Saturday, August 18, 2007

“Takdir-Sosial” Heterogenitas Dan Upaya Memahami “Yang Lain”


Oleh : YUDHIS M BURHANUDIN*

BAHWA Negara ini adalah kenyataan yang terdiri atas keberagaman, itu sudah mafhum adanya. Dr. Yudi Latif, intelektual muda dari Universitas Paramadina Jakarta, pernah menyatakan bahwa bangsa ini adalah “Nations In Nation”. Kenyataannya memang demikian. Sebuah kenyataan yang niscaya. Tapi apakah itu disadari? Inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam Seminar Nasional “Multikulturalisme, Agama, Dan Etnisitas” yang berlangsung di Gedung Widya Sabha, Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Denpasar, Bali pada hari Jumat, 10 Agustus 2005.

Tidak banyak yang sadar bahwa heterogenitas (keberagaman) bangsa ini sebetulnya adalah kekayaan. Bagi Prof. Dr. Nengah Bawa Atamaja, Guru Besar Antropologi dari Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA), Singaraja, Bali, heterogenitas adalah berkah. Sementara Prof. Dr. Munir Mulkhan, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, heterogenitas adalah “Takdir-Sosial”. Prof. Dr. Munir Mulkhan dan Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja adalah narasumber dalam diskusi yang berlangsung selama dua jam ini.

Seminar ini digagas oleh Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Denpasar – Bali. Tujuannya adalah untuk mengungkap dan kemudian memahami kejelasan Multikulturalisme, Agama, dan Etnisitas sebagai wujud heterogenitas masyarakat dan kebudayaan bangsa Indonesia. Menurut Penyelenggara, yang dalam hal ini diwakili oleh Drs Wayan Budi Utama, MSi, pewacanaan ini masih relevan dan bahkan sangat penting agar tercipta sebuah pengelolaan keragaman masyarakat dan kebudayaan yang lebih produktif. Dengan kata lain, keragaman bangsa menjadi sumber produktifitas untuk mendorong bangsa ini lebih maju dan bisa setaraf dengan negara-negara lain.

Prof. Dr. Munir Mulkhan memulai presentasinya dengan panganjali—salam pembuka menurut Hindu-Bali—yaitu Om Swastiastu. “Saya bukan orang Hindu tetapi mencoba menghormati ke-Hindu-an,” ujarnya. Dalam kesempatan ini, ia menyoroti multikulturalisme dari perspektif filosofi the other atau otherness, yang dalam istilah Jawa-nya ia sebut liyan. “Otherness lebih pas diterjemahkan liyan dalam bahasa Jawa,” kata Munir Mulkhan. Menurutnya, keberliyanan lebih penting dari homogenitas mengingat bahwa “saya lebih berarti karena ada orang lain”. Dari perspektif ini, menurut Munir Mulkhan, maka “Orang Islam (menjadi) lebih berarti karena ada orang Hindu, ada orang Kristen, ada orang Katolik, atau yang lainnya.” Ia pun mengakui bahwa selama ini, the other atau yang liyan itu ditindas.

Bahwa heterogenitas adalah sebuah takdir-sosial, demikianlah pengakuan Munir Mulkhan. Ia saat ini memeluk Islam, menurut pengakuannya, karena kebetulan saja ia terlahir di tengah-tengah umat Islam; andai ia lahir di Bali kemungkinan ia pun pasti (menjadi) orang Hindu.

Selain itu, Munir Mulkhan juga menyinggung soal keberagamaan sebagian orang sekarang ini. “Kadang-kadang keberagamaan kita lebih materialistik dari pada Karl Marx,” ujarnya. Dia mencontohkan bahwa ketika dia berada di Kanada dan Singapura, dia menyaksikan Islam yang hidup dan, meminjam istilah Talcott Parsons, di-internalisasikan (internalized) ke dalam tindakan. Kejujuran membantu orang lain misalnya, atau tidak tampaknya sampah alias terjaganya kebersihan umpamanya, adalah dua contoh kecil bagaimana prilaku orang-orang di kedua negara ini sangat Islami dari orang Islam yang ada di negeri ini. Ia sengaja menyitir contoh ini mengingat sebuah kejujuran terhadap orang lain, apapun agamanya, adalah bagian dari multikulturalisme.

Gagasan Multikultur, sebagaimana diakui oleh keduanya, berasal dari Barat. Namun, menurut keduanya, kita harus mengakui bahwa bangsa-bangsa Barat memang sudah sangat maju pola pikirnya sehingga tidak masalah jika gagasan ini (mulikulturalisme) dipinjam. Ini juga adalah bagian dari kejujuran yang merupakan bagian penting dari multikulturalisme. Hanya saja bagi Bawa Atmaja, tidak semua yang datang dari Barat mesti ditelan mentah-mentah. Makanya perlu diadaptasikan, termasuk gagasan ini.

Nengah Bawa Atamja di sisi lain menyoroti wacana multikulturalisme dari perspektif Antropologi. Secara faktual, menurutnya, kondisi masyarakat kita memang heterogen, bahkan Bali, yang dari luar dinilai homogen pun, sebetulnya heterogen. Di Bali misalnya, orang Bali terbagi dalam dua bagian: orang Bali Majapahit dan orang Bali Aga. Salah satu faktanya adalah struktur kepengurusan desa adat di Bali tidak seragam antara satu wilayah (daerah) dengan wilayah lainnya. Belum lagi misalnya jika orang Bali terbagi-bagi lagi ke dalam pengelompokan-pengelompokan kecil, seperti pengelompokan menurut Wangsa (stratifikasi sosial menurut kedudukan dan peran- red), Soroh (leluhur-red), dan sub-sub agama—aliran. Contohnya ketika Pilkada Kabupaten Buleleng beberapa waktu yang lalu, politik-politik Soroh pun ikut bermain.

Menurutnya, multikulturalisme adalah gagasan ideal yang sebetulnya dalam kenyataan seringkali meleset. Dengan kata lain, antara idealitas dan realitas tidak singkron satu sama lain. “Antara teks dengan teks sosial tidak berhubungan,” ujar Nengah Bawa Atmaja. Ia mencontohkan bahwa di era sekarang ini (Pasca Reformasi) terjadi hiperotonomi. Ini adalah dampak dari penguatan etnosentrisme yang kemudian, “Menimbulkan gerakan-gerakan etnik yang satu meng-other-kan etnis yang lain,” ujarnya.

Salah satu contohnya, menurut Nengah Bawa Atmaja, saat ini orang Bali menyadari the others-the others yang ada di Bali meskipun tidak seradikal di Ambon atau di Kalimantan. Artinya, menurut dia, disadari atau tidak, telah terjadi semacam kesadaran kolektif orang Bali akan keberadaan “yang lain”. Kesadaran yang cenderung negatif ini adalah salah satu ekses bagaimana pergulatan Politik-Identitas-Lokal semakin menguat saat ini. Di banyak tempat di Bali saat ini, ia seringkali menjumpai pengumuman: “Pemulung Dilarang Masuk”. Ini diperuntukkan bagi “yang lain dari kita”. Ini, menurutnya, juga berimbas pada keberadaan the other dalam konteks perebutan ekonomi.

Idealnya, heterogenitas bangsa dan atau perbedaan-perbedaan yang faktual dalam konteks bangsa dan negara ini tidak perlu dipersoalkan. “Eksistensi Indonesia adalah penghargaan yang setingi-tingginya kepada Multikultur,” ujarnya. Namun pada kenyataannya itu tidak demikian, termasuk di Bali di mana selama ini terlihat seakan-akan aman dan homogen. “Ini (heterogenitas-red) tidak masalah, namun masalahnya adalah ketika (kita-red) tidak mampu menghargai perbedaan,” ujarnya. Itulah sebabnya, Bawa Atmaja yang sekarang sedang menggodok konsep Pendidikan Multikultur, menyisipkan gagasan-gagasan Multikultur ke dalam beberapa mata pelajaran. []

* ADALAH ESAIS BERDOMISILI DI DENPASAR, BALI

No comments: