Thursday, August 9, 2007

Teologi

Oleh : ALAMSYAH M DJAFAR

PEKAN lalu saya menghadiri sebuah diskusi di Jakarta bertajuk Teologi Pembebasan. Diskusi digagas beberapa kaum muda yang merasa gelisah dengan situasi Indonesia yang dirasakan serba mentok. Kekerasan agama meningkat; agamawan yang diharap mengurus umat justru aktif dalam kancah politik; masalah-masalah menyangkut publik seperti kemacetan atau sampah makin tak terkendali; belum lagi soal bencana yang datang silih berganti.

Dari sini Anda mungkin bisa meraba-raba, kemana sebetulnya diskusi mengarah. Saya merasa beruntung bisa menyimak detil-detil penjelasan Herry Priyono, dosen pada sebuah peguruan tinggi filsafat yang juga punya pengalaman dalam gerakan sosial. Ia bicara makna teologi dalam iman kristiani dengan sangat filosofis; bicara soal kebiasaan (habitus), tentang kaum intelektual negeri ini yang mirip selebritis, tentang gerakan sosial, dan tentang cara yang paling mungkin bisa kita lakukan untuk negeri ini.

Teologi bagi banyak orang, dan saya kira buat sebagian besar peserta diskusi itu, bisa menjadi alat mengatasi masalah. Namanya saja “teologi pembebasan”. Dalam iman kristiani, kata Romo Herry, begitu ia biasa disapa, teologi adalah pencarian iman atas nalar. Ya, nalar, sesuatu yang manusiawi. Nalar bisa dimaknai sebagai setiap masalah yang dihadapi manusia: kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan dan seterusnya. “Teologi adalah bahasa manusia, bukan bahasa tuhan,” kata romo Herry menandaskan.

Kalau ada teologi pembebasan, secara harafiah, kita bisa katakan tentu ada teologi yang tak membebaskan; teologi yang justru mengkungkung orang untuk berbuat lebih baik dan adil. Atas alasan itu beberapa tokoh filosof lantas “menghujat” agama. “Agama itu candu” atau “tuhan telah mati” begitu kalimat yang sering kita dengar. Sekarang nada kritik yang hampir sama juga sering muncul: “bangsa mayoritas muslim kok korupsinya paling rajin!”

Isu teologi pembebasan sebetulnya memang bukan isu baru. Teman di sebelah saya bilang, isu ini isu usang. “Sekarang sudah tak ada lagi teologi pembebasan,” katanya meyakinkan. Tapi saya kira sebagai usaha memperkaya wawasan isu apapun saya kira selalu menarik untuk dibincangkan.

Di Amerika Latin wacana ini muncul akhir 1960-an dan awal 1970-an bersama suburnya ideologi sosialisme. Ini semacam respon kuat “mendesak” agama, khusunya Kristen, berperan mengatasi masalah besar yang menimpa sebagian besar umatnya: penindasan, pemiskinan, keterbelakangan.

Tersebutlah nama Gustavo Gutierrez asal Peru, yang dianggap orang pertama merangkum paham ini dalam karyanya, Teologia de la Liberacion, 1971. Buku itu menjadi pemicu diskusi yang lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Nama lain, Juan Louise Sguondo dan John Sabrino, pastor yang cukup punya otoritas dan profesional secara akademis.

Setelah itu wacana dan gerakan ini menyebar ke beberapa negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Di Asia yang mungkin paling ekpresif ditunjukan orang-orang di Filipina yang mayoritas Katolik. People power menjatuhkan presiden Marcos. Kepada peserta diskusi Romo Herry menuturkan dirinya ada dalam kerumunan massa kala itu.

Di kalangan muslim Indonesia, tema ini muncul kira-kira tahun 80-an. Sejumlah nama tercatat gencar membicarakan ini di ruang-ruang diskusi. Ada pengamat politik Fachri Ali, Komarudin Hidayat, dan Dawam Raharjo. Tapi pengaruhnya seakan sekadar sebuah teori yang ampuh di ruang seminar, tapi tak bergaung di tindakan nyata. Mungkin orang membayangkan teologi itu bisa mendorong orang melakukan apa yang dilakukan orang-orang Iran di era 70-an melalui revolusi.

Kembali ke soal teologi dan problem sosial di tanah air sekarang. Lantas apa yang bisa kita perbuat dengan teologi, terutama teologi dalam iman Islam, yang juga saya yakini bisa berperan atas problem negeri ini? Forum agakanya belum terang benderang menjelaskan itu.

Setahu saya, soal teologi dalam tradisi Islam isu ini adalah isu krusial. Kita tahu pada akhirnya perbedaan di soal ini berujung konflik berdarah yang sudah dimulai sejak zaman sahabat. Dalam tradisi Islam teologi umumnya disepadankan dengan ilmu kalam, ilmu tentang kemahaesaan tuhan. Di sana “perdebatan panas” terjadi. Apakah hubungan manusia-Allah persis seperti boneka atau tidak, apakah Allah boleh disifati dengan sifat-sifat manusia, dan seterusnya. Saya sendiri tak begitu yakin apakah pengertian teologi bisa begitu pas disepadankan dengan ilmu kalam dalam Islam. Singkatnya masih butuh kerja keras untuk meyakinkan umat bahwa teologi atau soal keimanan adalah hal-hal yang sifatnya justru sangat manusiawi.

Lantas masihkan bisa diharapkan bahwa teologi dapat “dipakai” untuk merubah negeri yang masalahnya justru begitu kompleks? Dalam setting iman –saya meminjam bahasa ini dari Romo Herry—kita mungkin harus terus optimis bahwa teologi selalu punya peran. Jikapun dirasa tak efektif, perubahan tak selalu harus membawa-bawa teologi bukan? Perubahan bisa terjadi tanpa teologi, saya kira! []


No comments: