Tuesday, August 14, 2007

Kemerdekaan Itu, Apa Artinya?


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Bahwa bangsa ini punya watak anti penjajahan asing, bukti historisnya berjibun. Perkataan 'jibun' tidak semata menunjukkan utang banyak, tetapi teman dari Kepulauan Natuna, juga menggunakannya dalam arti bertumpuk. Jadi, perasaan dan sikap anti penjajahan asing dimiliki seluruh suku bangsa yang kemudian tahun 1920-an mulai menggagas untuk mengikatkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Alangkah dahsyatnya gagasan itu yang dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dirinci dalam format: satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, Indonesia! Sumbangan Riau yang terbesar untuk kebudayaan kita adalah bahasa Indonesia, yang semula disebut bahasa Melayu.

Dalam bentuk suku-suku bangsa, usianya memang sudah puluhan kurun, tetapi sebagai bangsa Indonesia, belum sampai satu abad. Itulah alasannya mengapa Bung Karno dan para pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin: "Nation and character building," pembangunan bangsa dan karakter, karena memang belum kuat benar. Bangsa ini masih perlu dirawat oleh semua lapisan rakyat, bukan diruwat, sebagai kebiasaan paranormal menghadapi malapetaka. Rawatan inilah yang sering terabaikan setelah kita merdeka dalam rentang waktu 62 tahun.

Akibatnya bisa macam-macam, dari protes yang paling sederhana sampai pada keinginan memisahkan diri dari jiwa dan batang tubuh Republik Indonesia. Semuanya ini telah memakan korban, juga dari bentuk yang paling sederhana berupa bentrokan rakyat dengan aparat sampai perang saudara yang berkuah darah. Akar-umbinya adalah kebelumberhasilan kita menerjemahkan doktrin "pembangunan bangsa dan karakter" dalam cakupannya yang luas.

Apa itu? Tidak lain dari pengejawantahan Pancasila dalam format yang konkret, bukan sebatas wacana dan retorika. Termasuk perlu diintensifkan 'budaya saling menyapa' antaranak suku bangsa yang sangat beragam itu. Termasuk pemerataan keadilan dan kemakmuran, membongkar struktur kesenjangan, karena kemakmuran melimpah baru dinikmati oleh segelintir orang yang bertengger di pucuk piramida, sementara lautan kemiskinan dibiarkan terbentang luas, menghimpit mereka yang tak berdaya. Golongan ini terhenyak di dasar piramida yang jumlahnya masih sekitar 40 juta. Bagi si papa ini, merdeka atau terjajah tidak banyak bedanya.

Pembangunan bangsa dan karakter tidak saja menjadi agenda politik, tetapi dimensi sosial-ekonomi menjadi sangat mustahak. Konflik mendatar dan konflik menaik dapat ditelusuri musababnya pada kesenjangan sosial yang masih menganga. Makin jauh dari Jakarta makin terasa betapa rupiah kita menjadi barang langka karena sekitar 70 persen beredar di ibu kota yang penduduknya kurang dari lima persen dari 225 juta rakyat Indonesia.

Disparitas ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama, sebab bisul keretakan bangsa bisa meledak sewaktu-waktu. Kita tidak rela melihat bangsa ini berkeping-keping karena kegagalan kita merawatnya.

Dalam dialog saya dan Wapres HM Jusuf Kalla selama 50 menit di istana Wapres pada 1 Agustus 2007, kita banyak membicarakan masalah-masalah bangsa dan negara secara mendasar. JK tampaknya tetap optimistis akan kebangkitan Indonesia dengan syarat semua orang mau bangkit dan berpikir jernih, tidak hanya pandai saling menyalahkan. Tetapi, juga harus ditunjukkan sikap apresiatif terhadap segala usaha dan prestasi yang baik, siapa pun yang melakukan: pemerintah atau masyarakat.

Sikap "mutual distrust" (saling tidak percaya) mesti dihilangkan jika bukti menunjukkan bahwa cukup alasan untuk "mutual trust" (saling percaya). Tetapi jika menyangkut tragedi Lapindo, bagi saya tentu sangat sulit untuk menunjukkan "mutual trust" karena tidak tampak upaya yang benar-benar serius dari pihak yang terlibat untuk mengatasinya. Fakta lapangan menunjukkan di antara korban lumpur sudah banyak yang putus asa, karena tidak melihat tanda-tanda kapan drama kemanusiaan ini berakhir. Bukankah semuanya ini terjadi akibat kecerobohan pengusaha? Orang boleh saja disogok agar membisu, tetapi harus segera ada solusi.

Di saat kita sibuk merayakan hari kemerdekaan, bencana Lapindo jangan sampai terlupakan. Kemerdekaan juga mengandung makna tanggung jawab kemanusiaan untuk mereka yang teraniaya. Tidak ada gunanya seorang presiden dikabarkan berkantor di sana, jika tunasolusi.

Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa para pendiri bangsa dulu melawan penjajahan adalah untuk menyudahi penderitaan. Tetapi setelah kekuasaan berpindah ke tangan sendiri, mengapa penderitaan dan kemiskinan belum juga usai? Jika demikian faktanya, jangan-jangan penguasa baru itu masih meneruskan politik penjajahan atas teman sebangsa. Jika dulu 'londo tenanan', kini 'londo ireng' yang susunan kimia kekuasaannya setali tiga uang dengan penjajah. Semoga semua sadar tentang kesalahan dan dosa kita terhadap bangsa dan negara ini yang sekarang sedang berulang tahun ke-62 untuk mensyukuri kemerdekaannya. Dirgahayu Indonesia tercinta, semoga tetap utuh!

No comments: