Tuesday, August 14, 2007

Agama dalam Bernegara ( 1 )

Oleh :A Qodri Azizy

Mantan Rektor IAIN Walisongo, Sekretaris Kementerian Kesra

Hubungan negara dan agama telah menjadi isu yang selalu muncul sampai kini. Bahkan, di negara sekuler, isu tersebut tetap saja kadang-kadang muncul. Negara-negara secular, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea Selatan, dan banyak negara di Eropa telah mengambil sikap untuk memisahkan negara dan agama. Agama di negara-negara itu pada umumnya bukan Islam.

Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim barangkali hanya Turki (ada yang menyebut termasuk Tunis) yang telah memutuskan dirinya sebagai negara sekuler. Dengan posisi demikian, garis pembatasnya telah diambil dengan hitam putih, ketika berurusan dengan agama. Negara sama sekali tidak diperkenankan mencampuri, mengurusi, menfasilitasi, membantu, dan sejenisnya terhadap agama.

Ada perbedaan mendasar doktrin agama kaitannya dengan negara. Umumnya menganggap bahwa doktrin agama Kristen, khususnya Katolik, menempatkan agama sebagai hal terpisah dari negara. Doktrin seperti ini juga telah melalui sejarah panjang di Eropa, termasuk melalui konflik. Toh dalam realita, sering sulit dipisahkan, setidaknya ketika dilihat dari segi nilai-nilai yang bersumber dari agama, keberadaan agama di tengah kehidupan negara.

Sedangkan dalam Islam, pemikiran yang dikembangkan sampai kini adalah tidak adanya pemisahan antara negara dan agama. Doktrin tentang Islam dan politik seperti ini sering salah implementasi. Akibat kesalahan inilah, maka terjadi konflik atas nama agama. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah memproklamirkan berdirinya sebuah negara. Namun, praktik kehidupan bermasyarakat Nabi sering dijadikan contoh tentang sistem kehidupan bernegara.

Setelah Nabi wafat, terjadi perdebatan tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan beliau. Ada dua hal yang sangat menarik. Pertama, usul Anshar agar ada pemimpin di masing-masing kelompok berujung pada kesepakatan akhir bahwa pimpinan cukup satu. Kedua, yang terjadi adalah pemilihan dan bahkan voting untuk memilih pengganti Nabi: sebuah proses yang sangat modern. Pada akhirnya Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Nabi.

Dalam waktu yang tidak lama, ada beberapa kelompok yang tidak mengakuinya sehingga mereka ini tidak tunduk secara total, dengan menolak membayar zakat. Sebagai jawaban pemerintahan pusat, Abu Bakar menumpas kelompok-kelompok itu, sehingga tidak ada lagi kelompok yang tidak tunduk pada pemerintahan pusat. Ini memberi arti bahwa pemerintah pusat mempunyai otoritas untuk menumpas kelompok atau daerah yang tidak mematuhinya.

Proses seperti ini tidak diulang pada waktu menentukan pengganti Abu Bakar. Umar bin Khattab waktu itu justru bermula ditunjuk oleh Abu Bakar untuk menggantikannya. Semua pembesar waktu itu menerimanya. Pemilihan Utsman bin Affan sebagai khalifah untuk menggantikan Umar juga menggunakan cara yang berbeda. Proses ini diawali dengan pembentukan formatur oleh Umar untuk kemudian memilih satu dari anggota formatur tersebut, kecuali anak Umar sendiri, Abdullah bin Umar. Abdullah bin Umar tidak diperkenankan untuk dipilih. Utsman bin Affan kemudian terpilih menjadi khalifah ketiga. Ini juga berbeda dengan penentuan Ali sebagai khalifah berikutnya. Namun, pada masa ini kondisi politik sangat tidak kondusif. Mulailah sejarah kelam dalam dunia Islam. Kekhalifahan berikutnya adalah Daulah Umawiyyah dan Daulah Abbasiyyah.

