Oleh Achmad Munjid*
Penggerudukan terhadap Lembah Karmel di Cianjur, Jawa Barat, oleh sejumlah kelompok umat Islam beberapa hari lalu (Tempo Interaktif, 20 Juli) telah memaksa Komunitas Tritunggal Mahakudus mengurungkan konferensi internasional bertajuk “Kobarkan Api Kristus”, yang hendak mereka gelar pada 24-29 Juli 2007.
Bagi saya, peristiwa ini alamat buruk tentang kian pudarnya toleransi di tengah masyarakat kita. Sekaligus, ini adalah ancaman serius terhadap pluralitas kehidupan sosial kita yang mendesak untuk diatasi.
Betapapun, peristiwa Lembah Karmel tersebut adalah cermin dari watak pasang-surut hubungan antarkomunitas agama, terutama Muslim-Kristen, di Tanah Air yang dipengaruhi macam-macam faktor. Karenanya, faktor-faktor itu, berikut kaitannya satu sama lain, perlu dikenali dengan cermat jika antagonisme antarpemeluk agama hendak dihindari. Dalam kasus Lembah Karmel, sekurangnya empat faktor berikut perlu diperhatikan.
Pertama, corak keberagamaan. Kita tahu, bersama Banten, Garut, Tasikmalaya dan beberapa wilayah lain, Cianjur adalah daerah yang memberlakukan peraturan daerah syariah. Penelitian International Center for Islam and Pluralism atas 20 pesantren di 10 kabupaten pada 2005 lalu mengungkapkan, bahwa umat Islam di sejumlah wilayah Jawa Barat, termasuk Cianjur, memang memiliki corak keberagamaan yang cenderung normatif atau formal. Ini sekaligus sedikit menjelaskan mengapa dulu gerakan Darul Islam berhasil membangun kantong-kantong kekuatan di sana.
Perlu ditegaskan, kenormatifan atau formalisme keberagamaan ini bukanlah kesimpulan yang bisa digeneralisasi untuk menilai sebagian besar muslim Jawa Barat, bahkan Cianjur. Ia juga bukanlah watak kultural yang secara historis diandaikan tidak berubah. Poin saya: laku kerasnya perda syariah di banyak wilayah Jawa Barat tentu mengucapkan adanya kebenaran tentang kuatnya kecenderungan formalisme agama di sana. Ini perlu disadari jika pergaulan sosial yang menyangkut aspek agama hendak dikembangkan secara konstruktif.
Kedua, faktor permainan politik. Yang lebih peka menangkap kecenderungan tersebut biasanya justru kaum politikus. Sebab, formalisasi agama memang empuk sebagai komoditas politik. Tapi jelas pula, di tengah kemajemukan masyarakat kita, ia sungguh amat rentan memicu konflik. Di Cianjur, komitmen pada perda syariah yang kemudian dirumuskan sebagai Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah (Gerbang Marhamah) telah mengangkat sekaligus menyingkirkan Wasidi Swastomo sebagai bupati (periode 2001-2006).
Alih-alih meraup dukungan dari semua golongan, akibat mengeluarkan izin perluasan Lembah Karmel pada semester terakhir masa jabatannya, oleh kalangan muslim pendukungnya ia justru dianggap telah mengkhianati komitmennya pada proyek Gerbang Marhamah. Akibatnya, ia tak hanya gagal meraih kursi bupati periode berikutnya, hubungan Muslim-Kristen di Cianjur pun memburuk. Penggerudukan terhadap lokasi wisata ziarah keagamaan itulah buktinya.
Ketiga, kekurangpekaan para pemimpin agama. Dalam kasus Lembah Karmel, bisa jadi sejumlah unsur berikut ini telah membentuk kombinasi khas yang bersifat kebetulan: kegersangan batin kalangan menengah-atas (segmen utama pengunjung Lembah Karmel), tawaran penyembuhan dan pesona kehidupan rohani komunitas Katolik beraliran Karismatik itu, latar etnis pendiri utama komunitas Tritunggal Mahakudus, serta lingkungan asri berhawa sejuk pegunungan. Semua itu mendukung terbentuknya Lembah Karmel sebagai oasis spiritual orang-orang kaya dan “istana pertapaan” yang hampir ideal.
Namun, bukankah di tengah dusun-dusun berpenduduk mayoritas muslim yang rata-rata miskin, arsitektur khas Kristen yang berdiri megah di area puluhan hektare dan hilir-mudik kendaraan mewah para pengunjungnya sangat potensial menyulut kecemburuan? Tentu masyarakat sekitar bukan tidak diuntungkan secara ekonomi. Tapi, jika faktor kecemburuan ini dibiarkan, ia menjadi bara dalam sekam yang dengan mudah terus membesar.
Hal yang sama juga terjadi ketika dilakukan entah oleh pihak muslim ataupun kelompok lain. Islamic Center di Manokwari, yang menyulut pengibaran bendera Kota Injil beberapa waktu lalu, adalah contohnya. Lagi pula, di tengah kubangan kemiskinan sebagian besar umat, mengapa kita harus begitu mementingkan pembangunan “istana peribadatan” yang kelewat megah? Bukankah Yesus Kristus dan Nabi Muhammad justru hidup dan mati dalam keadaan miskin?
Dalam kehidupan sosial serba sulit seperti sekarang ini, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin agama yang memiliki kepekaan sosial, baik dalam kaitannya dengan kenyataan internal umat sendiri maupun dalam hubungan dengan komunitas lain.
Keempat, kurangnya komunikasi terbuka antarkomunitas. Kejadian Lembah Karmel sekaligus memperlihatkan betapa komunikasi antarkomunitas yang berlangsung selama ini bersifat amat terbatas, sebatas permukaan, semu, dan karenanya sama sekali tidak memadai. Akibatnya, kecurigaanlah yang lebih menjadi mekanisme relasi antarkelompok. Dalam situasi demikian, informasi tentang pihak lain sering kali beredar secara sepotong-sepotong, manipulatif, salah, dan menyesatkan. Pihak-pihak yang berbeda saling berbicara baru ketika timbul soal untuk dipercekcokkan.
Saya hampir yakin, ratusan orang yang menggeruduk Lembah Karmel itu digerakkan terutama oleh informasi yang menyesatkan atau kabar yang sengaja digemparkan buat menyulut bara ketegangan yang sudah lama tersimpan. Lebih celaka lagi, akibat deraan krisis yang berkepanjangan, kini bermunculan kelompok-kelompok agama yang sibuk mencari dalil demi mengumbar kemarahan dan menebar kebencian atas siapa saja yang bisa ditaklukkan.
Toleransi dan Dialog
Mari kita akui sekarang bahwa bahkan syarat minimal terpeliharanya masyarakat yang plural pun ternyata kini tidak kita punyai: toleransi. Toleransi yang dimaksud di sini adalah apa yang disebut John Rawls (1987: 12) sebagai “metode pengelakan” (method of avoidance) bersisi ganda. Yakni, mengelak dari pemaksaan keyakinan sendiri atas orang lain dan tidak menolak orang lain memeluk dan mempraktekkan keyakinan mereka.
Padahal toleransi ini saja tidak cukup untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat plural yang demokratis. Agar toleransi tidak berubah menjadi sarana alienasi, ia harus disertai pergumulan kritis (critical engagement) setiap pihak dalam rangka membentuk dunia bersama yang terbaik. Untuk itu, kita butuh dialog terbuka yang bertumpu pada solidaritas intelektual dan sosial sekaligus (David Hollenbach, 1998: 13-5).
Solidaritas intelektual adalah kehendak yang sungguh-sungguh dan adil dalam memperlakukan kehadiran pihak lain, termasuk dalam berdebat. Sedangkan solidaritas sosial adalah kehendak tulus untuk menerima pihak lain sebagai sesama warga berikut hak-hak dan kewajiban yang harus dipelihara.
Dalam kaitan inilah sesungguhnya kita amat membutuhkan komunikasi dan dialog antaragama, baik di kalangan para pemimpin maupun kaum awam. Bagi bangsa yang tengah terseok akibat lilitan rupa-rupa persoalan, dialog agama yang kita perlukan bukan terutama percaturan, apalagi perbantahan, teologis dan filosofis, melainkan dialog yang dalam istilah Paul F. Knitter (1995:17) bersifat soteriocentric. Yakni dialog, baik verbal maupun sosial, yang terutama bertujuan mengatasi pelbagai persoalan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab bersama setiap komunitas agama, seperti kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, kesenjangan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan sosial dan gender, kerusakan lingkungan, serta perdagangan manusia dan lain-lain.
Dengan bersama-sama menggarap isu nyata bersama itulah kita akan mampu menerjemahkan hakikat nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial. Kehadiran dan perjumpaan dengan pihak lain bukan saja tidak menjadi ancaman, tapi menjadi anugerah yang wajib disyukuri sepenuh hati dalam proses indah mendendangkan lagu kebenaran.[]
*Kandidat Doktor Bidang Religious Studies, Temple University, Philadelphia, USA
(Koran Tempo, Senin, 30 Juli 2007)
No comments:
Post a Comment