Sahadat
Mohamad Sobary
Revolusi terbesar di sepanjang sejarah manusia mencari Tuhannya—sebuah revolusi yang menjadi tonggak sejarah pembebasan sejati tetapi juga sekaligus sejarah penghambaan paling mulia—mungkin tercermin di dalam sahadat, atau dua kalimah sahadat.
Satu, "Aku bersumpah bahwa tak ada tuhan dalam bentuk dan nama apa pun lagi, selain Tuhan yang salah satu gelar Agungnya Allah". Dua, "Bahwa aku pun bersaksi, Muhammad itu sungguh utusan Allah".
Eyang semua umat beriman—Nabi Ibrahim A.S—dikenal dalam sejarah agama sebagai seorang "pencari", yang juga "dicari". Melalui sebuah proses panjang, sang "pencari" "bertemu" dengan yang "dicari", dalam "pertemuan" paling mesra di atas segenap kisah pertemuan lain, dan demi cintanya sang "pencari" rela berkorban apa saja bagi yang "dicari". Ini "love story" Agung, melebihi Himalaya atau Mahameru.
Dan sumpah cinta—yang tulus itu—pun diuji, dengan ujian menggemparkan dunia dari sudut teologi maupun filsafat.
"Sembelihlah anakmu kalau betul cintamu bukan hanya lamis belaka".
Dari sini kita tahu, cinta harus berarti memberi, dan bukan memiliki. Apa lagi menguasai.
Seorang Ibrahim pun butuh waktu untuk ragu. Tapi seperti kita ketahui, beliau pun akhirnya taat. Dan lulus membuktikan kebersihan cintanya, yang memang tak diwarnai pamrih lain, selain pengabdian itu sendiri.
Maka, beliau pun detik itu bebas dari tuhan lain, dan dengan taat menghamba-sahayakan dirinya pada Allah, pemilik siang dan malam, timur dan barat, dan bumi dan langit seisinya.
Beliau lulus ujian sahadat taukhid, yang diujikan dengan ujian tingkat sahadat kedua, sahadat sosial. Bagi beliau, sahadat taukhid dan sahadat sosial itu dua sisi dari mata uang yang sama. Kedua-duanya kosong dan harus diisi. Dan isi itu, kita tahu, wujud pemihakan kita pada apa yang benar dan mulia. Dan bahwa janji pada Allah juga berarti janji pada kemanusiaan.
Kreativitas seni menampilkan esensi kisah ketulusan iman ini melalui tokoh berdarah putih, yang lega donya lila ing sirna (merelakan dunia dan hidupnya demi cinta abadi).
Ia bernama Puntadewa. Saat itu ia sudah tiba di depan pintu surga bersama anjingnya. Dan dewa melarang masuk si anjing karena surga itu hanya untuk dia seorang. Tapi apa jawab Puntadewa?
"Aku tak bisa melupakan kesetiaan anjing ini. Kalau aku ke surga, kesetiaannya harus kubayar dengan keikutsertaannya di surgaku. Kalau tidak, lebih baik aku kembali ke bumi."
Dan anjing itu pun lenyap. Di hadapannya muncul Dewa Dharma, yang memang sedang menguji cintanya, ketulusannya, dan sumpahnya sebagai manusia yang lega donya lila ing sirna tadi.
Hakim, jaksa, polisi, menteri, dirjen, sekjen, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, carik, sekdes, kabiro, pinpro, kepala seksi, ketua wartawan, ketua LSM, para politisi, dubes-dubes dan staf mereka, kiai, pastur, pedande, banthe, wapres dan presiden dan tangan-tangan kiri dan kanan mereka, sadarkah bahwa jabatan mereka juga diuji? Sadarkah mereka semua bahwa Dewa Dharma mengikuti tiap jengkal langkah mereka?
Apakah para hakim dan jaksa—dan juga panitera dan semua "lawyer"—tak menyadari kehadiran Dewa Dharma di ruang-ruang pengadilan di mana mereka bersumpah hendak menegakkan keadilan biar langit akan runtuh sekalipun? Mana bukti sumpah itu?
Mengapa kita belum adil sesudah 60 tahun merdeka? Tahukah mereka kelak menjadi penanggung jawab utama atas ketidakadilan yang mereka ikut menciptakannya ini?
Di dalam hidup, kedua sahadat itu campur aduk menjadi satu dan kelihatan ruwet di mata (hati) yang tak dibuka untuk menjadi tempat bagi keadilan dan kebenaran maupun kemanusiaan. Kedua sahadat itu diolah dalam otak, sisi "pintar" manusia yang cenderung "minteri" pihak lain, dan tak pernah singgah di dalam hati nurani yang memihak sikap adil dan manusiawi.
Di dalam Islam, perkara fundamental ini dikukuhkan sebagai bagian dari dua tiang utama rukun iman: iman kepada Allah, iman kepada Rasulullah, dan empat macam iman yang lain.
Sekali lagi, sahadat itu sebuah kesaksian, pengakuan, janji, atau sumpah ke-taukhid-an. Dan ini sumpah suci, lebih dari semua jenis kesucian yang dikenal dalam peradaban manusia. Ia memiliki konsekuensi dunia-akhirat.
Sumpah adat bisa dilanggar, dan atas pelanggaran itu adat memiliki mekanisme penggantian yang ditentukan secara damai untuk menjadi pembelajaran bersama.
"Sumpah modern di pengadilan?"
"Itu dagelan para hakim dan jaksa dan orang-orang berduit, yang mau menyimpang dari keadilan. Pengadilan itu pasar, bukan lagi tempat mencari keadilan."
"Sumpah jabatan?"
O, sumpah jabatan itu sudah bermetamorfosa menjadi "sampah" jabatan. Sampah yang tak berarti.
Maka sahadat—revolusi terbesar dalam sepanjang sejarah manusia mencari Tuhannya tadi—siapa kini yang harus menjaga?
No comments:
Post a Comment