Saturday, March 22, 2008

Surat untuk KH. Ma’ruf Amin

dari Uli Abshar Abdalla*


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Beberapa waktu lalu, KH. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa NU harus dibersihkan dari pemikiran Islam liberal.

Memang, arus "puritanisasi" dalam NU sekarang ini sedang berkembang, seturut dengan perkembangan serupa yang juga berlangsung di luar. Gejala puritanisasi NU hanyalah gema dari gejala lebih luas yang berkembang di masyarakat Islam Indonesia saat ini.

Apakah pemikiran Islam liberal bisa "diberangus", entah dari dalam NU sendiri, atau dari "Islam Indonesia" secara keseluruhan?

Bagi KH. Ma'ruf Amin mungkin pertanyaan ini tak terlalu penting. Buat dia, yang penting adalah usaha memberangus dan membersihkan NU dari liberalisme pemikiran. Adapun berhasil atau tidak, itu tergantung kepada yang di "Atas".

Tetapi, sebagai bahan diskusi, saya sengaja melontarkan pertanyaan ini.

Tidak seperti disangka banyak orang, pemikiran Islam liberal sama sekali tak bisa disamakan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun lembaga terakhir ini membawa gagasan-gagasan Islam liberal.

Islam liberal lebih baik dedefinisikan sebagai "mazhab pemikiran", atau "manhaj al-fikr". Tetapi, kata "mazhab" pun sebetulnya kurang tepat, sebab istilah itu mengandaikan adanya suatu keseragaman serta metodologi yang jelas. Dalam pemikiran Islam liberal, terdapat perbedaan pandangan yang sangat signifikan mengenai beberapa isu. Meskipun demikian, ada sejumlah titik temu dalam beberapa hal.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak secara langsung kontradiktoris dengan arus-arus pemikiran yang lain. Seseorang bisa menganut mazhab pemikiran ini, seraya tetap menjadi seorang Syafii atau Asya'riyah, atau tetap berada dalam tradisi NU atau Muhammadiyah. Seseorang juga bisa berhaluan Islam liberal, seraya tetap menjadi seorang Shi'ah yang taat (contoh yang paling baik adalah Dr. Abdulkarim Soroush).

Sudah tentu, menggabungkan antara wawasan Islam liberal dengan ke-sunni-an atau ke-syi'ah-an, bisa menimbulkan penentangan dari dalam tradisi itu sendiri. Ini terjadi baik di kalangan Sunni atau Syi'ah sendiri.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak "mengendap" dalam satu organisasi, tetapi bisa masuk ke mana saja. Sebuah gagasan atau seperti udara: ia bisa masuk ke ruang manapun, dan bebas dihirup oleh siapapun yang hendak menghirupnya.

Oleh karena itu, mazhab atau, kalau istilah ini terlalu "tertutup", wawasan Islam liberal masuk ke ormas Islam manapun: NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan bahkan MUI sendiri. Lebih ekstrim lagi, wawasan ini bahkan, diam-diam, tanpa disadari bisa juga masuk ke dalam "diri" KH. Ma'ruf Amin sendiri.

Mendefinisikan Islam liberal sangat tidak mudah. Saya sendiri, sebagai "pelaku" dari gagasan ini, juga sulit mendefinisikannya. Sebetulnya, ini lumrah saja. Gagasan adalah sesuatu yang sifatnya "fluid", cair.

Apa yang disebut sebagai "Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah" (Aswaja) sebetulnya tidak sedefintif seperti yang disangka banyak orang. Apakah ciri-ciri ""Aswaja", bisa diperdebatkan panjang lebar, dan masing-masing orang bisa membawa wawasan yang berbeda-beda. Aswaja versi NU tentu beda dengan versi Lasykar Jihad atau kaum salafi. Begitu juga Aswaja versi KH. Ma'ruf Amin juga beda dengan KA. Said Aqil Siradj, dan seterusnya.

M'aruf Amin dan MUI, kalau tak salah, mencoba mendefinisikan Islam liberal secara longgar sebagai cara berpikir yang mendahulukan akal ketimbang teks. Definisi sangat longgar dan masih bisa diperdebatkan. Oleh segolongan Islam tertentu, NU bisa dikategorikan mendahulukan akal atau tradisi (lokal) ketimbang teks agama. Dalam debat soal asas tunggal dulu, sikap KH. Ahmad Shiddiq dan Gus Dur yang mau menerima asas tunggal dianggap sebagai kafir, karena melawan teks ajaran agama. Di mata Hizbut Tahrir pun, sikap NU yang menolak negara khilafah juga bisa dianggap mendahulukan akal dan tradisi ketimbang teks agama.

Tambahan pula, apakah benar bahwa pemikir Islam liberal mendahulukan akal ketimbang teks? Saya sendiri tak mempercayai kleim seperti ini. Tidak mungkin seorang Muslim, atau tepatnya semua pemeluk agama, meninggalkan teks Kitab Suci. Nasr Hamid Abu Zaid dikenal dengan pernyataannya bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks (hadharat al-nass). Pernyataan Abu Zaid ini bukan semacam kritik, tetapi deskripsi. Dengan kata lain, secara empiris, memang tidak mungkin seorang Muslim atau pemeluk agama manapun meninggalkan teks fondasional (al-nass al-mu'assis) yang menjadi dasar dari tradisi agama.

Jika seseorang mengatakan bahwa poligami adalah haram, apakah orang itu bisa disebut meninggalkan teks? Menurut saya, sama sekali tidak. Yang tepat adalah bahwa orang itu meninggalkan satu teks, seraya berpegangan pada teks lain. Ketika sekte Asy'ariyah yang diikuti oleh NU mengatakan bahwa Tuhan bisa dilihat dengan mata fisik manusia, maka ini pun bisa disebut sebagai "meninggalkan" teks (la tudrikuhu al-abshar wa huwa yudriku al-abshar"; teks Mu'tazilah), tetapi sekaligus berpegangan pada teks lain (wujuhun yauma'izin nadhirah, ila rabbiha nadzirah).

Jadi, definisi MUI mengenai Islam liberal itu sama sekali tak bisa dipegang, dan bisa dipakai untuk balik menyerang MUI atau NU sendiri. Definisi ini juga hanya menimbulkan kebingungan saja.

Memang harus diakui bahwa munculnya gagasan Islam liberal menimbulkan "iritasi" dan gangguan pada doktrin yang telah mapan. Kalangan tua sudah pasti tak menyukai gagasan ini. Tetapi, gagasan ini sulit dihindari, karena dinamika internal yang berlangsung dalam tubuh umat Islam sendiri, terutama dalam tubuh NU.

Anak-anak NU yang jumlahnya jutaan saat ini berbondong-bondong melanjutkan studi di IAIN dan perguruan tinggi umum. Sudah tentu, di sana mereka akan mempelajari filsafat, ilmu dan gagasan-gagasan baru. Karakter perguruan tinggi sangat beda dengan pesantren di mana otoritas kiai memegang peran penuh sehingga bisa mengontrol pemikiran murid. Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa mendapatkan kesempatan yang luas untuk menjelajah ide yang bermacam-macam. Konsekwensinya, anak-anak muda Islam ini, termasuk anak-anak NU, akan membangun suatu pemahaman keislaman dan kesunnian yang berbeda dengan generasi tua.

Anak-anak NU yang belajar di Timur Tengah (Timteng) pun akan mengalami hal yang sama. Setelah berada di Timteng, mereka akan mendapatkan bahan bacaan yang beragama. Belum tentu pemahaman kesunnian yang mereka dapat di pesantren atau NU dulu akan sama dengan bacaan-bacaan baru yang mereka peroleh. Setelah mereka pulang, mereka tentu akan mengemukakan pemahaman yang berbeda dengan tradisi yang sudah ada.

Belum lagi jika diperhitungkan anak-anak muda NU yang belajar di perguruan tinggi umum atau di Barat. Mereka akan bersinggungan dengan literatur yang sama sekali berbeda.

Kenyataan-kenyataan ini akan dengan sendirinya membawa perubahan-perubahan yang tak terhindarkan (al-taghayyur al-muhattam) dalam tradisi keislaman, kesunnian dan ke-NU-an itu sendiri. Jika perubahan-perubahan ini hindak dihindarkan sama sekali, maka cara terbaik adalah menghentikan secara total anak-anak NU yang ingin belajar di perguruan tinggi, dan mengurung mereka di pesantren. Tentu opsi ini adalah opsi totaliter yang mustahil ditempuh. Tak mungkin kita mencegah keragaman bidang-bidang studi yang dimasuki oleh anak-anak NU; keragaman yang akhirnya juga menimbulkan keragaman cara pandang dan penafsiran.

Oleh karena itu, pernyataan KH. Ma'ruf Amin yang hendak "membersihkan" NU dari unsur-unsur liberal saya pandang sebagai pernyataan yang tak layak dikemukakan oleh petinggi NU. Pernyataan ini hanya layak dikatakan oleh orang-orang Islam radikal seperti Abu Bakar Ba'asyir. Saya yakin "mutu keilmuan" KH. Ma'ruf Amin jauh lebih baik ketimbang Ba'asyir.

Saya menghendaki bahwa NU saat ini bisa menjadi "kaldron" yang dapat menampung segala bentuk keragaman pendapat dan penafsiran Islam. Peta sosiologis anak-anak muda NU saat ini memeperlihatkan bahwa mereka menempuh pendidikan yang sangat beragam yang dengan sendirinya akan membawa perubahan-perubahan dalam cara anak-anak muda NU melihat tradisi kesunnian dan ke-NU-an. Ini adalah gerak alam yang tak mungkin dicegah.

Jika "logika" yang dipakai oleh NU adalah "membersihkan", bukan membuka dialog, maka NU akan kehilangan kesempatan besar untuk menjadi wadah pengolahan ide-ide Islam yang kreatif.

Akhir-akhir ini, saya mendengar sejumlah kiai yang resah karena pemikiran anak-anak muda NU yang dianggap "liar" dan keluar dari tradisi Aswaja. Tetapi, yang mengherankan saya adalah bahwa dari pihak NU sendiri jarang ada usaha untuk memfasilitasi keragaman pendapat ini. Yang muncul malah wacana "pembersihan". Wacana ini hanya akan membuat NU teralienasi dari basis sosialnya di kalangan anak-anak muda yang mulai bergairah untuk bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru.

Saya masih bangga menjadi orang NU karena inilah organisasi yang melahirkan orang-orang seperti Gus Dur yang membawa angin segar dalam pemikiran keislaman. Jika warisan Gus Dur pudar sama sekali, dan kemudian yang tersisa adalah wacana "pembersihan" seperti yang diutarakan oleh KH. Ma'ruf Amin ini, maka saya khawatir pelan-pelan NU akan meniru gaya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) atau ormas-ormas "radikal" lain.

Saya khawatir...

Wassalam,

Ulil A. Abdalla
Department of Near Eastern Languages and Civilizations Harvard University.

 

2 comments:

Sulton Ruentam said...

surat ini juga untuk saudara-saudara muslim yang yang berpikir jernih lain....

chalim said...

Saya belum paham benar apa tujuan JIL ? a. Mendakwahkan Islam agar Islam makin banyak dianut umat, atau b.mau merubah cara berpikir orang2 Islam, atau c. melakukam upaya2 politik agar negara Indonesia jadi negara sekuler ?