Embrio negara-bangsa
Adalah Imam Al Haramain Al Juwaini yang pertama kali berpendapat tentang diakuinya keberadaan negara lebih dari satu dan sama-sama diakui sah dengan alasan tempatnya berjauhan. Ini diilhami oleh realita bermunculannya unit-unit kecil yang mempunyai kekuasaan. Terlebih lagi dengan berdirinya kekhalifahan baru yang berasal dari keturunan Daulah Umawiyah di Granada Spanyol, yang merupakan pelarian dari Daulah Umawiyah di Siria.

Kerajaan ini yang mewariskan beberapa peninggalan terkenal sampai kini, antara lain Al Hamra. Dengan adanya kerajaan di Spanyol ini berarti telah berdiri dua kekhalifahan besar. Bukan hanya adanya keberadaan Umawiyyah di Spanyol, namun dalam praktik masa-masa akhir Khilafah Abbasiyah telah terjadi perubahan yang signifikan. Khilafah Abbasiyah hanya sebagai simbol sentral. Yang berkuasa adalah pemerintahan daerah. Lalu bagaimana dengan negara-bangsa? Para ulama tidak banyak yang membahas secara meyakinkan. Kita semua sadar bahwa pada abad ke-16 sampai dengan pertengahan abad ke-20 dunia Islam dijajah oleh kekuatan Eropa, yang pada abad tengah masih disebut sebagai dark ages. Sementara itu Islam telah memperoleh kemajuan di banyak bidang. Saya setuju dengan pendapat bahwa Islam di Eropa telah menjadi intermediate civilization antara peradaban kuno dan modern, yang berarti telah mengantarkan Eropa untuk memasuki abad modern.

Montesqieu, Lock, dan Rousseau dalam beberapa karyanya telah banyak mengambil pelajaran dari Islam atau hasil pemikiran ulama Islam. Setelah lepas dari cengkeraman penjajah, banyak sekali lahir negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam sebagai negara-bangsa, baik berupa kerajaan maupun republik. Saya kira tidak ada alasan yang rasional untuk mengatakan bahwa beberapa negara-bangsa itu dianggap tidak sah.

Siyasah Islamiyah Dalam waktu bersamaan, doktrin siyasah Islamiyah (politik Islam) juga masih saja mengikuti pemikiran ulama yang mendasarkan pemikirannya pada masa menurunnya/kehancuran kekhalifahan Islam. Oleh karena itu, ketika membicarakan teori politik Islam (fiqh siyasah), masih saja terhenti pada pembahasan negara yang berlaku hukum perang antara Islam dan non-Islam atau kafir, negara Islam, dan negara atas dasar perjanjian. Kalau kita perhatikan sejarahnya, kajian Islam dan kerja keilmuannya yang terjadi adalah eklektik dalam hampir semua institusi dan realitas. Tambahan lagi kalau kita perhatikan, di masa Nabi pun tidak menggunakan nama formal, seperti daulah Islamiyah atau sejenisnya. Hal yang sama juga yterjadi di masa kekhalifahan. Hal-hal seperti ini yang harus diselesaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan tetap komitmen dengan ajaran Islam.

Sistem negara-bangsa adalah realitas, yang berarti harus dijawab secara realistis dan empirik. Kalau terjadinya negara lebih dari satu dianggap sah, sebagaimana uraian di atas, maka setelah melalui masa penjajahan dan kemudian lahir beberapa negara-bangsa, menurut saya adalah sah saja dari sudut pandang agama. Negara-bangsa menjadi pengembangan konsep keluarga yang harus saling menjaga dan membantu untuk kehidupan yang semakin baik. Terlebih lagi dengan hadirnya globalisasi, perubahan topik pembahasan dan penekanan esensi pembahasan mau tidak mau harus disesuaikan dalam rangka mewujudkan Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam.

Ikhtisar
- Hubungan agama dengan negara selalu diwacanakan, termasuk di negara sekuler.
- Islam memandang bahwa negara dan agama itu berada dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
- Rasulullah SAW sendiri tidak pernah memproklamirkan berdirinya sebuah negara.
- Atas dasar itu, sistem negara-bangsa adalah realitas yang harus pula dijawab dengan realistis dan empiris

No comments: