, dalam kasus perbankan syariah, bagi orang-orang non-Muslim, baik WNI ataupun WNA, harus tunduk dan patuh kepada ketentuan hukum Islam yang dalam hal ini menjadi kewenangan pengadilan agama sebagaimana ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 49 huruf (i) UU No 3 Tahun 2006.

Sebetulnya dengan lahirnya Pasal 49 huruf (i) UU No 7 Tahun 1989, pemerintah telah membuat langkah maju bagi pengembangan dan pembangunan hukum Islam di Indonesia, khususnya melindungi hak-hak sipil masyarakat Muslim sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Namun, adanya RUU Perbankan Syariah, khususnya bunyi Pasal 52 berikut penjelasannya, dapat dinilai bahwa pemerintah kembali membuat langkah mundur sebagaimana penerapan hak opsi (pilihan hukum) dalam sengketa perkara kewarisan yang diberlakukan dalam UU No 7 Tahun 1989.

Menyinggung tentang sumber daya manusia (SDM), maka hakim-hakim di peradilan agama ataupun hakim-hakim di peradilan umum masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya, seperti diakui sendiri oleh Beny Witjaksono (Dirut Bank Mega Syariah), sebagaimana dimuat Republika edisi 22 Februari 2008, bahwa hakim di peradilan umum mungkin memahami transaksi bisnis perbankan. Tapi, mereka tidak paham fikih muamalat .

Dengan demikian, jika para pihak tidak puas dengan keputusan hakim pengadilan agama, sebagaimana contoh yang dikemukakan oleh Beny Witjaksono, maka tidak membuat komentar di media sebab sebetulnya ada upaya hukum bagi mereka yang tidak puas terhadap putusan hakim, yaitu melalui banding sampai dengan kasasi. Fakta membuktikan bahwa selama ini hakim peradilan umum yang menangani sengketa perbankan konvensional pun tidak luput dari ketidakpuasan pihak berperkara sehingga banyak yang melakukan upaya banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali (PK).

Persengketaan yang berkaitan dengan harta benda (waris, harta bersama/gono-gini, termasuk perbankan), kasusnya tidak berhenti pada peradilan tingkat pertama. Maka, alasan ketidakpuasan pihak terhadap putusan hakim pengadilan agama atau alasan yang dikemukakan oleh Almuzammil Yusuf ataupun alasan yang dimuat dalam RUU Perbankan Syariah bukan alasan yang harus dipegang dan dijadikan landasan untuk menjadikan sengketa perbankan syariah dialihkan ke peradilan umum.

Ketika kewenangan sengketa perekonomian syariah menjadi kewenangan mutlak pengadilan agama sebagaimana ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No 3 Tahun 2006, setiap undang-undang (UU) yang berkaitan dengan perekonomian atau perbankan syariah yang akan diundangkan di kemudian hari harus sejalan dengan UU tersebut. Hak opsi (pilihan hukum) bukanlah suatu solusi, karena akan memberikan dampak dan pembelajaran hukum yang tidak baik bagi masyarakat maupun sistem hukum itu sendiri.

UU No 7 Tahun 1989 memberikan hak opsi (pilihan hukum) bagi sengketa kewarisan. Namun, hak opsi ini telah dihapus dengan diberlakukannya UU No 3 Tahun 2006. Karena itu, wacana hak opsi dalam RUU Perbankan Syariah harus ditolak. Ini langkah mundur.

Karena itu, jika Pasal 52 RUU yang jelas-jelas kontradiksi dengan materi Pasal 49 (huruf i) UU No 3/2006 disahkan, ini menjadi titik balik perjuangan umat Islam yang selama ini menuntut sebagian hak-hak perdatanya tetap berada dalam sebuah lembaga peradilan yang diakui eksistensinya oleh negara.

Jika ada umat lain yang melaksanakan perbankan syariah, tidak boleh dijadikan alasan pembenaran mengalihkan kewenangan pengadilan agama ke pengadilan umum. Harus dipahami, ketika non-Muslim praktik syariah, secara tidak langsung mereka dinyatakan tunduk secara diam-diam terhadap sistem perekonomian/perbankan syariah. Konsekuensinya setiap persengketaan harus diajukan ke pengadilan agama.

Jadi, tidak boleh dengan alasan melindungi pihak lain, lalu pihak yang mempunyai hak, dalam hal ini masyarakat Muslim harus dikorbankan. Sebelum disahkan RUU Perbankan Syariah, DPR harus terlebih dahulu menyerap aspirasi umat Islam dan para ulama.

ikhtisar:

- Ada beberapa pasal yang bisa merugikan beberapa pihak.
- Beberapa lainnya juga bertentangan dengan peraturan yang lebih dulu lahir.

No comments: