Saturday, August 11, 2007

Poligami dan Jabatan


Cetak E-mail

Oleh: Salahuddin Wahid

Setelah melalui proses cukup lama yang disertai gonjang-ganjing, akhirnya Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif (ZM) harus lengser dari jabatannya karena di-recall PBR sebagai anggota DPR.

Menanggapi keputusan Presiden itu, ZM menyatakan bahwa Presiden SBY juga harus dilengserkan karena berdasar informasi yang dianggapnya sahih, SBY sebelum masuk Akabri telah menikah dengan perempuan lain. Timbul sejumlah pertanyaan. Apakah betul informasi tersebut? Dari mana info tersebut diperoleh dan apakah telah dilakukan investigasi cermat terhadap kebenaran info itu? Kalau info tersebut betul-betul sahih, apakah betul pernyataan ZM bahwa Presiden harus lengser? Apakah ZM dilengserkan semata-mata karena melakukan poligami? SBY membantah informasi ZM itu dan menyatakan bahwa itu adalah fitnah.

Karena itu, ZM dilaporkan ke Polda. Kita ingat bahwa menjelang Pilpres 2004, telah muncul isu semacam itu yang tidak didukung dengan data yang sahih. Kalau isunya sama dengan 2004 dan ZM tidak punya data yang betul-betul sahih, tampaknya pernyataan ZM itu bisa diabaikan. Tetapi, mungkinkah seorang Wakil Ketua DPR berani melontarkan pernyataan yang belum jelas kebenarannya? Kabarnya ZM punya bukti kuat berdurasi 40 menit yang telah disimpannya selama empat bulan dan telah diinformasikan kepada Ketua DPR. ZM melaporkan bukti itu secara resmi kepada pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan MK.

Kita tunggu saja bagaimana fakta sesungguhnya dari kabar burung itu. Seandainya info yang disampaikan Zaenal itu betul-betul sahih dengan data pendukung yang kuat, apakah lantas Presiden harus lengser? Info sumir itu mengatakan bahwa pernikahan itu dilakukan sebelum SBY menjadi Presiden RI, lebih dari 20 tahun yang lalu. Apakah relevan mengaitkannya dengan jabatan Presiden saat ini? Seandainya Presiden melakukan poligami sekarang, apakah bisa dilengserkan?

Menurut UU No 1/1974 tentang Perkawinan dan KHI, suami untuk bisa melakukan poligami harus mempunyai alasan, yaitu memenuhi kondisi khusus: 1) istri tidak bisa memberi keturunan; 2) istri menderita sakit permanen; 3) istri tidak bisa menjalankan fungsi secara biologis. Setelah kondisi tersebut terpenuhi, suami harus meminta izin dari istri pertama dan pengadilan agama. Sesuai dengan ketentuan itu, suami yang menikah lagi tanpa memperoleh izin dari istri pertama jelas melanggar hukum. Kabarnya, ZM telah memperoleh izin dari istri pertama untuk menikah dengan istri kedua. Apakah dia melanggar hukum?

Menurut saya, ZM melanggar hukum karena tidak mempunyai alasan yaitu tidak memenuhi syarat kondisi khusus untuk bisa menikah lagi. Padahal, untuk bisa memperoleh izin dari istri pertama, terlebih dahulu dia harus memenuhi syarat khusus itu sebagai alasan. Tampaknya ZM tidak menyadari bahwa dirinya telah melanggar hukum negara, walaupun secara hukum agama Islam dibenarkan. Ironis bahwa seorang wakil ketua lembaga pembuat UU tidak menghormati dan tidak (mau) memahami hukum. Mungkin ZM bertanya di dalam hati, mengapa hanya dia yang diberhentikan sebagai anggota DPR, padahal anggota DPR lain yang telah melakukan poligami yang menyatakan secara terbuka atau tidak, tidak dikenai sanksi yang sama. Pertanyaan itu wajar diajukan olehnya dan hanya bisa dijawab partai yang berhak melakukan recall terhadap mereka. Tampaknya, ada alasan lain bagi pemberhentian ZM, yaitu konflik internal partai.

***

Kembali pada pertanyaan, apakah kalau presiden, wapres, menteri, anggota DPR, pejabat tinggi, dll melakukan poligami saat menjabat, yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya? Di atas dijelaskan bahwa suami yang melakukan poligami tanpa mempunyai alasan berupa kondisi khusus sebagai syarat walaupun mendapat izin dari istri pertama, telah melanggar hukum. Tidak jelas bagi saya apakah pelanggaran hukum semacam itu adalah pelanggaran pidana atau bukan. Kalau tindakan itu adalah sebuah pelanggaran pidana, menurut saya yang awam hukum, sesuai UUD, pejabat tinggi negara harus lengser. Tidak jelas apakah anggota DPR/DPRD yang melakukan poligami harus berhenti atau tidak. Yang jelas, akan lebih baik bagi partai di mata pemilih perempuan, kalau memberhentikan anggota DPR/DPRD seperti itu.

Para ahli hukum, terutama yang perempuan, perlu memberikan pendapat tentang masalah itu. Merekalah yang harus melindungi perempuan dari ekses poligami. Memang masalah poligami di Indonesia adalah masalah yang rumit. Secara hukum agama tidak ada larangan eksplisit, tetapi secara hukum negara ada aturan yang tegas untuk membatasi walaupun tidak ada sanksinya. UU Perkawinan dibuat untuk melindungi kaum perempuan terhadap ekses dari poligami. Inilah saat yang tepat untuk melakukan sosialisasi tentang pemahaman yang benar mengenai UU Perkawinan. Juga untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat Islam bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum negara, bukan hukum agama. Hukum agama hanya berlaku di Indonesia bila diakomodasi hukum negara. Poligami memang tidak dilarang agama Islam, tetapi hukum negara sebenarnya melarangnya kalau tidak memenuhi syarat menurut hukum negara. (*)

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng

No comments: