Thursday, August 9, 2007

Mengekspor Islam Indonesia


Oleh : Azyumardi Azra

Judul Resonansi kali ini mungkin bisa menimbulkan tanda tanya bagi sebagian orang. Tapi, dalam pengalaman saya beberapa tahun terakhir, terlihat kian banyak kalangan luar negeri yang berharap agar model Islam yang mapan dan berkembang di Indonesia dapat disebarkan ke bagian-bagian lain Dunia Muslim. Jadi, meski dalam beberapa tahun terakhir ada terorisme dan kekerasan atas nama Islam, tetapi Islam Indonesia bagi banyak kalangan di luar negeri --baik di Timur Tengah maupun di Barat--tetap merupakan Islam yang distingtif, yang lebih menjanjikan bagi masa depan.

Salah satu distingsi Islam Indonesia itu adalah dalam bidang pendidikan Islam. Indonesia adalah negara yang memiliki paling banyak lembaga pendidikan Islam sejak dari rangkang, surau, pondok, pesantren, raudhatul atfal, TK Islam, diniyah, madrasah, dan sekolah Islam; sejak tingkat kanak-kanak sampai pendidikan tinggi baik milik swasta maupun pemerintah. Dalam bacaan dan kunjungan saya ke berbagai wilayah Dunia Muslim, saya tidak menemukan satu negara Muslim manapun --termasuk di Timur Tengah sekalipun-- yang memiliki kekayaan kelembagaan pendidikan Islam yang begitu banyak dan beragam seperti Indonesia.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia ini, seperti pernah dikemukakan Indonesianis Robert Hefner, merupakan model dari progresivisme Islam; persisnya Islam yang berorientasi untuk mencapai kemajuan dengan melihat ke depan, tidak ke belakang. Karena itulah kian banyak pengamat Timur Tengah dan Barat yang melihat bahwa masa depan Islam banyak terletak pada Islam Indonesia.

Sayangnya, Indonesia tidak terlalu aktif 'mengekspor' Islam Indonesia ke negara-negara lain. Ini berbeda dengan Iran pasca-Khomeini yang aktif menyiarkan Syiah di berbagai wilayah Dunia Muslim. Atau Arab Saudi yang gemar menyebarkan Wahabisme ke berbagai tempat; meski kedua paham Islam itu tidak berhasil mendapat pijakan kuat di Indonesia. Karena itulah pihak-pihak yang berminat dengan Islam Indonesia 'terpaksa' melakukan upaya-upaya sendiri untuk mengembangkan model Islam Indonesia di negeri mereka masing-masing.

Contoh terakhir dalam hal ini adalah Profesor John Ingelson, Indonesianis, yang juga Kepala Bidang Kerja Sama Universitas Western Sydney, Australia, yang berkunjung ke Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah 19 Juli lalu. Dalam kunjungannya itu, Ingelson menyatakan niatnya bekerja sama dengan UIN Jakarta, khususnya Sekolah Pascasarjana dalam rangka mengembangkan program Islamic Studies yang segera dibuka Universitas Sydney Barat secara konsorsium dengan Universitas Melbourne dan Universitas Griffith, Brisbane.

Kenapa dengan UIN Jakarta? Ingelson melihatnya dalam perspektif Islam Indonesia secara keseluruhan. Pertama-tama, tentu saja karena Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, yang kebetulan juga merupakan tetangga terdekat Australia. Sayangnya, tidak banyak orang Australia yang tidak tahu, bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Lagi pula, ketika orang-orang Australia datang ke Indonesia, sebagian besar mereka datang ke Bali, yang mayoritas beragama Hindu. Jika mereka datang ke daerah lain di Indonesia, mereka melihat Islam yang ramah dan damai.

Kedua, bagi warga Australia umumnya, Islam identik dengan Arab, atau Timur Tengah. Apa yang mereka saksikan di televisi dan media lainnya memperlihatkan terus terjadinya konflik dan kekerasan, sehingga banyak di antara mereka mengaitkannya dengan Islam. Dan ini seolah menular ke wilayah-wilayah lain di mana terdapat para imigran Muslim --seperti Australia misalnya-- yang datang dari berbagai kawasan Arab dan Timur Tengah yang di tempat baru mereka masih terus bertikai sesama mereka. "Orang-orang Islam ini, seperti orang Palestina dan Lebanon, bahkan tidak mau duduk sama-sama atau berbicara satu sama lain untuk memecahkan berbagai masalah yang mereka hadapi," ujar Ingleson.

Karena itulah dalam program Islamic Studies yang sedang ia siapkan, Ingelson melibatkan juga para pemimpin dan imam komunitas Muslim yang berbeda-beda untuk memfasilitasi terjadinya dialog dan saling pengertian di antara mereka. Dengan begitu, dapat tercipta suasana yang lebih kondusif, tidak hanya di antara umat Islam sendiri, tapi juga pada gilirannya dengan komunitas-komunitas lainnya di Australia.

Memang, sejak awal meningkatnya konflik di antara Barat dengan masyarakat Muslim tertentu, seperti di Afghanistan, Irak, Madrid, London, dan seterusnya, kian meningkat pula upaya-upaya untuk memahami Islam dan masyarakat Muslim secara lebih baik. Karena itulah muncul berbagai lembaga dan program baru menyangkut Islamic Studies di Dunia Barat. Indonesia dengan pengalamannya yang panjang dalam Islamic Studies, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi dapat memberikan sumbangan penting. Jika bisa digalang lebih intens lagi, maka ini merupakan satu bentuk daripada upaya untuk 'mengekspor' Islam Indonesia ke berbagai wilayah mancanegara. Dengan begitu pula, Islam Indonesia kian menjadi rujukan di tengah percaturan dan pergumulan dunia.

No comments: