Thursday, March 6, 2008

Nasir Abas Tentang Ali Ghufron


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Rencana hukuman mati terhadap saudara, teman, atau seseorang yang pernah bergaul rapat dengan kita pasti akan mengundang kedukaan, rasa iba, dan mungkin juga kebingungan. Demikianlah misalnya saya dengar informasi dari Pak Taufik Kemas belum lama ini saat Bung Karno harus menandatangani keputusan hukuman mati terhadap SM Kartosuwirjo (1905-1962), setelah yang bersangkutan tertangkap pada 4 Juni 1962 dan kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Angkatan Darat.

Sebagai presiden, Bung Karno harus mematuhi keputusan pengadilan, sedangkan Kartosuwirjo adalah teman lama yang lebih yunior. Keduanya adalah kader HOS Tjokroaminoto di tahun-tahun sebelum Sumpah Pemuda 1928. Bung Karno, menurut Pak Taufik, merasa berat atas nasib yang menimpa temannya itu, sehingga harus menenangkan pikiran selama beberapa hari lebih dulu, barulah tanda tangan menolak grasi dibubuhi.

Kartosuwirjo karena telah memberontak terhadap negara selama 13 tahun akhirnya menjalani hukuman tembak mati pada 5 September 1962 di sebuah pulau di teluk Jakarta dalam usia 57 tahun dan dikebumikan di sana.

Jika nasib Kartosuwirjo dikaitkan dengan nasib yang akan dijalani Ali Ghufron, terpidana mati otak bom Bali, dapatlah dibayangkan perasaan Nasir Abas, kakak ipar Ali Ghufron. Tetapi, Nasir telah gagal menyadarkan adik iparnya itu agar kembali ke jalan yang benar, tidak larut dalam petualangan terorisme.

Bahkan, menurut laporan International Herald Tribune (29/2), Nasir Abas, menurut tuturannya sendiri, malah dikategorikan "kafir dan musuh Islam" oleh Ali Ghufron. Ketika tuduhan kafir ini disampaikan kepada adiknya, Farida (istri Ghufron), jawaban yang muncul adalah: "Saya tidak mau memikirkan tentang apa yang Anda pertengkarkan. Ini adalah masalah Anda berdua, bukan masalah saya."

Nasir Abas, mantan komandan Jamaah Islamiyah untuk Asia Tenggara, alumnus perang perlawanan Afghanistan, tertangkap oleh polisi pada 2003, kemudian dihukum dua tahun, lalu sadar. Polisi menjadikannya 'teman' untuk membongkar jaringan teror di Indonesia, di samping diminta untuk menyadarkan bekas anak buahnya yang masih tersisa dalam dunia hitam itu. Nasir mengatakan bahwa misinya setelah siuman adalah: "menghentikan kejahatan, menghentikan kekerasan, menghentikan para penyimpang.

Pengeboman adalah perbuatan buruk, dan kewajiban saya adalah untuk menyetop tindakan jahat". Sekarang hubungannya dengan Ghufron tampaknya memburuk, bahkan ucapan salam Nasir pada saat menjenguknya dalam tahanan sudah tidak dijawab lagi.

Namun di atas itu semua, sebagai manusia biasa, Nasir sedang membayangkan nasib kemenakannya yang akan kehilangan ayah, adiknya yang akan kehilangan suami. Semuanya ini tentu bergalau dalam hati dan pikiran Nasir, sekalipun logika Ghufron dalam melakukan teror telah ditentang keras olehnya karena perbuatan itu sama sekali bukan jihad. Mengapa bom harus diledakkan di Bali? Jawaban yang diberikan adik iparnya adalah: "ini adalah sebuah peperangan. Amerika telah membunuh rakyat sipil kita di Chechnya dan Afghanistan, dan lain-lain, maka kita wajib memberikan balasan atas mereka". Pertanyaan yang mendasar adalah: "Mengapa yang terbunuh di Bali sebagian besar adalah turis Australia dan beberapa orang rakyat Indonesia yang tidak ada hubungannya dengan tentara Amerika di Chechnya dan Afghanistan?"

Kajahatan yang membabi buta semacam ini jelas harus ditumpas, sementara 'jasa' CIA yang turut melatih dan mengguyurkan dana serta amunisi kepada para pejuang itu saat Afhganistan sedang mengusir tentara Uni Soviet adalah cerita lain yang jarang disadari oleh mereka yang bangga dengan terorisme ini. Karena kebodohan, anak-anak muda Muslim dari berbagai negara telah menjadi korban Perang Dingin antara blok kapitalis dan blok komunis yang kemudian memunculkan Amerika sebagai pemenang sebagai adikuasa yang congkak dan kurang ajar. Bush adalah puncaknya yang pernah saya sebut sebagai penjahat perang saat Amerika menggempur Afghanistan untuk mencari Usamah bin Ladin.

Akhirnya, melakukan teror di Indonesia adalah perbuatan biadab, mengapa bangsa Muslim ini harus dikorbankan karena marah kepada Amerika? Mohonlah semua orang berpikir jernih dan tidak brutal. Nasir Abas telah turut membantu polisi untuk mengamankan Indonesia dari serangan teror, tetapi alangkah sukarnya, karena jerami kering berupa kemiskinan tetap saja tidak berkurang di negeri ini. Jerami ini tetaplah menjadi lahan subur untuk memancing perbuatan teror dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Indonesiaku: kapan engkau melaksanakan cita-cita kemerdekaan?

No comments: