Ketua Komisi Ekonomi dan Pembangunan PB HMI Periode 2005-2007
Setelah berusaha menjadi harapan masyarakat Indonesia dan masyarakat Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mendapat tantangan baru untuk menjadi harapan masyarakat internasional. Tantangan tersebut muncul pertama kali dalam tulisan Awalil Rizky 'Agenda Neoliberalisme di Indonesia: Merumuskan Sikap dan Aksi HMI' terbitan PB HMI. Mungkinkah HMI menjadi harapan masyarakat internasional?
Langkah evaluatif
Sebelum menjawab pertanyaan itu, HMI harus melakukan beberapa evaluasi dalam perjalanan organisasi selama ini. Sejak dilahirkan tahun 1947 di Sekolah Tinggi Islam (STI) sekarang Universitas Islam Indonesia (UII), Yogkakarta oleh figur seperti Lafran Pane, tentu memiliki idealismenya sendiri. HMI hadir untuk menjawab tantangan pada zamannya. Maka dari itu, HMI menjadi organisasi yang selalu up to date dan diorientasikan menjadi organisasi kader.
Sebagai sebuah organisasi, HMI hanya sebagai wadah pengaderan. Kader-kadernyalah yang harus mampu berkiprah di tengah masyarakat. Hal ini mempunyai konsekuensi logis terhadap fleksibilitas gerakan organisasi. Secara positif HMI menjadi organisasi yang independen dan terbebas dari afiliasi politik manapun sehingga bebas juga kader-kadernya beraktualiasasi di manapun. Namun terkadang HMI harus terkena imbas atas perilaku negatif yang dilakukan kader-kadernya (baca: alumni) dalam kiprahnya di masyarakat.
Sampai saat ini nuansa independen HMI masih terlihat menonjol, meski di sana-sini ada saja yang mencoba mengkooptasi dan menarik-nariknya pada pusaran politik kepentingan tertentu. Justru banyak kalangan melihat HMI telah kehilangan elan vital perjuangannya, terutama, sejak keruntuhan rezim Soeharto. Perlawanan terhadap Soeharto sejak tahun 1985 merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan, dan yang lebih ideologis lagi perlawanan terhadap musuh Islam. Pilihan mengenakan jilbab oleh KOHATI tetap diambil meski harus menerima perlakuan diskriminatif. Karena selain melaksanakan perintah agama, pilihan ini juga menyangkut perjuangan menuntut kebebasan beragama yang telah dengan sengaja dikangkangi oleh penguasa saat itu.
Kehilangan elan vital perjuangannya tidak serta-merta menjadikan HMI sebagai organisasi antiperjuangan atau tidak lagi menganggap seluruh aktivitasnya merupakan bagian dari perjuangan. Namun HMI hanya sedikit limbung dan kehilangan orientasi gerakannya. Hal ini dapat dilihat dari mulai ditinggalkannya masjid-masjid terutama masjid kampus dan lembaga-lembaga kemahasiswaan intrakampus yang selama ini digunakan sebagai basis perlawanan dan persemaian intelektual.
Intelektualisme HMI di beberapa tempat juga mulai tergusur oleh gagasan-gagasan pragmatisme politik kepentingan beberapa aktivisnya. Memang kehidupan sosial politik di Indonesia dalam era reformasi ini mengalami perubahan yang sangat drastis. Era keterbukaan dan demokratisasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat sudah dimulai. Sehingga kesan perlawanan dan underground yang selama ini melekat pada HMI terkesan menjadi tidak relevan lagi.
Logika melawan juga mengalami proses moderasi seiring dengan dibuka lebarnya keran-keran saluran aspirasi politik. Sekarang saatnya HMI muncul dan mulai memberi warna pada dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Alasan untuk mendinamisasi perpolitikan nasional memang selalu menyihir dan memiliki logikanya sendiri. Namun tanpa visi dan nilai baru yang coba ditawarkan, alih-alih mendinamisasi, HMI justru akan menjadi sekrup-sekrup pelanggengan kekuasaan orde paling baru. Yakni, orde yang memuluskan jalan bagi agenda-agenda neoliberalisme di Indonesia.
Melawan neoliberalisme
Agenda neoliberalisme di Indonesia bagi HMI seharusnya tidak sekadar menjadi rumus-rumus dan logika ekonomistik. Tradisi intelektualisme HMI harusnya mampu membawanya pada analisis yang lebih mendalam. Neoliberalisme bukan saja perkara meliberalisasi sektor perdagangan, keuangan, dan kebijakan anggaran ketat yang ujung-ujungnya pasti penghapusan subsidi pada rakyat. Bagi HMI agenda-agenda tersebut harus dibaca sebagai upaya penguasaan bumi ini oleh sebagian kecil negara maju yang dimotori oleh Amerika Serikat. Melalui lembaga-lembaga multinasional seperti IMF, World Bank, dan WTO mereka melaksanakan agendanya. Tentu saja di balik itu semua ada skenario besar untuk mengganti peran-peran Illahiah menjadi materialisme.
Apabila mau ditelisik lebih dalam lagi, seluruh catatan perjalanan perjuangan HMI selama ini sebetulnya didedikasikan untuk melawan rezim materialisme. Perlawanan terhadap agenda-agenda neoliberalisme harus ditempatkan sebagai aksi lanjutan perlawanan HMI terhadap rezim materialisme.
Agenda neoliberalisme saat ini merupakan agenda rezim materialisme yang paling terang-terangan. Rezim berkuasa suatu negara di manapun hanya merupakan alat sehingga mudah saja untuk diganti apabila dianggap tidak menguntungkan. Soeharto digunakan karena dianggap efektif menjalankan agenda-agenda neoliberalisme. Saat ini yang dicari adalah penguasa dengan tipikal yang mudah diatur dan mau saja menuruti perintah. Dapat dilihat dalam beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional mudah saja aset nasional berpindah tangan dengan murah, rusaknya hutan dan lingkungan hidup akibat eksploitasi yang tak kenal batas, dan harga kebutuhan pokok melambung tinggi seiring dicabutnya subsidi. Akhirnya, terjadi ledakan kemiskinan dan malnustrisi, dan saat inilah nilai-nilai humanitas betul-betul dihilangkan maknanya.
Posisi umat Islam Indonesia adalah kelompok yang paling merasakan dampak agenda-agenda neoliberalisme. Betapa tidak, umat Islam Indonesia merupakan jumlah mayoritas sehigga merupakan jumlah terbanyak yang terkena dampak. Lebih dari itu, menggantikan posisi Illahiah dengan paham materialisme telah mengusik keyakinan umat Islam yang paling mendasar yakni ketauhidan.
Neoliberalisme adalah mimpi buruk dalam sejarah peradaban kemanusiaan. Di banyak belahan benua dan negara, tidak peduli apa warna kulit dan agamanya, agenda neoliberalisme terbukti menciptakan struktur masyarakat yang timpang dan menindas. Bila semangat Islam adalah rahmatan lil alamien, maka mewujudkan sebuah tatanan masyarakat dunia tanpa penindasan adalah mutlak bagi HMI.
Karena jangkauan dampak yang demikian meluas, maka HMI saja atau komunitas Muslim Indonesia saja tidak akan efektif melakukan perjuangan ini. HMI harus menjadi pelopor dan penghimpun masyarakat internasional serta seluruh potensi kekuatan perjuangan untuk bangkit melawan. HMI juga harus mampu meyakinkan bahwa perlawanan ini bukan milik orang Islam saja, namun semua yang tidak sepakat dan menjadi korban agenda neoliberalisme yang wajib melawannya.
Akhirnya, menjadi harapan masyarakat internasional merupakan kontinuitas dan elan vital perjuangan baru bagi HMI. Untuk itu Konggres HMI ke-26 harus mendorong kiprah HMI yang dinanti, umat, bangsa, dan masyarakat internasional.
Ikhtisar
- Setelah menjadi harapan Indonesia, dan umat Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ingin menjadi masyarakat internasional.
- Perlawanan terhadap neoliberalisme adalah agenda besar yang terus diperjuangkan organisasi tersebut.
- Agenda neoliberalisme yang menjadi alat bagi rezim materialisme selama ini terbukti menciptakan struktur masyarakat yang timpang dan menindas.
No comments:
Post a Comment